• Meeting You •
Sydney, 2014 Dylan, 18 tahun
“Say cheese!”
”...cheese…”
“All right!” katanya girang setelah berhasil selfie dengan gue. “One more, Dylan! One… Two…”
“Sorry, I gotta go now” gue mendorong HP teman cewek itu menjauhi muka gue, tersenyum tipis lalu pergi.
“Yo yo, Dyl! We’re having a group photo there near the school gate, join us!” ajak seorang teman cowok sambil menarik tangan gue.
“Nah, I’ll pass bro. Bye” gue melepas tangan gue dari cengkramannya, tersenyum tipis lagi lalu melambaikan tangan ke arah teman-teman gue yang sedang bersiap untuk foto.
“Geez, what's wrong with him?! It's the last day of high school, doesn't he want to make memories??”
“I know, right? He’s a nice guy but I really don’t understand why is he so hard to approach”
Gue dengar semua itu, tapi gue tidak peduli dan tetap pergi ke arah parkiran mobil. Dari jauh gue sudah melihat satu sosok laki-laki yang sudah menunggu gue sambil bersandar di mobilnya. Dia menyilangkan tangan, melihat gue sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Padahal tinggal foto sekali aja apa susahnya sih?” omel Mario, tidak habis pikir dengan kelakuan gue.
“Males, kayak mereka selama sekolah beneran nganggep gue temen aja. Yuk ah, Mar, I’m craving for some beer” jawab gue datar.
“Lo mau ganti baju dulu nggak tuh? Apa mau nge-bir pake toga?”
“Haha ya engga lah, mampir bentar ke rumah gue baru jalan lagi aja”
“Okay bro, berangkat” kami berdua masuk ke mobil lalu pergi dari area sekolah gue.
Hari ini adalah hari kelulusan SMA gue. Of course I’m happy, who doesn’t like to get out of the prison? Uhm, I mean, school. Ya intinya gue seneng lah, tapi nggak berarti gue mau foto-foto sama temen-temen gue di hari terakhir sekolah ini.
Selama sekolah, gue tidak pernah merasa sedekat itu dengan mereka. Gue bukan orang yang mudah bergaul dan gue merasa mereka cuma deketin gue kalo ada maunya. Ya minta ajarin math lah, minta bantuin ngerjain tugas geography lah, sampe minta contekan soal karena kelas gue ujian duluan juga ada. There’s no one who really ever wants to be friends with me just because they want to be friends. Jatuhnya cuma mau jadiin gue ‘friends with benefits’-nya mereka. Bukan FWB yang ‘itu’ loh ya. ‘Friends with REAL benefits’, mereka cuma mau manfaatin gue aja.
Mungkin ada beberapa alasan kenapa mereka seperti itu ke gue: 1. I’m not an Australian 2. My grades are way better than them (sorry to say) 3. It’s hard for me to say no
Iya, yang terakhir pasti bikin lo mikir “pantesan aja lo digituin, ya salah lo sendiri nggak nolak!”. Gue akuin, itu kelemahan gue. I’m too used to being nice with everyone, even though they’re mean to me, I still try to be nice with them. Dulu waktu kecil orang tua gue selalu mengingatkan gue untuk jadi orang baik, karena kita ibaratnya ‘numpang’ di negara ini, jadi lebih baik untuk keep it low aja daripada bikin ulah dan akhirnya jadi beban buat kelompok kita.
Yeah, I think that’s why I don’t have friends. Kecuali Mario, karena kita udah temenan dari kecil dan sama-sama orang Indonesia. Bedanya, Mario get along well with his school friends. Walaupun dia the real social butterfly, untungnya dia nggak pernah lupa sama gue, and I’m thankful for him. Kalo Mario cewek, mungkin gue udah pacarin dia.
“Gue gamau ya jadi pacar lo. Gue straight” Mario tiba-tiba muncul dari belakang gue bawa dua kaleng bir.
“Anjir, ya iya lah! Gue juga straight kali! Kenapa tiba-tiba ngomong gitu sih aneh banget lo” kata gue kaget sama perkataan dia yang sejalan sama pikiran gue.
Sore itu kami pergi ke salah satu pantai di kota Sydney untuk bersantai sambil minum bir untuk merayakan kelulusan kami. Gue mengambil salah satu kaleng bir yang dibawa Mario tadi, membukanya dan mengajak Mario untuk bersulang.
“Abisnya lo sama gue terus, gue jadi takut orang salah paham” kata Mario.
“Ya temen gue cuma lo trus gimana dong”
“Lo cari temen lagi lah!!! Ya kali 18 tahun hidup di sini temen lo gue doang??? Temen cewek gitu, masa iya sih cewek di Sydney ada sebanyak ini nggak ada yang bikin lo kepincut??” omel Mario berapi-api sambil menunjuk-nunjuk ke arah orang-orang yang sedang berkegiatan di pantai.
“Iya iya ah, bawel, ntar pas kuliah juga nemu kali”
“Halah, nggak yakin gue kalo sikap lo masih kayak gitu. Masih terlalu hati-hati sama orang. Baik doang, tapi nggak punya social skill. Dyl, bisa nggak sih lo stop jadi terlalu baik gitu? Masa iya lo mau nanti pas kuliah dimanfaatin lagi?”
“Gapapa udah biarin aja, emang takdirnya begitu. Yang penting gue happy-happy aja kan?”
“Takdir, takdir my ass. Sumpah, Dyl, mending lo cepetan cari pacar deh. Gue capek ngurusin lo”
“Ntar gue ketemu pacar gue juga karena takdir tau, jadi tungguin aja sampe waktu itu dateng haha”
“Cih” Mario memutar mata malas. Tiba-tiba, Mario tersedak gara-gara melihat chat yang masuk ke HP-nya.
“Oh, shoot! Sorry, Dyl, I gotta go now” Mario berdiri dan buru-buru menghabiskan birnya.
“What’s wrong, Mar?” Dylan kebingungan.
“Bokap gue tiba-tiba pulang cepet, sebelum dia dateng mobil udah harus ada lagi di rumah, gue nggak izin pake mobil. Sorry ya Dyl, see you!” Mario kemudian berlari ke arah mobilnya. Gue akuin bokap Mario emang galak sih, he’ll be dead if his dad finds out he’s using that precious car.
“Mar! Bareng aja pulangnya!” gue berlari mengejar Mario, soalnya ngapain juga kan gue duduk sendirian di situ, jomblo banget.
Gue berlari sekencang mungkin mengejar Mario yang dulu atlet lari di sekolahnya. Gue lari benar-benar nggak lihat kanan kiri.
Buk!
“Argh!” gue menabrak sesuatu dan tersungkur. Di sebelah gue ada orang yang ikut jatuh karena tabrakan sama gue tadi.
’Wait, kok kepala gue dingin ya?’
“Oh my gosh, I’m so sorry! Are you okay??” tanya orang itu. Gue masih belum lihat mukanya, tapi dari suaranya sih dia perempuan.
“Yeah, yeah I’m okay. But…” gue menadahkan tangan gue ke cairan yang menetes dari muka gue. Cairan berwarna coklat dan pink, lalu rasanya manis… Nice, perempuan itu numpahin es krim ke kepala gue.
“Oh my… I’m terribly sorry… Uh- Let me help- Uhm-” perempuan itu panik tapi ragu-ragu mau membersihkan es krim itu dari kepala gue.
“It’s okay, let me take care of it” gue menyingkirkan es krim dari kepala gue.
“But you’re gonna get sticky…”
“Yes, I am, haha. Maybe I should swim into the sea to get it off?” gue berusaha bercanda supaya perempuan itu nggak terlalu merasa bersalah.
Only then I look at her face.
And I only can stay still.
“Uhm… Rather than you do that, do you want to clean it off at my hotel room…?” katanya.
“This might sound inappropriate but maybe better then you wash it off at the beach…? Maybe…? Oh my God, sorry if this makes you uncomfortable…” dia bicara lagi sebelum gue sempat menjawab.
“Okay”
“What?”
“I’ll take your offer. Let me clean this off at your hotel room then, if that’s okay with you” jawab gue.
Perempuan itu bengong sebentar, mungkin kaget karena gue mengiyakan tawarannya.
“Ah- O- Okay, let’s go then. This way” dia lalu mengajak gue ke arah hotelnya.
***
“Come in” perempuan itu mempersilahkan gue masuk setelah membuka pintu kamar hotelnya.
Gue masuk ke kamar yang ukurannya tidak terlalu besar itu. Hanya kamar hotel biasa dengan satu tempat tidur berukuran queen, kamar mandi-nya pun tidak ada bathtub, hanya ada shower. Namun, karena letaknya di pinggir pantai, pemandangan dari kamar ini sangat menenangkan. You can relax while watching the waves on the sea.
“Here, you can use this towel. But sorry I don’t have any spare t-shirt for you to wear…” ujar perempuan itu sambil memberi handuk.
“That’s okay, thankfully my clothes are still clean. I’ll just wash my hair”
“Ah, okay. I’ll wait here. Just take your time, no need to rush”
“Got it” jawab gue sambil tersenyum ke arahnya.
Sekitar 10 menit kemudian, gue selesai membersihkan rambut gue dan keluar dari kamar mandi. Perempuan itu duduk di kursi dekat jendela sambil meminum secangkir teh.
“You’re done? I make you some tea to warm yourself up” dia mengajak gue untuk duduk minum teh bersamanya.
“Thank you” gue duduk dan meminum teh yang dia buat. Kemudian mata gue terkunci ke satu barang yang terletak di meja belakang perempuan itu. Sebuah paspor berwarna hijau.
Paspor bergambar garuda dengan tulisan ‘Republik Indonesia’.
“You’re… Indonesian?” tanya gue.
Perempuan itu menoleh ke arah paspor yang dari tadi masih gue lihat.
“Well, yes I am. Why?”
“Kalo gitu dari tadi ngomong pake Bahasa Indonesia aja mestinya hahaha” jawab gue sambil tertawa.
“Loh? Kamu orang Indonesia juga??” tanyanya kaget.
“Iya, aku orang Indonesia yang tinggal di sini. Emangnya mukaku nggak keliatan kayak orang Indo ya?”
“Nggak… Aku kira kamu orang Australia yang keturunan Asia aja…”
“Hahaha I get that a lot. Ngomong-ngomong, kita belum kenalan ya? Aku Dylan Arkana, panggil aja Dylan” gue menyodorkan tangan gue.
“Hai, Dylan. Aku Adeline Oceana, panggil aja Adel” jawabnya menjabat tangan gue.
“Pretty name. Nice to meet you, Adel” puji gue yang disambut dengan senyuman dari Adel.
“Nice to meet you too, Dylan”
I swear that was the most beautiful smile I’ve ever seen in 18 years of my life.
“So, err, kamu di Sydney buat liburan?” gue mencoba membuka percakapan.
“Emm, yeah, sort of? Ada hal lain juga sih tapi ya since lagi liburan sekolah jadi sekalian aja hehe”
“Ah, okay, high school?”
“Baru lulus. Lagi nunggu masuk kuliah”
“Wow, sama persis”
“Oh iya? Jadi kamu 18 tahun juga?”
“Yap. TMI but today is actually my graduation day, haha”
“Congratulations to you, then! Maaf banget aku malah bikin hari ini jadi bad day kamu… Padahal pasti kamu lagi seneng ya tadinya… Aku merasa bersalah banget…”
“I never said this is a bad day though.
But,
if you're feeling that way, can you make it up for me?”
“Gimana? Gimana caranya? I’ll grant every one of your wish” tanya Adel antusias.
“Can you turn this day into the best day of my life? By being my friend?”
“That’s it?”
“Have dinner with me?”
“Sure! Aku yang traktir, hadiah graduation kamu sekaligus permintaan maaf aku, ehehe”
“Kalo gitu pergi sekarang kali ya? Sebelum penuh restorannya?”
“Okay, let’s go!” Adel bangun dari kursinya. Dia touch-up sedikit makeup-nya sebelum mengambil tas dan bersiap pergi. Dia lalu berbalik dan berkata sambil tersenyum manis:
“I’ll make this day unforgettable for you, Dylan”