ririrereh

What a girl has in her mind

• Meeting You •

Sydney, 2014 Dylan, 18 tahun

“Say cheese!”

”...cheese…”

“All right!” katanya girang setelah berhasil selfie dengan gue. “One more, Dylan! One… Two…”

“Sorry, I gotta go now” gue mendorong HP teman cewek itu menjauhi muka gue, tersenyum tipis lalu pergi.

“Yo yo, Dyl! We’re having a group photo there near the school gate, join us!” ajak seorang teman cowok sambil menarik tangan gue.

“Nah, I’ll pass bro. Bye” gue melepas tangan gue dari cengkramannya, tersenyum tipis lagi lalu melambaikan tangan ke arah teman-teman gue yang sedang bersiap untuk foto.

“Geez, what's wrong with him?! It's the last day of high school, doesn't he want to make memories??”

“I know, right? He’s a nice guy but I really don’t understand why is he so hard to approach”

Gue dengar semua itu, tapi gue tidak peduli dan tetap pergi ke arah parkiran mobil. Dari jauh gue sudah melihat satu sosok laki-laki yang sudah menunggu gue sambil bersandar di mobilnya. Dia menyilangkan tangan, melihat gue sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Padahal tinggal foto sekali aja apa susahnya sih?” omel Mario, tidak habis pikir dengan kelakuan gue.

“Males, kayak mereka selama sekolah beneran nganggep gue temen aja. Yuk ah, Mar, I’m craving for some beer” jawab gue datar.

“Lo mau ganti baju dulu nggak tuh? Apa mau nge-bir pake toga?”

“Haha ya engga lah, mampir bentar ke rumah gue baru jalan lagi aja”

“Okay bro, berangkat” kami berdua masuk ke mobil lalu pergi dari area sekolah gue.

Hari ini adalah hari kelulusan SMA gue. Of course I’m happy, who doesn’t like to get out of the prison? Uhm, I mean, school. Ya intinya gue seneng lah, tapi nggak berarti gue mau foto-foto sama temen-temen gue di hari terakhir sekolah ini.

Selama sekolah, gue tidak pernah merasa sedekat itu dengan mereka. Gue bukan orang yang mudah bergaul dan gue merasa mereka cuma deketin gue kalo ada maunya. Ya minta ajarin math lah, minta bantuin ngerjain tugas geography lah, sampe minta contekan soal karena kelas gue ujian duluan juga ada. There’s no one who really ever wants to be friends with me just because they want to be friends. Jatuhnya cuma mau jadiin gue ‘friends with benefits’-nya mereka. Bukan FWB yang ‘itu’ loh ya. ‘Friends with REAL benefits’, mereka cuma mau manfaatin gue aja.

Mungkin ada beberapa alasan kenapa mereka seperti itu ke gue: 1. I’m not an Australian 2. My grades are way better than them (sorry to say) 3. It’s hard for me to say no

Iya, yang terakhir pasti bikin lo mikir “pantesan aja lo digituin, ya salah lo sendiri nggak nolak!”. Gue akuin, itu kelemahan gue. I’m too used to being nice with everyone, even though they’re mean to me, I still try to be nice with them. Dulu waktu kecil orang tua gue selalu mengingatkan gue untuk jadi orang baik, karena kita ibaratnya ‘numpang’ di negara ini, jadi lebih baik untuk keep it low aja daripada bikin ulah dan akhirnya jadi beban buat kelompok kita.

Yeah, I think that’s why I don’t have friends. Kecuali Mario, karena kita udah temenan dari kecil dan sama-sama orang Indonesia. Bedanya, Mario get along well with his school friends. Walaupun dia the real social butterfly, untungnya dia nggak pernah lupa sama gue, and I’m thankful for him. Kalo Mario cewek, mungkin gue udah pacarin dia.

“Gue gamau ya jadi pacar lo. Gue straight” Mario tiba-tiba muncul dari belakang gue bawa dua kaleng bir.

“Anjir, ya iya lah! Gue juga straight kali! Kenapa tiba-tiba ngomong gitu sih aneh banget lo” kata gue kaget sama perkataan dia yang sejalan sama pikiran gue.

Sore itu kami pergi ke salah satu pantai di kota Sydney untuk bersantai sambil minum bir untuk merayakan kelulusan kami. Gue mengambil salah satu kaleng bir yang dibawa Mario tadi, membukanya dan mengajak Mario untuk bersulang.

“Abisnya lo sama gue terus, gue jadi takut orang salah paham” kata Mario.

“Ya temen gue cuma lo trus gimana dong”

“Lo cari temen lagi lah!!! Ya kali 18 tahun hidup di sini temen lo gue doang??? Temen cewek gitu, masa iya sih cewek di Sydney ada sebanyak ini nggak ada yang bikin lo kepincut??” omel Mario berapi-api sambil menunjuk-nunjuk ke arah orang-orang yang sedang berkegiatan di pantai.

“Iya iya ah, bawel, ntar pas kuliah juga nemu kali”

“Halah, nggak yakin gue kalo sikap lo masih kayak gitu. Masih terlalu hati-hati sama orang. Baik doang, tapi nggak punya social skill. Dyl, bisa nggak sih lo stop jadi terlalu baik gitu? Masa iya lo mau nanti pas kuliah dimanfaatin lagi?”

“Gapapa udah biarin aja, emang takdirnya begitu. Yang penting gue happy-happy aja kan?”

“Takdir, takdir my ass. Sumpah, Dyl, mending lo cepetan cari pacar deh. Gue capek ngurusin lo”

“Ntar gue ketemu pacar gue juga karena takdir tau, jadi tungguin aja sampe waktu itu dateng haha”

“Cih” Mario memutar mata malas. Tiba-tiba, Mario tersedak gara-gara melihat chat yang masuk ke HP-nya.

“Oh, shoot! Sorry, Dyl, I gotta go now” Mario berdiri dan buru-buru menghabiskan birnya.

“What’s wrong, Mar?” Dylan kebingungan.

“Bokap gue tiba-tiba pulang cepet, sebelum dia dateng mobil udah harus ada lagi di rumah, gue nggak izin pake mobil. Sorry ya Dyl, see you!” Mario kemudian berlari ke arah mobilnya. Gue akuin bokap Mario emang galak sih, he’ll be dead if his dad finds out he’s using that precious car.

“Mar! Bareng aja pulangnya!” gue berlari mengejar Mario, soalnya ngapain juga kan gue duduk sendirian di situ, jomblo banget.

Gue berlari sekencang mungkin mengejar Mario yang dulu atlet lari di sekolahnya. Gue lari benar-benar nggak lihat kanan kiri.

Buk!

“Argh!” gue menabrak sesuatu dan tersungkur. Di sebelah gue ada orang yang ikut jatuh karena tabrakan sama gue tadi.

’Wait, kok kepala gue dingin ya?’

“Oh my gosh, I’m so sorry! Are you okay??” tanya orang itu. Gue masih belum lihat mukanya, tapi dari suaranya sih dia perempuan.

“Yeah, yeah I’m okay. But…” gue menadahkan tangan gue ke cairan yang menetes dari muka gue. Cairan berwarna coklat dan pink, lalu rasanya manis… Nice, perempuan itu numpahin es krim ke kepala gue.

“Oh my… I’m terribly sorry… Uh- Let me help- Uhm-” perempuan itu panik tapi ragu-ragu mau membersihkan es krim itu dari kepala gue.

“It’s okay, let me take care of it” gue menyingkirkan es krim dari kepala gue.

“But you’re gonna get sticky…”

“Yes, I am, haha. Maybe I should swim into the sea to get it off?” gue berusaha bercanda supaya perempuan itu nggak terlalu merasa bersalah.

Only then I look at her face.

And I only can stay still.

“Uhm… Rather than you do that, do you want to clean it off at my hotel room…?” katanya.

“This might sound inappropriate but maybe better then you wash it off at the beach…? Maybe…? Oh my God, sorry if this makes you uncomfortable…” dia bicara lagi sebelum gue sempat menjawab.

“Okay”

“What?”

“I’ll take your offer. Let me clean this off at your hotel room then, if that’s okay with you” jawab gue.

Perempuan itu bengong sebentar, mungkin kaget karena gue mengiyakan tawarannya.

“Ah- O- Okay, let’s go then. This way” dia lalu mengajak gue ke arah hotelnya.

***

“Come in” perempuan itu mempersilahkan gue masuk setelah membuka pintu kamar hotelnya.

Gue masuk ke kamar yang ukurannya tidak terlalu besar itu. Hanya kamar hotel biasa dengan satu tempat tidur berukuran queen, kamar mandi-nya pun tidak ada bathtub, hanya ada shower. Namun, karena letaknya di pinggir pantai, pemandangan dari kamar ini sangat menenangkan. You can relax while watching the waves on the sea.

“Here, you can use this towel. But sorry I don’t have any spare t-shirt for you to wear…” ujar perempuan itu sambil memberi handuk.

“That’s okay, thankfully my clothes are still clean. I’ll just wash my hair”

“Ah, okay. I’ll wait here. Just take your time, no need to rush”

“Got it” jawab gue sambil tersenyum ke arahnya.

Sekitar 10 menit kemudian, gue selesai membersihkan rambut gue dan keluar dari kamar mandi. Perempuan itu duduk di kursi dekat jendela sambil meminum secangkir teh.

“You’re done? I make you some tea to warm yourself up” dia mengajak gue untuk duduk minum teh bersamanya.

“Thank you” gue duduk dan meminum teh yang dia buat. Kemudian mata gue terkunci ke satu barang yang terletak di meja belakang perempuan itu. Sebuah paspor berwarna hijau.

Paspor bergambar garuda dengan tulisan ‘Republik Indonesia’.

“You’re… Indonesian?” tanya gue.

Perempuan itu menoleh ke arah paspor yang dari tadi masih gue lihat.

“Well, yes I am. Why?”

“Kalo gitu dari tadi ngomong pake Bahasa Indonesia aja mestinya hahaha” jawab gue sambil tertawa.

“Loh? Kamu orang Indonesia juga??” tanyanya kaget.

“Iya, aku orang Indonesia yang tinggal di sini. Emangnya mukaku nggak keliatan kayak orang Indo ya?”

“Nggak… Aku kira kamu orang Australia yang keturunan Asia aja…”

“Hahaha I get that a lot. Ngomong-ngomong, kita belum kenalan ya? Aku Dylan Arkana, panggil aja Dylan” gue menyodorkan tangan gue.

“Hai, Dylan. Aku Adeline Oceana, panggil aja Adel” jawabnya menjabat tangan gue.

“Pretty name. Nice to meet you, Adel” puji gue yang disambut dengan senyuman dari Adel.

“Nice to meet you too, Dylan”

I swear that was the most beautiful smile I’ve ever seen in 18 years of my life.

“So, err, kamu di Sydney buat liburan?” gue mencoba membuka percakapan.

“Emm, yeah, sort of? Ada hal lain juga sih tapi ya since lagi liburan sekolah jadi sekalian aja hehe”

“Ah, okay, high school?”

“Baru lulus. Lagi nunggu masuk kuliah”

“Wow, sama persis”

“Oh iya? Jadi kamu 18 tahun juga?”

“Yap. TMI but today is actually my graduation day, haha”

“Congratulations to you, then! Maaf banget aku malah bikin hari ini jadi bad day kamu… Padahal pasti kamu lagi seneng ya tadinya… Aku merasa bersalah banget…”

“I never said this is a bad day though.

But,

if you're feeling that way, can you make it up for me?”

“Gimana? Gimana caranya? I’ll grant every one of your wish” tanya Adel antusias.

“Can you turn this day into the best day of my life? By being my friend?”

“That’s it?”

“Have dinner with me?”

“Sure! Aku yang traktir, hadiah graduation kamu sekaligus permintaan maaf aku, ehehe”

“Kalo gitu pergi sekarang kali ya? Sebelum penuh restorannya?”

“Okay, let’s go!” Adel bangun dari kursinya. Dia touch-up sedikit makeup-nya sebelum mengambil tas dan bersiap pergi. Dia lalu berbalik dan berkata sambil tersenyum manis:

“I’ll make this day unforgettable for you, Dylan”

• Bittersweet •

“Feeling good! Like I should! Na na na~” Dylan melangkah ringan ke meja kerjanya sambil menggumamkan lagu yang sedang dia dengar.

“Widiiih, ada yang lagi happy nih kayaknya” ujar Rendra.

“Hah? Lo ngomong sama gue?” tanya Dylan setelah melepas earphone-nya.

“Engga, gue cuma bilang kayaknya lo lagi seneng aja gitu mas, sampe nyanyi-nyanyi gitu haha”

“Oooh haha biar semangat aja kerjanya, Ren”

“Pagi Mas Dylan!” sapa Osha yang baru datang dengan riang. “Pagi nyet” giliran Rendra yang disapa muka Osha langsung berubah 180 derajat.

“Anying diskriminasi” gerutu Rendra.

“Hahaha, pagi Sha!” Dylan membalas sapaan Osha. Setelah itu mereka mengobrol sebentar lalu memulai fokus ke pekerjaannya masing-masing.

“Mas Dyl, hari ini makan siang bareng yuuuk” tanya Osha ketika waktu sudah mendekati jam 12.

“Eh? Udah jam segini? Gila nggak sadar banget saking fokusnya. Yuk mas makan siang dulu” ajak Rendra.

“Sorry guys, gue ada janji makan di luar, hehe. Besok-besok aja ya makan barengnya. Duluan guys!” jawab Dylan yang langsung berdiri lalu pergi meninggalkan Rendra dan Osha.

“Pantesan…” gumam Rendra.

“Pantesan apa, Ren?” Osha penasaran.

“Pantesan dia tadi dateng-dateng seneng banget keliatannya, pake nyanyi-nyanyi segala. Lo mending mundur aja dari sekarang deh, Sha, saingan lo bakal berat kayaknya”

“Dih, emang lo tau dia mau makan sama siapa??”

“Ya pasti sama cewek nggak sih?? Bening kayak dia gitu??”

“Nggak, nggak, bisa jadi yang lain. Gue yakin masih punya kesempatan. Lo jadi temen bantuin makanya!” Osha menyenggol badan Rendra.

“Iye neng, iye” Rendra menjawab seadanya sambil tertawa. Padahal hatinya meringis.

’Yah… Ketikung…’

***

Dylan sampai duluan di Zenbu tempat dia janjian dengan Adel. Dia sengaja memilih kursi di dalam, supaya tidak berisik jadi pertemuannya dengan Adel ini bisa jadi lebih khidmat.

Ngomongin kerjaannya lebih khidmat, maksudnya.

Nggak deng, itu denial. Dylan pokoknya harus menggunakan kesempatan ini untuk menanyakan apakah Adel benar-benar lupa dengannya. Kalau pun memang lupa, Dylan mau bantu Adel untuk mengingatnya.

Dylan sudah memesan minum, tapi belum memesan makanan. Masih nungguin teman, katanya ke waiter. Padahal sih sejujurnya dia sudah lapar. Akhirnya dia mencoba untuk isi perutnya dulu aja dengan ocha dingin yang dia pesan.

Baru sekitar 20 menit kemudian Adel sampai di Zenbu. Adel yang hari itu memakai casual dress berwarna biru langit dan menggendong dua tas di kedua pundaknya sekaligus menenteng tas laptop di tangan terlihat tergopoh-gopoh datang menghampiri Dylan.

“Sorry telat, Dyl, ternyata meeting-nya agak lama”

“It’s okay, aku juga baru sampe kok, hehe” Dylan berkata sambil membantu Adel yang repot dengan tas-tasnya.

“Udah pesen makan?”

“Belom, pesen sekarang ya”

“Okay. Ngomongin kerjaannya abis makan aja ya biar fokus”

Mereka lalu memanggil waiter dan memesan makanan. Untung makanan yang mereka pesan datangnya tidak terlalu lama, jadi mereka tidak kembung karena kebanyakan minum ocha untuk menahan lapar. Selama makan, tidak banyak yang mereka obrolkan, hanya obrolan basa-basi yang tidak terlalu penting.

Setelah selesai makan, Adel langsung masuk ke agenda utama mereka hari itu, memberikan brief secara detail tentang apa yang harus Dylan kerjakan sebagai anggota timnya. Being a workaholic she is, once she talks about work, she will only talk about work. Tidak ada bercanda, tidak ada topik yang melenceng. Hanya ada kerja, kerja, dan kerja.

Dylan berusaha untuk mengikuti pace si workaholic ini. Walaupun sebenarnya mulutnya sudah gatal mau membuka topik soal masa lalu mereka. Karena Dylan gatau lagi kapan akan dapat kesempatan duduk berdua dengan Adel seperti ini, dia harus memanfaatkan situasi ini sebaik mungkin.

“Well, I think that’s all for now. Kalo masih ada kesulitan kamu bisa minta Rendra atau Osha untuk bantu, walaupun kalian beda project tapi mungkin mereka berdua bisa kasih tips and trick buat kamu. Any question?” tanya Adel di akhir sesi briefing mereka.

“Hmm, belum ada pertanyaan sih untuk yang ini, mungkin aku harus ngerjain dulu baru tau ada pertanyaan atau engga.

Tapi, Del, boleh nanya yang lain nggak?”

“Kalo udah di luar urusan kantor, aku yang mau tanya duluan.

How did you find me, Dylan Arkana?”

’Hah?’

’Jadi… Dia inget gue…?’

“Are you joining my team because you know I’m there?” Adel bertanya lagi karena yang ditanya masih bengong tidak menjawab.

“Maksud kamu…?” Dylan malah balik bertanya.

“Gosh Dyl, you’re from Sydney and I asked in English, you surely understand what I mean” kata Adel sinis. “Aku mau tau, gimana cara kamu tau aku kerja di kantor ini, trus apa kamu sengaja masuk ke team ini karena tau ada aku?”

Sudah cukup Dylan kaget dengan fakta ternyata Adel mengingatnya, kini dia juga kaget dengan cara bicara Adel yang dingin. Adel yang sekarang tidak seperti Adel yang dia kenal.

“Aku gatau kamu kerja di kantor ini, Del, aku bahkan kaget waktu tau ternyata team manager-nya itu kamu, jadi nggak mungkin kalo aku sengaja masuk team ini karena tau ada kamu.

Tapi, Del… Kamu… Beneran ingat aku?”

Adel mendengus mendengar pertanyaan Dylan.

“Do I really have to answer the question when it’s already obvious?”

“Then I change the question. Since you remember me, do you… Do you remember what memories we have?”

“Of course, definitely not my favorite one though”

Sakit. Jujur Dylan sakit hati mendengarnya. Karena berbeda dengan Adel, memori itu baginya merupakan salah satu memori terbaik di dalam hidupnya.

’There must be a reason’ Dylan berusaha untuk mencoba positif.

“Jangan tanya kenapa karena aku gamau bahas” tegas Adel.

“Okay, aku nggak akan tanya sekarang”

“So, since kamu sekarang udah tau aku ingat kamu dan ingat semua hal yang kita lalui bareng, aku mau kasih tau kamu sesuatu.

Stop chasing on me, Dylan. Stop putting your hopes on me. Just stop… Stop liking me, will you?”

Seperti gelas kaca yang jatuh dari ketinggian, hati Dylan hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, Dylan yang selama ini hanya setia pada Adel baru saja mau memulai memperlihatkan kesetiaannya itu kepada perempuan idamannya. Namun, belum dimulai dia sudah ditolak. Dunia sungguh tidak adil.

Dylan, mulai tidak bisa menjadi orang yang positif lagi.

“But… Why…? Kamu inget nggak waktu kita berpisah dulu? Aku sempat bilang mungkin kita akan bertemu lagi kalau takdir berkata iya, dan akhirnya kita bertemu kan? Okay mungkin pertemuan kita dulu bukan memori yang baik buat kamu, tapi buat aku hari itu akan selalu menjadi hari terbaik di hidupku. So, bisa nggak setidaknya kamu buat aku untuk tetap mengingat hari itu sebagai hari yang baik, hari dimana aku berjanji untuk hanya menaruh hatiku di satu orang, yaitu kamu? I don’t mind if you don’t do the same, just don’t forbid me to do it…”

Adel tersenyum dingin.

“Dylan, takdir itu bullshit. Takdir cuma bisa buat kamu berharap mendapatkan sesuatu yang tidak bisa kamu dapatkan. You should stop hoping on destiny and face the reality instead”

Tidak lama setelah Adel mengatakan itu, seorang pria bertubuh tinggi dan tegap menghampiri mereka. Laki-laki itu menyapa Adel dan mengelus rambutnya. Adel membalasnya dengan sapaan manis lalu menggenggam tangan laki-laki itu.

“Realitanya, we are not made for each other, Dylan. Jadi aku harap kamu bisa pikir baik-baik permintaan aku tadi ya, dan aku harap kita masih bisa profesional di kantor karena ini nggak ada sangkut pautnya sama pekerjaan. Aku akan bayar ini lalu ada urusan sebentar, kamu balik ke kantor aja duluan. See you, Dyl” Adel kemudian pergi sambil menggandeng laki-laki itu, meninggalkan Dylan yang masih duduk termangu.

’Bittersweet’

’Senang kamu masih mengingatku, Adeline Oceana, tapi sedih karena kamu terasa asing’

’Kenapa, Del, kenapa?’

***

“Mau boba nggak, Del?”

Adel menggeleng.

“Es krim deh, Paletas Wey kesukaan kamu”

Adel menggeleng lagi.

Orion menghela nafas, bingung harus berbuat apa supaya pacarnya ini mukanya nggak ditekuk terus.

“Emang kenapa sih? Orang aku gapapa kok” kata Adel datar sambil memilih-milih facial wash yang dia ingin beli.

“Ya abis muka kamu gitu dari pas aku jemput di Zenbu”

“Bukannya muka aku emang selalu gini ya?”

“Iya sih… Tapi-”

“Udah ah, Yon, santai aja, aku gapapa. Aku bayar ini dulu ya, kamu tunggu di luar aja, di sini penuh” Adel memotong kata-kata Orion dan melengos pergi ke kasir.

Di mobil, muka Adel tetap sama. Masih datar, masih dingin. Adel juga tidak banyak bicara, paling hanya menanggapi kalau Orion bicara dengannya. Bagi Orion ini hal yang janggal. Adel, walaupun memang orangnya bukan tipe yang cheerful, tapi biasanya tidak se-diam ini. Adel selalu punya topik untuk bahan pembicaraan mereka, dari topik yang berat soal permasalahan dunia, sampai topik yang ringan seperti sekedar jokes yang dia lihat di timeline Twitter. Jadi hari-harinya bersama Adel selalu penuh dengan suara mereka berdua yang seru mengobrol, tapi tidak hari ini.

“Gara-gara cowok tadi ya? Itu cowok yang pernah kamu cerita? Yang di Sydney?”

Adel tidak menanggapi.

“Hey, aku nggak bilang aku cemburu or something like that ya, so just answer my question, please? Babe?”

Kali ini Adel menanggapi dengan anggukan, tapi tetap tidak mau bicara.

“Yaudah deh, gapapa kalo belom mau cerita sekarang. Mungkin kamunya masih shock juga tiba-tiba dia muncul di depan kamu, padahal kamunya nggak pengen banget liat dia lagi kan? Soalnya keinget sama-”

Belum selesai Orion bicara, Adel sudah menundukkan kepala dan menangis. Orion yang kaget melihat pacarnya tiba-tiba menangis langsung meminggirkan mobilnya.

“Eh, yang, kok nangis sih… Maafin aku ya bawa-bawa soal itu lagi… Maaf… Cep cep udah ah nangisnya…” Orion memeluk dan menenangkan Adel dengan menepuk-nepuk pundaknya.

’Dylan Arkana. Nama yang indah, tapi telalu sakit untuk diingat…’

’Mungkin ada satu sebutan yang cocok untuk mendeskripsikan seorang Dylan’

’Bittersweet’

• Your Dress •

[Author’s POV]

Caca and Uyon are having the best time of their lives.

Setelah Caca buka-bukaan soal masa lalunya, hubungan mereka kini semakin dekat. Walaupun Uyon jadinya super protektif ke Caca.

“Ya masa sih gue nggak boleh pake rok, Ran??” protes Caca yang sedang curhat ke Rania.

“Kan boleh kalo lagi sama dia” jawab Rania tak acuh, masih sibuk menyantap bakso pesanannya.

“Ya tapi kan gue kadang-kadang pengen juga gitu pake rok ke kantor. Kan kalo ke kantor juga dia suka anter jemput, trus di kantor emang siapa sih jir yang peduli gue pake rok. Kenapa tetep nggak boleh coba??”

“Tuh, kata lo nggak ada yang peduli lo pake rok, ya gausah pake nggak sih?”

“Kok lo belain dia??” Caca ngambek karena Rania malah membenarkan Uyon, bukannya membela dia.

“Well, nggak belain sih cuma mencoba ngambil kesimpulan aja dari pernyataan lo haha. Udah ah, sepele banget sumpah. Eh, Ca, trus setelah lo cerita itu, lo sempet kambuh nggak?” tanya Rania penasaran.

“Sempet, Ran. Waktu itu emang lagi ujan deres dan petirnya banyak banget, tapi karena Uyon bilangnya dia lagi banyak kerjaan gue gamau ganggu jadi gue coba buat nenangin diri sendiri aja sampe ketiduran”

“Ih! Kebiasaan banget sih! Padahal kan bisa telepon gue… Trus trus gimana akhirnya?”

“Akhirnya ya… Mimpi buruk lagi lah hehehe. Tentunya gue baru inget pas bangun paginya, tiba-tiba Uyon udah ada di apartemen aja pokoknya. Kalo kata dia sih, gue telepon dia jam 2 pagi nangis-nangis, jadi dia langsung nyamperin gue. Dia kan udah gue kasih kunci tuh jadi dia langsung masuk. Pas dia masuk gue lagi duduk di kasur gemeteran parah, trus nangis makin kenceng pas udah ada dia. Yaudah dia yang nenangin gue sampe akhirnya tidur lagi, gitu katanya”

“Berarti Uyon nginep di tempat lo?”

“Iya, dia stay sampe pagi, sarapan bareng trus anter gue ngantor baru pulang. Kenapa gitu?”

Rania mengernyitkan dahinya tanda curiga. Sementara Caca ngedip-ngedip mata aja, nggak punya ide sama sekali Rania lagi mikir apa.

“Nggak diapa-apain kan?” tanya Rania.

“Maksudnya diapa-apain apaan?” Caca tidak mengerti maksud Rania.

“Ya… Dipegang sininya gitu, atau yang bawah mungkin?” jelas Rania sambil memegang bagian atas dadanya.

“IHHHHH APA SIH RAN!!!!” Caca menutup muka karena malu, mukanya langsung memerah.

“KOK LANGSUNG MERAH GITU SIH MUKANYA???”

“YA ABIS LO NANYANYA GITU MAKSUDNYA APA SIHHHHHH!!!!”

“Ya gue kan cuma mau memastikan itu kunci yang dia pegang digunakan emang untuk darurat aja gituu.

Tapi ngeliat reaksi lo gue malah makin curiga…”

Caca yang masih menutup mukanya mengintip sedikit dari balik jari-jari tangannya, namun masih enggan menjawab pertanyaan Rania tadi.

“Heh, jawab sih kalo ditanya?”

Caca malah makin menutup muka.

“You don’t say....”

“Ya kan kenalnya udah lama, Ran…”

“Then?”

“Like kissing is our daily routine anyway…”

“...YOU TWO ALREADY DID ‘THAT’????”

***

“Lucu banget bajunya, ehe” Uyon memuji Caca yang sedang memakai chiffon mini dress berwarna merah, sangat cocok dengan kulitnya yang berwarna terang.

dress

“Padahal aku pengen banget ngantor pake ini” kata Caca kesal.

“Nggak boleeeeh rok sama dress kamu semuanya punya aku, cuma boleh pakenya kalo lagi sama aku hoho” Uyon meledek Caca sambil mencubit-cubit gemas pipi gembilnya.

Caca dan Uyon sedang menikmati quality time mereka di akhir minggu ini. Quality time buat mereka sederhana saja, hanya perlu nge-mall atau makan siang di restoran/cafe yang lucu (supaya Caca bisa foto-foto), lalu pulang ke apartemen Caca untuk nonton drakor bareng. Oh, sering juga sih ke rumah Uyon biar nonton drakor-nya bareng Mbak Ugi, tapi lebih sering ke apartemen Caca.

Layaknya dua sejoli yang lagi anget-angetnya pacaran, pasti lah mereka terus-terusan skinship kalo lagi ada kesempatan. Apalagi kalo lagi nonton drakor, bahasa kerennya ‘Netflix and chill’ kan tuh, biasanya di situ kesempatan mereka untuk sayang-sayangan. Ya Uyon nontonnya sambil meluk pinggang Caca lah, ya nanti Caca nyium pipi Uyon, trus ntar Uyon bales pake cium di bibir, abis itu main kelitikan satu sama lain, trus ndusel-ndusel lagi, udah muter aja terus kayak gitu.

Tapi, biasanya cuma sampai di level itu aja, nggak lebih.

Not today.

“Ca, langsung nonton aja dong sumpah aku penasaran parah lanjutannya kayak apa” pinta Uyon sesaat mereka masuk ke apartemen Caca, lalu buru-buru menyalakan TV dan menyambungkan Netflix dari HP-nya

“Jangan mulai dulu, aku ganti baju bentar” kata Caca.

“Aaah gausah langsung aja udah siniii” Uyon menarik Caca keluar dari kamarnya dan mendudukkan Caca di sofa, kemudian dia duduk di sebelahnya.

“Okay, since kamu hari ini lagi nggak nyebelin-nyebelin banget aku turutin. Ututu gemes banget deh yang jadi doyan nonton drakor sejak ketemu sama aku” ujar Caca sambil bersandar ke Uyon dan menggelitik dagu lelakinya itu. Yang punya dagu nggak peduli, lagi fokus memasang drakor yang akan mereka tonton.

Sudah tiga episode berturut-turut mereka tonton, tapi Uyon nggak ada gerak-geriknya mau pulang padahal sudah jam 11 malam. Caca udah ngelirik-lirik mulu ke arah Uyon, bertanya-tanya kapan ini anak mau pulang, karena dia udah ngantuk.

“Bilang aja sih, Ca, kalo mau ngusir aku” ternyata Uyon membaca pergerakan mata Caca.

“Eh… Engga kok…” Caca jadi kikuk karena ketahuan.

“Jadi aku boleh nih nggak pulang?”

“Hah? Ya nggak gitu juga…”

“Hahaha kenapa sih lucu banget kalo awkward gitu” kata Uyon sambil mengusap lembut mata Caca yang terlihat sayu karena ngantuk.

“Kamu udah ngantuk ya, sayang?” tanya Uyon.

“Emm… Dikit?”

Uyon menatap Caca lekat-lekat, dia mengamati satu persatu bagian wajah Caca. Mata, hidung, bibir, semua dia tatap lekat-lekat dan dia usap lembut. Caca mulai deg-degan karena nggak biasanya Uyon seperti ini.

“Caca”

“Hmm?”

“You’re sexy when you’re sleepy”

Caca kaget, mukanya langsung memerah seperti tomat. Dia menutupi mukanya untuk menyembunyikan wajah malunya.

“Apaan sih, Yon! Kenapa tiba-tiba ngomong gitu!”

Uyon menggenggam kedua tangan Caca lalu membuka barikade muka cantiknya itu.

“Nggak tiba-tiba ya. Dari dulu aku mikirnya gitu” katanya.

Sesaat setelah Uyon mengatakan itu, layar TV menayangkan sebuah adegan panas dari drakor yang sedang mereka tonton. Seperti sudah diatur oleh semesta, kebetulan baju yang dikenakan oleh wanita di layar itu berwarna merah, persis seperti baju yang dikenakan Caca saat ini.

Keadaan ini membuat Uyon ingin mengeluarkan sisi yang tidak pernah dia perlihatkan ke Caca.

Karena Caca sudah menjadi miliknya kan?

Jadi Caca sudah boleh menjadi tidak suci.

“Ca, malam ini gausah tidur, yuk?”

Uyon lalu mencium Caca dan mendorongnya sampai terbaring di sofa. Uyon menggunakan kedua tangannya sebagai borgol untuk kedua tangan Caca, memastikan gadisnya ini tidak bisa kabur. Caca sedikit berontak, namun tidak menolak ketika Uyon menciumnya lebih dalam lagi.

Their make out session lasts for a while. Uyon kissed her very sensually and made Caca let out little moans to their kiss. Uyon then kisses Caca’s neck and makes a lot of marks on it. He also doesn't forget to play with Caca’s ear, giving her feathery kisses, gaining more moans from his girl.

“Ngghhh… Yonnnhh…”

“We continue this on bed”

Uyon lalu dengan mudahnya menggendong Caca dan membawanya ke kamar. Dia meletakkan Caca dengan perlahan di kasur lalu mulai menciumi dan menggerayangi tubuhnya lagi. Caca, yang kali ini tangannya sudah bebas dari sekapan Uyon, tidak mau kalah. Dia memasukkan tangannya ke dalam kaos yang dipakai Uyon dan menyentuh lembut perut keras Uyon hasil rajin pergi ke gym. Sentuhan itu membuat Uyon juga mengerang.

“Hngghh gosh, Ca… Can I touch you too?”

Tanpa basi-basi, Caca membawa tangan lelakinya itu ke atas si kembar miliknya yang masih tertutup lengkap. Uyon kemudian meremasnya, membuat erangan Caca semakin menjadi-jadi.

Uyon membuka baju dan celana jeans yang dia pakai, lalu membantu Caca melepas pakaiannya juga.

“Untung kamu pake dress, jadi gampang lepasnya ehehe. Yang ini boleh dilepas juga nggak?” tanya Uyon sambil memainkan tali bra Caca. Caca yang sudah kepalang enak hanya bisa mengangguk lemah.

“Just take it off, please, I don’t care, just continue what you’re doing” pinta Caca dengan suara mendesah

“With pleasure, my dear” Uyon then skillfully takes off her bra and throws it carelessly. He then proceeds to devour Caca’s perky breasts. He kisses them, squeezes them, and sucks them like there’s no tomorrow. As if he found something to eat after starving for days.

“Yon yon- aaaahh… Please, please… Hnggh please geli banget…”

“Wet already, dear? Can I check it?”

Lagi-lagi Caca hanya bisa mengangguk lemas.

Uyon put his fingers over Caca’s most intimate part and then pressed it, feeling the wetness of that thing.

“You’re very wet, Ca. Buka aja ya biar nggak kotor?” kata Uyon sambil perlahan menurunkan perlindungan terakhir tubuh Caca. Tidak ada sehelai kain pun yang tersisa di tubuh Caca sekarang.

Uyon then continues to pleasure his girl with feathery kisses over her cleavage, down to her stomach, and finally reaches down there.

Uyon membuka lebar-lebar kaki Caca, menghujani bagian itu dengan kecupan-kecupan kecil sebelum akhirnya melahap makanan utamanya malam ini. Caca sudah kacau, hanya nafas berat dan erangan yang bisa ia keluarkan dari mulutnya. Gadis itu semakin kacau ketika Uyon memasukkan jarinya ke dalam sana.

“AAAH fuck- fuck!” Caca cannot help but swear. I mean, who doesn’t swear at this kind of situation?

“Language, Ca” Uyon menegur Caca, namun tidak menghentikan gerakannya yang malah membuat Caca semakin menggila.

“Since it’s your first time, I won’t add another one” lanjut Uyon.

“No.

Put more”

“Are you sure?” Uyon kaget dengan permintaan Caca.

“Yes, after that I want to touch yours” jawab Caca yakin.

Uyon tertawa melihat kelakuan Caca yang tiba-tiba demanding.

“Okay, sayang. Selesaiin yang ini dulu ya” and so Uyon puts another finger and makes Caca’s body tremble even more.

“Yonnnhh… Ahhh…. I’m close…”

“Let it out, sayang”

Caca reaches her high. She breathes heavily while Uyon tries to clean up the mess using his mouth.

“Giliran aku” Caca lalu mendorong Uyon hingga lelaki itu terbaring, lalu ia duduk di atas kaki Uyon, berdekatan dengan si ‘adek’. Namun, dia bingung harus melakukan apa.

“Kan, nggak ngerti kan mau ngapain? Sok tau sih kamu haha” ledek Uyon.

“Sebel… Yaudah ajarin cepet!” kata Caca sambil cemberut.

“Sini, pegang dulu dari luar celana aku” Uyon membawa tangan Caca dan meletakkannya di ‘situ’. Caca dengan sendirinya mengusap-usap daerah yang sedang ia pegang.

“Ahhh.. Anjing…”

“Language! Tadi marahin aku padahal sendirinya gitu”

“Sorry, sorry. Abis gitu aja udah enak banget, hngh- keluarin aja dari celana sekarang, Ca” suruh Uyon.

Caca perlahan menurunkan celana dalam Uyon dan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.

“Wooow...” Caca melihat benda itu dengan kagum, tetap sambil terus mengusap-usap benda itu. Uyon yang lagi enak jadi ketawa kenceng melihat reaksi Caca.

“HAHAHAHAHA! Asli Ca, kenapa sih kamu gemes banget?? Lagi kayak gini juga tetep gemesin?? Nangis nih aku”

“Tunda nangisnya, ini aku harus ngapain dulu?”

“Yaudah kocok aja ke atas bawah gitu”

Caca tanpa ragu menuruti perkataan Uyon. Dia tidak terlihat kaku, tidak terlihat seperti pertama kali melakukan hal ini.

“Ah- aaahhhh.... Ca, ca…. Enak banget please…”

“Cepetin Ca… Terus… Hnggh- aaaahhhh”

“Dikit lagi Ca… Dikit lagi… I’m close…”

“Ca awas… Nanti kamu kotor… Aaahhh…”

Caca malah mengarahkan barang yang dia pegang ke tubuhnya.

“Gapapa, kan aku belom mandi”

Soon after that, Uyon reaches his high. His fluid squirts all over Caca’s naked body.

“Maaf, yang, sorry sorry” Uyon buru-buru berdiri dan membantu membersihkan cairan tersebut dengan tisu.

“Yon… Marah nggak…”

“Marah kenapa?”

“Marah nggak kalo sampe sini dulu aja…? Aku capek ngantuk banget…” tanya Caca yang matanya benar-benar sudah tinggal 5 watt.

“Haha nggak lah, nggak marah” jawab Uyon sambil mengelus rambut Caca dan mengecup dahinya.

“Hehe maaci. Yaudah aku mandi dulu yaa” Caca berdiri untuk menuju ke kamar mandi.

“Eh tunggu, Ca” Uyon menarik tangan Caca, menahannya untuk pergi.

“Kenapa?”

“Bareng mandinya, hehe”

• Nice to Meet You! •

“Halo Mas Dylan! Namaku Osha, salam kenal yaa” Osha menyambut Dylan dengan semangat. Sudah pasti karena paras Dylan yang di atas rata-rata.

“Hai Osha, salam kenal juga ya” jawab Dylan dengan kalem sambil menjabat tangan Osha.

“Halah, sok manis lo” Rendra malas melihat tingkah Osha yang langsung sok malu-malu begitu. Osha mengutuk Rendra dalam diam, lalu kembali tersenyum ke arah Dylan.

“Kenalin mas, gue— eh, aku Rendra hehe” tiba-tiba Rendra nggak enak karena langsung pake gue-lo aja padahal baru kenal.

“Haha santai aja, gue-lo juga gapapa kok, biar makin cepet akrabnya. Lagian kayaknya kita seumuran ya? Atau paling engga nggak beda jauh lah umurnya” kata Dylan.

“Gue sama Osha sih umur 22, mas. Kalo mas umur berapa?”

“Bener kan nggak jauh, gue 24. Kalo gitu kalian santai aja lah ngomongnya sama gue, gausah pake mas juga gapapa, gue kan junior nih lagian haha”

“Jangan mas, nggak enak, hehe. Kita udah kebiasaan manggil yang lebih tua pake mas mbak” tolak Rendra.

“Haha oke deeh. Kalo gitu Ren, Sha, mohon bantuan untuk ke depannya yaa” ujar Dylan mengakhiri sesi perkenalan mereka. Lalu duduk di depan mejanya yang membelakangi Rendra dan Osha.

“Siaaap mas. Eh mas btw sebelumnya kerja dimana?” tanya Osha.

“Hmm gue belom pernah officially jadi karyawan sih, ini yang pertama. Sebelumnya gue bantuin kerjaan bokap nyokap aja di Sydney”

“Oh mas dari Sydney?”

“Iya, gue dari lahir di Sydney, baru sekarang pindah ke Jakarta”

“Tapi kok Bahasa Indo-nya bagus sih mas? Nggak ada bule-bulenya sama sekali?” sahut Rendra.

“Ya karena emang gue orang Indo haha gue nggak ada darah bulenya guys, pake Bahasa Inggris kalo lagi di luar aja, kalo di rumah sih tetep Bahasa Indo” jelas Dylan yang disambut anggukan tanda mengerti dari dua rekan kerjanya.

“Eh kok kalian nggak istirahat makan siang sih?” tanya Dylan.

“Nanti mas, kita ada kerjaan yang harus direvisi dulu nih, suruhannya si robot” jawab Osha yang langsung dipukul lengannya sama Rendra.

“Masih baru jangan langsung ditakutin apa. Kalo nggak betah kita berdua lagi mau lo hah” Rendra berbisik ke Osha sambil menggertakan giginya.

“Siapa si robot?” Dylan penasaran.

“Ah, engga mas, maksudnya suruhan manager kita. Tadi kita bikin salah dikit jadi jam makan siang buat selesain revisi dulu deh ehehe” jawab Rendra.

Manager tim ini ya…

Oceana

“Mas sendiri nggak makan?” tanya Rendra.

“Gue udah makan tadi sebelum ke sini. Sekarang gue lagi nungguin HRD mau kenalin gue ke manager” jawab Dylan.

Tidak lama setelah itu staff HRD yang tadi berjanji akan mengenalkan Dylan kepada manager-nya datang.

“Mas Dylan, sekarang aja yuk ketemu Mbak Adel-nya. Soalnya beliau bilang habis jam makan siang ada meeting lagi dengan klien” ujar staff HRD.

“Oh iya, mbak. Gue kesana dulu ya” Dylan berdiri dan pamit ke Rendra dan Osha.

’This is it’

’The moment of truth’

’Are you really there, Oceana?’

***

Momen ini adalah yang paling menegangkan dalam hidup Dylan. Lebih-lebih menegangkan daripada saat dia minta izin ke orang tuanya untuk pindah ke Jakarta.

'What should I do if it's really her?'

Kalimat itu berulang-ulang menghampiri pikiran Dylan selama perjalanannya ke ruangan manager yang terasa lama, padahal tidak ada 2 menit sudah sampai.

“Permisi, Mbak Adel. Ini anggota baru tim mbak yang saya bilang tadi pagi” staff HRD kemudian mempersilahkan Dylan masuk.

Dylan yang masuk sambil menunduk, perlahan mengangkat kepalanya dan melihat sosok perempuan di depannya.

'Oh. My. God.'

'It is her'

'But, something is different…'

“Mbak Adel, perkenalkan ini Mas Dylan, anggota baru tim mbak. Dan Mas Dylan, ini Mbak Adel, semua pekerjaan mas nanti akan lapornya ke Mbak Adel ya” staff HRD memperkenalkan mereka berdua, lalu pergi dari ruangan Adel.

“Adeline Oceana, I heard you're the same age as me so just call me Adel, gausah pake mbak kayak yang lain. Nice to meet you… Sorry, siapa tadi?”

“Dylan. Dylan Arkana. Nice to meet you too”

“Oh, yeah, sorry. Banyak banget kerjaan jadi suka skip gini”

“Iya gapapa. By the way, do you happen to remem-”

“Sorry, Dylan, aku ada meeting lagi so I gotta go now. Talk to you later. See you around and welcome to the team” Adel lalu menggendong tasnya dan pergi meninggalkan Dylan.

“See you…” kata Dylan lirih sambil melambai ke arah Adel. Adel yang sudah berjalan cepat bahkan tidak melirik sedikit pun ke arah lambaian tangan Dylan.

Perempuan itu benar-benar dia. Rambut panjangnya, paras cantiknya, tidak ada yang berubah. Hanya saja dia lebih… Dingin?

'Mungkin karena lagi sibuk aja' batin Dylan berusaha untuk mengerti Adel.

Ah, iya, Adeline. Nama depannya Adeline. Dylan ingat sekarang.

But sadly,

She doesn't remember him.

***

“Are you sure that’s really her, bro?” tanya Mario dari ujung telepon.

“100 percent, bro. That face, that voice, it’s her” jawab Dylan.

Malam itu Dylan langsung laporan tentang pertemuannya dengan Adel ke sahabatnya di Sydney, Mario. Mereka sudah bersahabat dari kecil karena sama-sama merupakan orang Indonesia yang tinggal di Sydney. Mario kenal Dylan sampai dalam-dalamnya, begitu pun sebaliknya. Jadi tentu saja Mario tau dan paham betul tentang Dylan dan perempuan yang selalu dicarinya ini, walaupun tidak pernah benar-benar tau seperti apa perawakan perempuan itu.

“Wow… Gue nggak nyangka lo bakal secepet itu ketemu sama dia. Trus trus, does she recognize you?”

“No… I guess? Gatau, Mar”

“Lah? Gimana sih?”

“Tadi cuma bentar ketemunya, cuma say hi trus dia pergi meeting. Tapi kayaknya sih dia nggak inget gue”

“Nggak nggak, gue nggak percaya dia nggak inget lo. I mean like, hey, you two had memories together, even if it was just one day, and it wasn’t like just ordinary memories, it’s like REALLY GOOD MEMORIES. Dia pasti inget lo”

Dylan menghela nafas. Rasanya ingin sekali percaya dengan kata-kata Mario, ingin sekali percaya bahwa Adel masih ingat dengannya, masih ingat dengan apa yang mereka lakukan bersama di hari itu.

Tapi melihat reaksi Adel tadi, sepertinya dia harus mulai mengubur ekspektasinya, sebelum rasa itu tumbuh makin tinggi.

“Hey softie, I think you better just let it flow for now. Don’t jump to conclusions too quickly. You have a lot of time to spend with her since she’s your manager now. Take it slow” saran Mario.

’I know I should do that, but I just can’t help it…’

“Ah percuma, paling lo nggak dengerin gue. Udah dulu ya, bro, ngantuk nih udah tengah malem tau di sini. Bye!” Mario menutup pembicaraan mereka malam itu.

Dylan menaruh HP-nya di nakas lalu berbaring di kasur sambil merentangkan badannya. Dia menatap kosong ke arah langit-langit kamar, namun pikirannya penuh dengan Adel. Dia mencoba mengingat-ingat Adel yang dia temui dulu di Sydney dan dia bandingkan dengan Adel yang sekarang. Ujung-ujungnya, tetap bertanya-tanya apakah dia benar-benar lupa dengan Dylan, juga mengapa dia sekarang terkesan dingin.

“Aaaakh tau ah, bisa begadang gue mikirin gini doang. Tidur aja deh mending” Dylan menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha melepaskan pikiran-pikiran tentang Adel dari otaknya. Kemudian dia memutuskan untuk tidur saja walaupun waktu baru menunjukkan jam 8 malam.

Kriiiiiiing

Tidak jadi menarik selimut, Dylan mengambil kembali HP-nya untuk melihat siapa yang menelponnya malam-malam begini. Di layar HP itu hanya terlihat serangkaian angka, yang berarti telepon itu bukan dari nomor yang Dylan simpan.

“Siapa nih?” kata Dylan bingung sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu.

“Halo?”

“Halo? Dylan ya? Ini Adel”

Dylan langsung loncat dan berdiri di atas kasur saking kagetnya. Softboi mana yang nggak kaget kalo tiba-tiba ditelepon sama perempuan idamannya, malam-malam lagi.

“Oh- oh, iya, ha- hai, Adel” jawab Dylan gugup. Detak jantungnya sudah tidak bisa dikontrol lagi. Dia sampai harus mengelus-elus dadanya sendiri supaya jantungnya itu lebih tenang sedikit.

“Sorry ya aku telepon malem-malem, nggak ganggu kan?”

“Eng- engga kok. Ada apa, Del?”

“Hmm nggak sih, aku cuma agak nggak enak aja tadi ninggalin kamu karena harus meeting, padahal mestinya aku kasih brief tentang kerjaan kamu nanti”

“Ah gapapa kok, kan masih bisa besok. Tadi udah dijelasin dikit juga sih sama Rendra dan Osha, hehe”

“Kalo gitu besok aku jelasin yang detail ya, sambil makan siang bareng gimana? Aku traktir, sekalian welcome lunch buat kamu”

Mulut Dylan otomatis menganga mendengar ajakan Adel, dia cubit-cubit dirinya sendiri saking nggak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Bo- boleh, Del. Tapi aku yang nggak enak ditraktir…” jawab Dylan ragu.

“No worries, itu kebiasaan aku kok traktir anak baru yang masuk ke tim. Kalo gitu besok langsung janjian aja di KoKas ya, aku dari ketemu klien langsung ke sana. Makan di Zenbu nggak keberatan kan? Aku lagi pengen makan di situ”

“Nggak keberatan kok, aku belom pernah makan di situ kebetulan, ehehe”

“Okay then, see you tomorrow, Dylan. Good night” Adel lalu menutup telepon itu. Meninggalkan Dylan yang saat ini hanya bisa menatap layar HP-nya, menatap rangkaian nomor yang meneleponnya barusan.

’Did… Adel… Just ask me to eat lunch with her…’

Dylan menampar pipinya, sekali lagi memastikan ini bukan mimpi.

“Anj- sakit jir… Berarti bukan mimpi dong hehehehehehe” Dylan tersenyum, lalu tertawa-tawa seperti orang bodoh sambil turun dari kasur dan menuju ke lemari bajunya.

Dylan dipastikan tidak akan tidur malam ini, sampai dia menemukan jawaban dari pertanyaan:

’Pakai baju apa yang besok?’

• Oceana •

“Do you believe in destiny?

Who knows we can meet again in the future”

“Sorry, I don’t.

Destiny is a vague concept”

***

“Gimana sih kalian?? Gini aja nggak bisa??” Adel melempar tumpukan kertas yang tadinya ia pegang ke meja, mengagetkan dua karyawan yang sedang menundukkan kepala di depannya.

“Saya udah bilang ke kalian kalo kerja tuh dicek berkali-kali dulu sebelum kirim! Apalagi ini dokumen kontrak dengan klien, bisa-bisanya kalian salah di bagian nominal kontrak, kalian tau nggak perusahaan bisa rugi gara-gara kalian!” bentak Adel.

“Ma- maaf, mbak… Kami kurang teliti… Kami akan bicara dengan klien lalu segera merevisi bagian yang salah” ujar Rendra, salah satu dari dua karyawan itu, masih sambil menunduk.

“Iya, mbak… Akan kami lakukan segera… Kami akan lebih teliti lagi…” sambung Osha, karyawan yang lain. Tidak ada satu pun dari mereka berdua yang berani menatap muka Adel saat ini.

“Ya sudah sana keluar dan mulai kerjakan, jangan harap kalian bisa istirahat makan siang kalo masalah ini belum selesai” ancam Adel. Kedua karyawan baru itu pun permisi keluar dari ruang kerja Adel.

Setelah mereka keluar, Adel mencoba untuk menenangkan diri dengan meminum air dari tumblr warna kuning bergambar Gudetama kesayangannya. Dia lalu memejamkan matanya yang lelah dan berdiam untuk sementara waktu. Dia mencoba untuk tidur walau hanya sebentar, karena setelah jam makan siang dia masih harus meeting dengan klien yang lain.

oceana

Adeline Oceana. Dilahirkan di sebuah kota yang berada di pinggir laut. Setelah melahirkan Adel, pemandangan pertama yang dilihat oleh ibunya adalah laut yang terhampar luas. Ombak-ombak berderu kencang di laut itu dibantu oleh angin laut yang terasa segar. Ibunya berharap Adel akan tumbuh menjadi seorang yang penuh semangat seperti ombak-ombak di laut, namun tetap lapang hatinya dan dapat menyejukkan hati orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, ia dinamakan ‘Oceana’.

Namun takdir berkata lain. Adel justru tumbuh menjadi ‘laut di waktu pasang’, ketika ombak-ombak berderu lebih kencang dibandingkan waktu lainnya, anginnya pun tidak segar, malah bisa membuat orang tidak enak badan.

Adel is an ambitious, cold-hearted woman.

And as her fate turned out to be 180 degrees different from her mom’s expectation,

She doesn’t believe in destiny.

***

“Yaelah, batal deh makan Sushi Tei” kata Osha kesal, lalu duduk kembali di depan mejanya, diikuti oleh Rendra yang duduk di sebelahnya.

“Sorry ya, Sha, kayaknya salah gue deh tadi, soalnya buru-buru” Rendra meminta maaf.

“Selow, Ren. Gue juga salah kok, tadi nggak gue cek dulu main kirim-kirim aja”

“Kapan ya kita dikasih anak baru? Capek banget anjir ngerjain proyek banyak cuma berdua doang” ujar Rendra sambil berputar-putar di kursinya.

“Tau nih, jir. Gue udah berkali-kali loh padahal ngomong sama Mbak Adel buat kasih kita orang baru. Tapi kayaknya nggak didengerin deh, gue pernah tanya sama anak HRD mereka nggak terima request buat rekrut orang baru” jawab Osha yang sedang memangku dagu di meja sambil memain-mainkan rambutnya.

“Gila, gila. Hobi banget nyiksa orang kayaknya ya dia. Kagak liat apa kita tiap hari kerja kayak apa, bentar lagi jadi zombie deh kayaknya kita, Sha”

“Namanya juga kerja sama robot, Ren. Udah workaholic, nggak punya perasaan lagi. Fix dia bukan manusia, dia robot”

Tok tok

Tiba-tiba ada suara ketukan di meja yang membuat mereka sontak menengok ke arah ketukan itu.

“Hai, apa betul ini bagian project management?” tanya seorang laki-laki kepada mereka berdua.

“Oh, iya betul. Ada yang bisa dibantu?” ujar Osha.

“Mulai hari ini saya jadi karyawan di bagian ini.

Perkenalkan, nama saya Dylan Arkana”

dylan

***

Berbeda, namun tidak asing.

Mungkin seperti itu perasaan Dylan saat ia menginjakkan kakinya di Jakarta. Kota ini masih terasa mirip dengan tempat tinggal Dylan sebelumnya, Sydney. Lalu semakin tidak terasa asing karena semua orang menggunakan Bahasa Indonesia, bahasa yang ia pakai di rumah.

Dylan Arkana. Bukan berasal dari keluarga yang kaya, namun lahir dan besar di Sydney karena kedua orang tuanya bekerja di sana. Kedua orang tua Dylan bertemu saat mereka sama-sama mendapat beasiswa di kota itu, jatuh cinta, lalu memutuskan untuk menikah dan menetap di sana.

Namun Dylan, yang seumur hidupnya hanya pernah beberapa kali ke Indonesia, justru ingin menetap di Jakarta. Dia ingin tinggal di negara tempat nenek moyangnya berasal. Oleh karena itu, setelah menyelesaikan kuliahnya, Dylan pamit ke orang tuanya untuk tinggal mandiri di Jakarta. Orang tua Dylan yang memang tidak pernah mengekang keinginan anaknya, membiarkan Dylan melakukan apa yang dia inginkan.

Dylan Arkana. Tidak pernah dikekang karena memang tidak pernah membangkang. Ia adalah anak baik-baik yang selalu diidolakan oleh junior-juniornya. ‘Udah ganteng, baik, kurang apa lagi coba Dylan tuh!’ begitu kira-kira testimoni dari teman-teman terdekatnya.

Padahal ada satu kekurangan Dylan.

Setia.

Kelewat setia.

Dylan si ‘babe magnet’ tidak pernah tertarik dengan perempuan-perempuan yang berusaha mendekatinya.

Karena untuk Dylan, di hidupnya cuma ada satu perempuan.

Perempuan yang dulu ia temui di pantai dan menjadi temannya walau hanya sesaat. Dulu mereka harus berpisah dengan cara yang tidak enak, mereka bahkan tidak sempat bertukar salam maupun kontak. Hanya sempat bertukar nama, itu juga dia hanya ingat belakangnya.

Oceana.

Layaknya memang sudah takdir mereka bertemu di depan laut, nama belakang perempuan itu Oceana.

Menemukan perempuan ini adalah tujuan hidup Dylan. Terkesan berlebihan, tetapi ya seperti itu lah dia. Laki-laki yang emosional, hangat, penuh afeksi terutama untuk orang-orang yang dia sayang.

Dylan sangat percaya dengan takdir. Dan dia percaya takdir akan membawanya bertemu kembali dengan perempuannya itu.

Setelah pindah ke Jakarta dan mendapat pekerjaan, hari ini adalah hari pertama Dylan bekerja.

“Welcome aboard, Mas Dylan. Nanti tempat kerja mas tinggal lurus, belok kanan, lalu ada di sebelah kiri ya. Ada tulisannya kok itu tempat kerja bagian apa” jelas seorang staff HRD kepada Dylan.

“Terima kasih, mbak. Oh iya, saya itu kemarin waktu interview belum sempat bertemu dengan manager saya, nanti kira-kira bagaimana ya mbak?”

“Oh jadinya nggak ketemu ya?”

“Iya, katanya beliau sibuk jadi tidak bisa datang”

“Hmm kalau gitu nanti saya yang kenalin deh, tapi mas ke tempat kerjanya dulu aja gapapa. Habis makan siang saya samperin”

“Baik kalau begitu, terima kasih ya mbak”

“Btw, udah tau nama manager-nya mas?”

“Belum, kemarin nggak disebut. Kalau boleh tau siapa namanya mbak?”

“Namanya Adeline Oceana, dipanggilnya Mbak Adel”

Oceana

Dylan tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.

“Boleh ulang sekali lagi nggak mbak namanya?”

“Adeline Oceana. Kenapa mas? Kenal kah?”

’Mungkin, mungkin kenal’

’Is that really you, my Oceana?’

• Open Up •

[Uyon’s POV]

Anjir.

Anjir anjir.

Deg-degan juga ya ternyata.

Hari ini untuk pertama kalinya di hidup gue, gue akan memperkenalkan perempuan yang gue sayang ke keluarga gue, yang isinya juga perempuan semua.

Walaupun keliatannya bakal gampang karena ngenalin ke sama-sama perempuan, gue malah justru takut dan khawatir. The two women in my family, Mama and Mbak Ugi, they’re the one who loved me and took good care of me for the past 24 years. Then suddenly I’m bringing a new woman to them and telling them that this woman will take good care of me from now on.

That’s saddening.

Gue bener-bener takut.

Agak lega sih waktu Mama dan Mbak Ugi responnya bagus pas gue chat untuk ngasih tau gue mau bawa Caca ke rumah, bahkan bilang Caca calon mantu dan ipar mereka. Nangis banget.

Anyhow, I gotta face it right? Because we’re now arrived in front of my house.

house

“Sampeee. Ini rumah aku, Ca, heheh” kata gue setelah selesai memarkirkan mobil di garasi.

“Ini… Rumah kamu, Yon…? Bagus banget… Kamu cuma bertiga di sini sama mama dan kakak kamu?” tanya Caca sambil menengok ke kiri dan kanan, terkagum-kagum sama rumah gue.

“Ada ART juga sih dua orang, jadi berlima deh” jawab gue. Caca mengangguk-angguk mengerti.

Gue membuka pintu depan dan mempersilahkan Caca masuk, lalu mencari dimana keberadaan Mama.

“Maaa, Caca udah dateng nih. Mama dimana?” panggil gue. Tidak lama Mama datang dari lantai atas, sudah dandan lengkap walaupun bajunya tetap baju rumahan. Ternyata tadi di grup WA bilang mau dandan bukan bercanda…

“Ma, kenalin ini Caca, yang kemaren adek ceritain”

“Haloo Caca, seneng banget akhirnya bisa ketemu kamuuu. Uyon udah sering banget cerita tentang kamu” kata Mama sambil cipika-cipiki dengan Caca.

“Hehe iya tante, apa kabar? Maaf ya tan Caca datengnya dadakan, jadi nggak sempet bawa apa-apa” kata Caca.

“Aduh gapapa sayang, nggak perlu repot-repot. Oh iya, kamu panggilnya Mama juga ajaa”

Mata gue membelalak mendengar Mama bilang itu.

’Secepat ini diterimanya, Ma???’

“Eh… Iya, Mama… Hehehe” jawab Caca canggung.

“Mbak Ugi mana, Ma? Belom nyampe?” tanya gue setelah sadar kakak gue itu belom keliatan batang hidungnya.

“Tadi telepon bilang udah deket sih, tapi kena macet. Paling 10 menitan lagi kali ya. Sambil nunggu dia duduk dulu aja yuk, Ca, ngobrol-ngobrol dulu. Dek, kamu minta Teteh bikinin teh buat kita ya” suruh Mama.

Gue ke dapur untuk meminta Teteh, ART rumah, untuk bikinin teh, sekalian aja gue diam di situ dulu membiarkan Mama dan Caca mengobrol. Mereka tidak terlihat seperti baru kenal. Mereka malah keliatan seperti temen lama yang baru ketemu lagi. Karena jauh gue nggak bisa denger jelas mereka ngobrolin apa, tapi kayaknya seru banget sampe ketawa-tawa gitu.

“Dek, pacarnya yah?” tanya Teteh, bikin gue yang dari tadi cuma senyam-senyum doang ngeliatin Mama dan Caca ngobrol jadi kaget.

“Iya Teh, cantik nggak?”

“Cantik bangeeet, cocok pisan sama adek mah. Tapi yah dek, si neng asa senyumnya getir gitu, punya trauma apa gimana itu teh?”

Deg

Teteh ini emang bisa baca orang gitu, kayak dia tau aja kalo seseorang punya sesuatu yang ditutupi. Contohnya dulu waktu gue pernah mabok dan berujung ONS, pas gue pulang dia langsung ngomong sama gue: ‘Ih adek, abis nakal ya sama perempuan? Jangan nakal kitu atuh dek’, dari mana dia bisa tau kalo gue semalem sama cewek coba?

Intinya, gue bisa percaya sama kata-kata Teteh.

’Trauma apa, Ca? Kamu punya trauma apa?’

“Ih dek, bener teu kata Teteh?” Teteh menyenggol lengan gue, nanya lagi karena gue yang ditanyain cuma bengong.

“Hah? Oh. Gatau sih, Teh, dia belom pernah cerita apa pun”

“Ooh kitu, yaudah kalo emang bener mah kamu jaga dia baik-baik yah, dek. Kasian dianya”

“Iya, Teh” jawab gue, lalu Teteh pergi untuk menghidangkan teh ke Mama dan Caca.

Setelah itu gue masih terdiam berdiri di dapur. Gue nggak bisa berhenti bertanya-tanya apa yang disembunyikan oleh Caca.

’Apa yang kamu sembunyiin, Ca? Apa trauma ini yang bikin kamu takut banget sama petir? Apa itu juga yang bikin kamu waktu itu ketakutan, bahkan besoknya langsung sakit?’

“Lo emang kerjaannya bengong mulu ya, baek-baek kesambet lo sumpah” Mbak Ugi datang dari arah garasi, suaranya membangunkan gue dari lamunan gue tadi.

“Eh, udah dateng lo Mbak”

“Nih gue udah beliin pizza buat cewek lo” katanya sambil menunjuk sekotak besar Pizza Hut berisi pizza American Favorite kesukaan Caca.

“Widiiiih belinya yang gede lagi, thank you mbakku yang paling cantiiiiik” kata gue berterima kasih sambil memeluk Mbak Ugi dari belakang.

“Apa-apaan pake peluk-peluk segala wey” protes Mbak Ugi, tapi nggak berusaha melepas pelukan gue. Kita emang gitu, dari luarnya aja berantem mulu, tapi dalemnya sih we love each other that much.

“Btw lo ngapain sih di dapur, bukannya ikutan ngobrol-ngobrol. Ayo ke sana dong, kenalin gue sama Caca” lanjut Mbak Ugi.

“Ayo ayo sini, gue kenalin sama calon ipar lo”


Kayaknya Tuhan sayang banget deh sama gue.

Pemandangan gue sekarang ini nggak pernah gue sangka-sangka akan dateng secepat ini.

Two of my guardian angels are having fun with the love of my life.

Walaupun topik obrolannya tuh aib-aib gue.

“Jadi ya Ca, Uyon tuh kan takut banget sama laba-laba yah, pernah dulu waktu gue SD dia masih TK, dia tuh nangis gara-gara ada laba-laba jatoh di kepalanya trus ngambek gitu gamau masuk kelas. Akhirnya gue deh dipanggil dari kelas gue disuruh ngebujukin dia. Asli ngerepotin banget nggak tuh, untung satu sekolahan TK SD kita” cerita Mbak Ugi yang disambut tawa Mama dan Caca.

Oke lah, masih bisa gue terima aib yang ini.

“Trus trus dulu pernah pas SMP dia tuh naksir sama kating, dia pengen sok-sok surprise jadi dia beliin si kating kayak cardigan gitu, banyak gaya nggak siiih. Nah itu cardigan pagi-pagi dia taro di meja si kating, berharap siangnya langsung dipake kan. Eh taunya itu bukan meja si kating, dia salah naro jadi yang pake kating yang lain, trus si kating yang lain itu malah jadi yang ngejer-ngejer Uyon padahal Uyon nggak suka HAHAHA nangis dah tuh duit udah keluar kating nggak dapet” cerita Mbak Ugi lagi, Caca makin kenceng ketawa denger cerita yang ini.

'Noyor kakak sendiri boleh nggak sih???'

“Lah emang kamu ngasihnya nggak pake kartu ucapan gitu? Atau at least nulis namanya?” Caca nanya ke gue.

“ENGGA CA BEGO BANGET KAN HAHAHHAHAHAHAH” gue baru mangap doang belom sempet jawab, Mbak Ugi udah nyamber aja. Hasilnya mereka berdua makin ketawa. Gue melirik Mama minta bantuan, tapi Mama cuma senyam-senyum doang.

“Oh oh ini sih sebenernya yang paling-paling, Ca.

Lo tau kan lo pacar pertamanya Uyon?”

'Kampret…'

“Hah? Masa iya sih, Mbak? Nggak mungkin ah…” kata Caca nggak percaya.

“Iyaaa, Ca. Dia tuh pernahnya cuma naksir-naksir doang, nggak ada yang diseriusin. Lo yang pertama nih, makanya Mama seneng banget tuh, akhirnya anaknya nggak jadi jomblo ngenes lagi. Ya nggak, Ma?” ujar Mbak Ugi.

“Iya doong, apalagi pas tau pacarnya cantik dan baik kayak kamu” jawab Mama sambil tersenyum ke arah Caca dan menepuk-nepuk pundaknya.

“Ehehe, makasih Ma. Jadi malu aku” ucap Caca malu-malu.

Sekesel-keselnya gue karena aib terbesar gue dibuka, gue tersenyum lebar melihat adegan itu. Seneng banget keluarga gue bisa menerima Caca dengan baik.

Setelah puas ngobrol-ngobrol sekalian makan malam juga, ternyata waktu sudah menunjukkan jam 9 malam. Caca pun pamit pulang.

“Makasih banyak Mama, Mbak Ugi. Maaf ngerepotin ya soalnya dadakan hehe. Oh iya! Mbak Ugi, makasih pizza-nya ya! Kok tau aja sih aku suka banget topping yang itu huhu” kata Caca.

“Ya siapa lagi lah yang ngasih tau, Ca. Tuh tuh yang baru lepas dari titel jomblo ngenes haha” jawab Mbak Ugi.

“Diem nggak lo, awas ya ntar” kata gue berbisik ke Mbak Ugi sambil menggertakkan gigi. Mbak Ugi cuma mengangkat pundak tanda tidak peduli.

“Ah kalian nih berantem mulu” kata Mama marahin kita berdua. “Mama juga makasih ya Ca, kamu udah mau mampir ke sini. Maaf juga cuma seadanya hehe. Mama titip Uyon ke kamu ya, Ca”

“Iyaa Ma, kapan-kapan aku mampir lagi yaa. Aku pamit dulu” ucap Caca sambil dadah-dadah ke Mama dan Mbak Ugi lalu masuk ke mobil gue.

“Fyuuuuh” kata Caca menghela nafas setelah kita berangkat dari rumah gue.

“Capek ya, yang? Maaf ya keluarga aku isinya cerewet semua. Pada tukang ngobrol semua emang” kata gue sambil membawa tangan gue ke puncak kepala Caca lalu membelainya.

“Gapapa kook, seru banget ngobrol sama Mama dan Mbak Ugi. Apalagi aku jadi tau rahasia-rahasia kamu hihi.

Btw, aku beneran pacar pertama kamu, Yon?”

“Ah dibahas kan jadinya, males”

“Beneran? Masa sih orang kayak kamu baru sekali ini pacaran?”

“No comment”

“Beneran berarti hahahahaha”

Gue nggak ikutan ketawa. Sadar akan hal itu, Caca jadi merasa bersalah.

“Yaaah jangan ngambek dong, Yon… Aku udahan deh nanya-nanyanya, janji, hehe” bujuk Caca sambil menyenderkan kepalanya di pundak gue, lalu memainkan bibir gue yang dari tadi cemberut.

Siapa juga yang nggak lemah kalo digituin?

“Oh iya, Ca, aku mau nanya sesuatu boleh nggak?”

“Boleeeeh”

“Tapi ini agak personal… Mungkin sensitif buat kamu”

“Apa tuh…?” Caca jadi tegang karena gue ngomong kayak gitu.

“Hmm biar enak nanti ngomongnya di apartemen aja boleh nggak? Aku mampir sebentar ya?”


Sampai di apartemen Caca, gue langsung menaruh kunci mobil di gantungan yang ada di belakang pintu depan, mengambil air minum yang ada di kulkas, lalu duduk di sofa, seperti yang biasa gue lakukan.

Sedangkan Caca, yang biasanya langsung ganti baju karena dia nggak suka lama-lama pakai baju yang kotor, kali ini cuma naruh tasnya di kamar dan keluar lagi untuk duduk di sebelah gue.

“Loh, kamu gamau ganti baju dulu?” tanya gue.

“Nanti aja. Aku lebih penasaran kamu mau nanya apa” jawabnya sambil mengganti posisi duduk jadi bersila di atas sofa menghadap gue.

“Mau tanya apa?”

“Emm… Itu, Ca… Kamu inget nggak dulu waktu awal-awal kenal kita pernah nggak sengaja ketemu pas ujan deres banget?”

Caca berpikir sebentar.

“Ooh, iya inget, yang di depan kantor aku kan? Yang akhirnya kamu anterin aku pulang?”

“Iya bener. Aku inget waktu itu ujan petir, trus pas kita di mobil tuh sempet ada petir yang gede banget sampe kamu ketakutan, akhirnya kamu minta aku cepet-cepet anterin kamu pulang.

Ca, aku boleh tau alasan kenapa kamu takut banget sama petir? Cuma phobia, apa ada yang lain di balik itu? Karena waktu itu badan kamu gemeteran banget, kayak bukan cuma takut biasa…”

Caca tersenyum getir. Dia tidak terlihat kaget, seakan sudah tau gue mau menanyakan hal ini.

“Yon, kita punya telepati ya? Pas banget aku juga mau cerita ke kamu soal ini hehe.

Kamu mau janji dulu nggak sama aku, Yon?”

“Janji apa?”

“Janji kamu nggak ninggalin aku abis aku ceritain” air mata Caca mulai mengumpul di mata indahnya. Gue buru-buru menggenggam kedua tangannya supaya dia lebih tenang.

“Aduh, Ca, masih perlu ya aku janji buat yang kayak gitu? I will never leave you no matter what. Now please tell me your story” kata gue menatap lekat-lekat kedua matanya.

“Uyon…

I’ve been touched by men…

Aku... Korban pelecehan seksual…”

Seketika Caca mengatakan hal itu, tangisnya pecah. Gue memeluknya erat, mencoba menenangkan dia dengan menepuk-nepuk punggungnya. Sementara kedua mata gue pun mulai ikut basah, tidak kuat membayangkan bagaimana hancurnya Caca saat dia mengalami hal itu.

“It’s okay… It’s okay…” cuma itu yang bisa gue ucapkan.

“Maafin aku, Yon… I’m not as innocent as you thought I would be… Aku udah kotor...” kata Caca di sela-sela isak tangisnya.

“Kenapa minta maaf? It’s not your fault, sayang. You don’t have to be sorry. Dan kamu nggak kotor, those jerks did it against your will, you’re victim here”

Caca cukup lama menangis. Rasanya seperti dia mengeluarkan semua tangis yang dia pendam selama ini. Setelah tangisnya mereda, gue melepas pelukan gue dan memberinya minum. Gue menyeka air mata di pipinya dengan tangan gue dan membelainya lembut.

“Kamu gausah lanjutin ceritanya kalo kamu nggak kuat, gapapa kok” kata gue.

“Nggak, Yon, aku harus cerita”

“Yaudah kalo gitu singkatnya aja” rasanya sekarang gue yang nggak kuat dengar cerita dia.

“5 tahun yang lalu, waktu lagi mau pulang kuliah malam-malam, aku pernah diculik, Yon. Ada orang yang hipnotis aku, lalu aku dimasukin ke mobil dan dibawa pergi jauh. Waktu aku bangun, aku di dalam mobil dengan kondisi tangan dan kaki diikat pakai tali, lalu ada beberapa laki-laki yang berusaha pegang-pegang aku, buka baju aku, jambak aku…”

’Oh God…’

“Aku takut banget, Yon, tapi aku gamau pasrah sama keadaan, jadi aku berontak, aku coba untuk buat mereka semua jauh dari aku pake bagian mana pun tubuh aku yang masih bisa aku pake. Aku teriak-teriakin mereka, aku ludahin, semuanya aku coba. Tapi mereka malah makin menggila, sebenernya cuma satu orang sih yang aku yakin dia bosnya. Semua laki-laki tadi mundur dan tinggal si bos itu dan aku di dalam mobil. Dia mulai pegang-pegang aku lagi, bahkan bikin aku memar dan luka di sana sini. Di situ aku udah nggak bisa ngapa-ngapain, lemes banget, cuma bisa teriak dan akhirnya pingsan. Kejadian ini terjadi pas hujan deras dan banyak petir, Yon. Makanya setiap cuacanya kayak gitu aku ketakutan setengah mati, sampai sekarang…”

“Ya Tuhan… Ca…” gue memeluk Caca lagi, sebenarnya untuk menyembunyikan air mata gue. Hati gue hancur mendengar ceritanya. Gue nggak sanggup kalo dia harus sampai lihat air mata gue juga. Gue gamau dia makin hancur.

“I’m okay… Well, I’m not okay actually… But as long as there are no thunders, I’m okay.

As long as you’re with me, I’m okay, Yon…”

“Tell me how can I help you, Ca, tell me… I’ll help you with anything...”

Caca melepaskan pelukan gue, lalu beranjak mengambil sesuatu di kamarnya.

Kartu akses dan kunci unit apartemennya.

“Aku bukan ngasih ini buat yang aneh-aneh ya”

“Of course, tapi buat apa?”

“Sejak kejadian itu, aku sering mimpi buruk, Yon. It’s been haunting me for the past 5 years and it’s not getting better. Kalo kamu inget setelah yang kamu anterin pulang itu, trus besoknya aku sakit, itu paginya aku mimpi buruk. Tadinya kunci ini ada di Mingyu, karena dia yang dititipin Ayah dan Ibu untuk jagain aku. But as you know, he won’t meet me now…

So, I want you to keep this. Aku bisa jadi telepon kamu pagi-pagi buta karena mimpi buruk itu. Kalo nggak ngerepotin, please check on me. Aku suka gatau aku ngelakuin apa kalo abis mimpi buruk karena aku selalu amnesia setelah itu. Aku takut aku ngelakuin hal yang aneh-aneh.

Will you help me…?”

“Why bother asking, Ca. Of course I’ll help. Kamu boleh telepon aku kapan aja. Kamu boleh gangguin aku kapan aja kalo itu memang bisa bikin kamu nggak takut, sedih, dan nangis lagi”

Caca memeluk gue lagi dan berbisik:

“Thank you, Uyon, I love you. I really don’t deserve you…”

“No, Caca, you deserve it. You deserve to be happy in this world”

We kissed, then we cried together while doing it. But rather than a sad cry, it was a cry of relief. Relief that we can find each other and lean ourself to each other, no matter what the situation is, we can go through this together.

’Let’s don’t be sad from now on, shall we?’

• Say Hello to the New Me •

[Caca's POV]

“AAAAKKKKKK GEMES BANGET SIHHHHH”

Gue otomatis menutup kuping ketika mendengar dua sahabat gue, Minah dan Hyeri, teriak setelah gue ceritain tentang hubungan gue dan Uyon.

Oh iya, btw, we already confirmed our feelings to each other, hehe. Jadi pacaran? Hmm nggak ada ajakan yang menjurus ke situ sih sebenernya… Gatau juga sih… We just love each other.

Well I mean, as long as we know we love each other, that's enough, right?

“Anjirrrr gausah teriak bisa kali! Malu woy” protes gue sambil nunduk dan menutup muka gue. Gara-gara mereka semua orang di Bakerzin Kota Kasablanka tempat kita ketemuan ini ngeliatin meja kita.

“Hahaha lo sih kelamaan jomblo, sekalinya punya gandengan semuanya ribut deh” ledek Rania yang juga ada di sini, lalu disambut dengan tawa lepas Minah dan Hyeri.

“Bener banget, Ran!!! Kayak sebelumnya tuh gue nggak bisa ngebayangin Caca kalo punya cowok kayak apa. Ternyata bucin juga yaaa” kata Hyeri.

“Bucin banget malah, buset dah itu tweet isinya Uyon mulu. Lo berdua ndusel-ndusel tiap hari ya? Curiga gue” lanjut Minah.

“Apa jangan-jangan kalian udah serumah?? Uyon pindah ke apartemen lo?? Lo yang dulu se-gamau itu sama cowok sekarang gini???” sambung Hyeri lagi.

Gue memukul lengan Hyeri. Yang dipukul langsung ngeringis kesakitan sambil ketawa-tawa, puas ngeliat gue marah.

“Sembarangan banget kalo ngomong. Ya kali udah sampe situ, nggak lah!” jawab gue.

“Tapi ndusel-ndusel tiap harinya bener kan?” tanya Rania.

“Yaaa… Iya yang itu sih…” gue nggak bisa ngelak, soalnya Rania emang liat gue setiap hari dijemput sama Uyon.

“Tapi ya kenapa sih emangnya! Kan udah gede juga… Lagian nggak setiap hari di apartemen juga kok, sekali-kali doang...”

“Hahahahahha iya iya Ca, kita tuh cuma gemes aja. Kita seneng juga kok akhirnya lo bisa jadi yang cerita tentang hal-hal kayak gini, bukan cuma dengerin cerita dari gue, Minah, atau Hyeri. Glad to see you’re happy like this” ujar Rania yang disambut anggukan tanda setuju dari Minah dan Hyeri.

Gue tersenyum ke arah mereka. Terharu juga mendengar mereka ngomong kayak gitu, karena selama ini selalu mereka bertiga yang paling concern dengan gue yang susah banget deket sama cowok. Berkali-kali mereka nyoba jodohin gue dengan teman-temannya, tapi nggak ada yang berhasil. Nggak ada yang bisa menyingkirkan ketakutan gue pada laki-laki.

Cuma Uyon.

Cuma Uyon yang bisa bikin gue lupa sama ketakutan gue. Cuma dia yang bisa bikin gue ngerasa nyaman dan aman. Cuma dia yang berhasil membuat gue membuka kunci ke hati gue yang sudah gue buat serumit mungkin.

Only him, and will be always only him. I don’t want anybody else but him.

“Btw, kok sabtu gini lo nggak jalan sama dia sih, Ca? Malah ketemuan sama kita?” tanya Minah.

“Dia pagi ada meeting sama client, trus mau ngecek hasil design dia juga abis makan siang. Jadi dia nyuruh gue main sama kalian aja trus nanti sorean dia jemput ke sini”

“Gilaaa weekend masih kerja aja dia, keren”

“Gitu deh, namanya juga freelance, haha”

“Tapi Ca gue sama Minah cuma bisa sampe jam 2 nih, gapapa? Lo sampe jam berapa, Ran?” kata Hyeri.

“Gue kosong kok, sampe jam berapa aja bisa. Gue temenin lo sampe Uyon dateng, Ca, gapapa kok” jawab Rania.

Lalu kita berempat asik mengobrol lagi sampai akhirnya waktu menunjukkan jam 2 siang. Minah dan Hyeri pamit pulang.

“Ntar ketemu lagi ya, Ca! Pokoknya tiap ketemu gue mau tanya perkembangan lo sama Uyon sampe mana!” kata Hyeri.

“Sama! Gue juga! Jangan kebablasan lo awas!” lanjut Minah.

“Iyee bawel, thank you for today yaa. Bye!”

Setelah selesai dadah-dadah dengan Minah dan Hyeri, gue dan Rania kembali duduk. Ada sedikit rasa canggung di antara kita, karena kita tau kalo sudah berdua seperti ini pasti ada satu topik yang kita akan bahas.

Kim Mingyu.

“So… In the end tetep Uyon ya, Ca, haha” Rania mulai bicara duluan.

“Iya Ran, ehehe. Setelah dipikir-pikir ternyata gue emang sesayang itu sama dia, dan ternyata dia juga baik dan perhatian sama gue karena perasaan yang sama. Jadi ya… We decided to continue.

Tapi, Ran, Mingyu cerita sesuatu nggak ke lo…?”

“He did. He decided to be away from you for now, right?”

“Iya… Tapi dia nggak jadi jauh juga sama lo kan, Ran…?”

“Engga kok engga, don’t worry. He just need some time, Ca, trust me. Dia masih bingung aja mau gimana memproses keadaan ini. Satu sisi dia pasti seneng lo akhirnya mau deket sama cowok selain dia, tapi satu sisi lagi dia marah karena dia nggak jadi the only one for you lagi. Dia takut lo ninggalin dia”

“But I won’t leave him…”

“I know you won’t. Tapi coba lo yang jadi Mingyu, 15 tahun selalu ada di sisi lo trus dia kalah sama cowok lain yang baru kenal lo beberapa bulan. Pasti dia nggak segampang itu bisa terima lah. Jadi coba biarin dia sendiri dulu ya, Ca, biarin dia cari solusinya sendiri buat perasaan dia. Tapi lo jangan jadi nggak enakan juga sama dia. Lo kalo mau kasih liat lo bucin sama Uyon kayak sekarang ini, yaudah terusin. Karena kalo lo berhenti, gue takutnya justru Mingyu balik menyimpan harapan ke lo. Lo gamau kan?”

“Gamau… Gue maunya kita terus jadi sahabatan aja, nggak lebih”

“Nah iya, jadi biarin aja dia jauh dulu yaa. Jangan sedih! Kalo sedih langsung ndusel aja sama Uyon”

“Hahaha okay, thanks Ran, titip Mingyu ya” ujar gue sambil tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.

“Siiip. Eh Ca, kata Mingyu dia juga udah balikin kunci sama akses apartemen ke lo ya?” tanya Rania.

“Eh iya, gue kasih ke lo aja ya?”

“Gausah, kasih ke Uyon aja, dia bisa lebih cepet bantuin lo kan kalo ada apa-apa”

“Tapi gue belom cerita sama dia soal itu…”

“Ya cerita lah, masa disembuyiin terus sih. Kalo emang lo ada rencana yang lebih serius sama dia, dia harus tau, Ca. Biar nggak kaget”

“Okay… Nanti gue cari waktu buat cerita…”


Setelah window shopping sebentar dengan Rania, kita memutuskan untuk pulang jam 4. Kebetulan juga Uyon udah selesai dan sudah otw jemput gue. Akhirnya kita bergerak menuju lobby mall.

“Uyon masih jauh nggak?” tanya Rania.

“Nggak kok, katanya lagi nunggu masuk ke lobby. Lo pulang naik apa? Bawa mobil?”

“Nggak bawa, paling ntar naik ojol aja lah”

“Ikut kita aja kalo gituu”

“Ogah, gamau jadi nyamuk haha”

Tidak lama kemudian, Mazda CX-5 hitam kesayangan Uyon sampai di lobby.

“Wooooy sobat mabok pakabarrrr” kata Uyon menyapa Rania setelah menurunkan jendela mobilnya.

“Hahaha anjir jarang-jarang ya kita ketemu sama-sama sober” jawab Rania bercanda.

“Lo pulang naik apa? Ikut aja sini gue anterin” kata Uyon lagi.

“Gausah Yon, ntar gue pulang sendiri aja, sans, kan lagi nggak mabok haha. Yaudah Ca, sana gih, see you hari senin!” Rania menyuruh gue masuk.

Selesai dadah-dadah dengan Rania, Uyon mulai menyetir mobilnya.

“Gimana tadi ketemuannya? Seru nggak say—” Uyon tiba-tiba berhenti ngomong karena ngeliat gue lagi cemberut.

“Eh? Kenapa sayang? Kok cemberut?” tanya Uyon.

“Rania doang yang disapa akunya engga”

Uyon sontak ketawa kenceng denger gue ngomong gitu. Sumpah gue sendiri geli, kok bisa sih gue ngomong kayak gitu??? Tapi gue emang bete nggak disapa…

“Hahahaha yaelah masa kamu cemburunya sama Rania sih, sahabat kamu loh itu”

“Tetep aja”

Uyon lalu melepas tangannya dari setir, mendekat ke arah gue lalu menangkup muka gue di dalam kedua tangannya, dan menghujani gue dengan ciuman-ciuman kecil di seluruh muka gue.

“Apa kabar gemesnya Uyon? Maaf ya seharian dianggurin hehe”

“Iiih fokus nyetirnya ah!”

“Tuh kan giliran diperhatiin malah dimarahin. Kan lagi macet juga lagian”

“Oh iya ya hehe, yaudah lanjutin”

Gue balik mencium bibirnya, lebih lama kali ini. Seakan-akan kita udah nggak ketemu lama banget, padahal baru nggak ketemu seharian ini aja.

Maklum lah ya, masih anget-angetnya, ehm, hehehe.

“Ca, nggak malu apa diliatin orang di luar?” katanya setelah mengakhiri sesi ciuman kita dan kembali fokus menyetir.

“Kaca mobil gelap gini mana ada yang liat sih haha. Lagian biarin aja pada liat, biar tau kamu punya aku” jawab gue.

Uyon tersenyum lebar mendengar kata-kata gue. Tangan kirinya kini dipakai untuk menggenggam dan mengelus-elus lembut tangan gue, sementara tangan kanannya tetap fokus di setir.

“Kok sekarang jadi kamu yang bucin banget gini sih? Kalah bucin deh aku”

“Gatau, belajar dari kamu kali”

Uyon tertawa lagi. I swear I live for that laugh. The best laugh in the whole world.

Bucin banget, lol.

“Oh iya, Ca, ini kita mau kemana? Kamu mau langsung pulang?” tanya Uyon.

“Hmm nggak juga gapapa sih. Kan malam minggu anyway, tapi aku males kalo nge-mall lagi ah”

“Kalo gitu ke rumah aku aja mau nggak?”

“HAH??? Sekarang??? Ketemu mama sama kakak kamu???”

“Iya lah mau ketemu siapa lagi”

Sebenarnya Uyon udah beberapa kali ngajak gue untuk ketemu mama dan kakaknya, tapi karena sibuk terus rencana ini selalu ketunda. Sekarang emang lagi pas punya waktu sih… Tapi…

“Yon tapi aku bajunya gini doang… Trus nggak nyiapin apa-apa lagi buat dibawa ke rumah kamu, padahal tadinya aku tuh mau bikinin puding regal gitu…”

“Kapan-kapan aja pudingnya. Trus bajunya kayak gitu emang kenapa deh? Orang cantik gitu. Udah gapapa kok, mau ya?”

“Hmm… Yaudah mau”

“Yeaaay okedeeeh, berangkaat”

‘Am I now… On my way to meet my future new family? :)’

• In the End.. Still You •

[Caca's POV]

'Ugh... Silau...'

Sinar matahari dari jendela membangunkan gue dari tidur yang rasanya panjang banget. Dengan mata yang setengah terbuka gue melirik ke arah jam yang ada di nakas sebelah tempat tidur. Ternyata sudah jam 9.

Tunggu... Kok gue masih pake baju kemaren? Trus kenapa kepala gue pusing banget? Emang semalem gue mimpi buruk lagi? Eh tapi kenapa ini mual banget deh???

Dengan badan yang masih lemas dan kepala yang pusing gue beranjak dari tempat tidur, lalu bergegas ke kamar mandi untuk muntah.

Gue muntah berkali-kali, sampai-sampai gue nangis karena muntah terus, rasanya mual banget, nggak enak banget. Biasanya nggak gini kok kalo habis mimpi buruk... Kenapa ya gue...?

Tiba-tiba ada yang mengelus lembut punggung gue dari belakang.

“Udah muntahnya? Udah enakan?”

'Huh? Who's here? Why he sounds so familiar?'

Gue menengok ke arah suara itu.

Uyon...

No wonder he sounds familiar....

“Kok.... Kamu di sini...” tanya gue, tidak percaya dengan pandangan mata gue sendiri.

Apa gue sebenernya belom bangun? Apa ini masih mimpi? Kenapa Uyon ada di sini?

“We'll talk about it later. Minum dulu nih, abis itu mandi dulu aja biar segeran. Kamu belom ganti baju dari kemaren” katanya sambil memberi gue segelas air.

“Aku mau bantu ambil baju tapi nggak enak buka lemari kamu...” katanya lagi.

“Oh... Ada bathrobe di sini, nanti aku pake itu aja balik ke kamarnya”

“Okay then, aku di dapur ya, lagi masakin kamu sarapan” Uyon lalu menyeka air mata yang tersisa di pipi gue dan pergi, meninggalkan gue yang masih setengah percaya dengan keberadaannya di apartemen ini.

'What kind of situation is this...?'

—-‐———————-

“Sini Ca, sarapan dulu”

Gue menghampiri Uyon yang sudah duduk manis di depan meja makan.

“Aku bikinin teh jahe sama sup ayam, biar perut kamu anget jadi nggak mual lagi” katanya menjelaskan hidangan yang sudah tertata dengan rapi di atas meja.

“Ini semua kamu yang masak, Yon?”

“Iya dong keren nggak aku hahaha” jawab Uyon sambil tertawa bangga.

“Tapi maaf ya aku jadi ngorek-ngorek kulkas sama lemari dapur kamu hehe ntar aku belanjain lagi deh”

“Gapapa kok Yon malah ini aku yang nggak enak dimasakin... Makasih ya...”

“Jangan makasih duluuu, coba dulu please aku mau tau rasanya gimana”

“Oke oke, aku makan ya” gue mulai dari meminum teh jahe hangat, lalu menyendok kuah sup ayam. Surprisingly enough, it all tastes good. Mata gue membelalak karena nggak nyangka rasanya bakal seenak ini.

“Gimana gimana?” tanya Uyon dengan muka setengah penasaran setengah cemas.

“Enak banget, sumpah. Udah selevel sama masakannya ibu. Kamu belajar dari mana jago masak gini?” jawab gue antusias, karena memang masakan Uyon seenak itu. Gue makin lahap menyantap makanan itu, lalu disambut dengan senyum lebar Uyon yang dari tadi cuma fokus ngeliatin gue makan.

“Hehe aku cuma suka ikut bantuin mama masak aja sih, kebetulan di rumah emang suka masak sup ayam gini jadi aku coba aja masak sendiri. Bagus deh kalo enak, kalo mau tambah masih ada yaa”

“Mau tambah Yon udah abiiis” gue menyodorkan mangkuk yang sudah kosong ke dia.

“Okeeee sini aku ambilin” Uyon mengambil piring itu dan pergi ke dapur untuk refill sup ayam gue.

'Coba bisa kayak gini setiap hari, pasti enak ya. Ada yang nemenin makan, ada yang bisa selalu bareng 24/7. Nggak sendiri terus. Enak banget pasti...'

Tiba-tiba gue membayangkan bagaimana jadinya Uyon kalau bisa menemani hari-hari gue seperti saat ini. When that time comes, I might become the happiest girl in the world.

Tapi, tiba-tiba juga gue kepikiran Mingyu. Sebenarnya dia sudah pernah melakukan hal-hal ini selama 15 tahun persahabatan kita. Dia juga pernah masakin gue, dia juga pernah nemenin gue semaleman. He even willing to do more.

Kenapa rasanya beda? Kenapa ketika Uyon yang melakukan rasanya spesial?

Tuh kan, gue jahat lagi sama Mingyu... Pantesan aja dia pergi dari gue...

But Uyon... I cannot lie that he already has that special place in my heart.

What a bitch I am.

“Udahan dong sedihnya” kata Uyon sambil menaruh mangkuk di depan gue.

“Eh... Iya...” jawab gue terbangun dari lamunan gue tadi.

“Yon, sebenernya semalem ada apa sih? Trus kamu kok bisa dateng ke sini? Aku nggak inget apa-apa....”

“Kamu ingetnya sampe mana?”

“Sampe.... Pulang dianter Mingyu— Eh... Btw Mingyu itu sahabat yang aku ceritain itu.” kata gue buru-buru klarifikasi, gamau Uyon salah paham.

“Abis itu kamu minum bir sampe 6 kaleng, inget nggak?” tanya Uyon.

“Hah???? Aku minum bir sampe 6 kaleng?????”

Uyon malah ketawa liat gue panik.

“Iya Ca, 5 setengah kaleng sih sebenernya, soalnya yang kaleng ke-6 kamu baru minum setengah trus aku rebut aja biar nggak minum lagi haha”

“Kok aku bisa minum segitu banyak sih... Biasanya 1 kaleng aja udah pusing loh aku tuh...”

“Aku aja kaget kamu bisa minum Ca, trus punya persediaan bir lagi”

“Itu Rania yang naro buat dia minum kalo lagi ke sini, aku biasanya nggak pernah sentuh sama sekali... Trus Yon kok kamu bisa masuk ke dalem gimana ceritanya?”

“Aku kan chat kamu terus nanya kamu udah pulang apa belom, tapi kamu nggak jawab-jawab sampe jam 1. Aku khawatir jadi aku samperin aja ke sini, minta tolong Pak Haryo bukain akses lift”

“Trus aku sendiri yang bukain pintu buat kamu?”

“Iya, kamu di situ posisinya udah mabok parah jadi yaudah aku mutusin buat temenin kamu aja sampe bangun, soalnya kan kamu pasti muntah-muntah tuh, ntar nggak ada yang bantuin”

“Gausah minta maaf ya, gausah nggak enakan. Aku kok yang mau nemenin kamu” lanjut Uyon seakan tau gue mau ngomong apa sama dia.

“Hmm oke... Trus Yon, aku ngeracau ya pas mabok?” tanya gue.

“Engga juga sih, tapi kamu nangis terus. Semalem emang ada kejadian apa sih?” Uyon nanya balik.

“Oh... Itu.. Ehm... Jadi kemaren—”

“Eh ntar aja deh ceritanya, sambil refreshing keluar mau nggak? Biar hangover kamu cepet ilang juga?”

“Yaudah boleh. Tapi kamu gamau pulang dulu ke rumah, Yon? Kamu gamau mandi dulu gitu?”

“Aku ada baju ganti di mobil, numpang mandi di sini boleh?” tanya Uyon yang lalu beranjak mengambil kunci mobilnya.

“Boleh, yaudah gih ambil bajunya. Aku siapin handuk”

“Okee, be right back, cantik”

—-‐———————-

[Uyon's POV]

“Haaaa~ udaranya seger banget di sini, Yon! Enak banget!” ujar Caca sambil menarik napas dalam-dalam.

Gue mengajak Caca ke hutan pinus yang ada di daerah Bogor untuk refreshing. Selain udaranya yang segar, pemandangan di sini juga enak untuk cuci mata. Bagus juga buat foto-foto karena tempatnya nggak begitu ramai, cocok banget buat Caca.

Buktinya begitu sampe dia langsung turun minta gue fotoin di sana dan di sini. Kayaknya udah ada lebih dari 50 foto yang gue ambil buat dia.

“Ca udah dong istirahat dulu, capek niiiih” keluh gue.

“Yaaah aku belom puas, Yon...”

“Iya nanti boleh lagi tapi istirahat bentar dulu, duduk dulu gitu”

“Yaudah terakhir deh, mau selfie sama kamu”

Caca lalu merebut HP gue yang dipakai buat foto-foto, membalikkan mode kameranya menjadi kamera depan, lalu mengarahkan kamera supaya dapet angle yang bagus.

“Nah perfect, siap ya Yon, satu... Dua.... Ti...”

Chu

Dia mengecup pipi gue dan menekan tombol foto di kamera HP gue, meninggalkan satu foto yang nggak akan gue hapus selamanya. Walaupun muka gue jelek banget di situ karena kaget.

“Hahaha muka kamu jelek banget di sini sumpah hahahahahha” Caca ketawa puas banget liat hasil foto itu.

“Ya lagian pake ngagetin! Males ah” gue sok-sok ngambek lalu duduk di batu dekat tempat kita berdiri.

“Hehe sorry Yooon jangan ngambek dong” Caca duduk di sebelah gue, membujuk gue sambil pasang muka sok imut supaya gue nggak marah.

Siapa coba yang nggak bisa senyum kalo diliatin kayak gitu sama cewek cantik.

Gue balas perbuatan dia tadi dengan kecupan cepat juga, tapi bedanya, I did it on her lips.

“Yon, ih!” protes Caca.

“Satu sama, hehe”

“Hffft fine” katanya nyerah.

Gue merangkul pundak Caca lalu menyenderkan kepalanya di pundak gue. Gue mengelus kepalanya sambil sesekali mencium rambutnya yang harum, wangi shampo argan yang biasa dia pakai.

Jujur gue udah takut dia nolak kalo gue skinship terus kayak gini. But she actually enjoyed it. Does this mean she is slowly opening her heart for me?

Does this mean I can continue?

“Yon, aku mau cerita soal kemaren” Caca membuka topik yang memang mau gue tanyakan ke dia.

“Go ahead, Ca”

“Aku kemaren ketemu sama Mingyu. Aku udah yakin banget sih dia mau nanyain tentang kamu karena pasti dia juga udah liat foto kamu di IG aku, udah denger ceritanya dari Rania juga.

Tapi dia ujung-ujungnya malah nembak aku lagi, Yon. Dia tetep minta kita untuk jadi lebih dari sekedar sahabat”

Raut muka Caca mulai berubah menjadi sendu. Dalam sendu itu, gue bisa melihat dia juga bingung. Mungkin bingung dengan perasaannya sendiri.

“Trus kamunya jawab apa?” tanya gue.

“Aku bilang aku ada kamu. Karena emang bener kan sekarang aku deketnya sama kamu, trus kan aku emang masih mau jaga persahabatan ini. Aku berharapnya dia bisa mundur perlahan pas tau aku udah ada kamu.

Tapi bukannya mundur perlahan, dia memilih langsung pergi, Yon. He said he will be away from me for some time, because he can't stand looking at me with other guy than him.

This is not how I want it to be...”

Air mata Caca mulai membasahi pipinya lagi.

Dan gue mulai merasa bersalah, lagi.

“I'm sorry, Ca...”

“You don't have to... Aku yang jahat... Aku yang serakah... Aku yang bikin Mingyu jadi pergi... Semuanya salah aku... I hate myself...” Caca menyalahkan dirinya sendiri, tangisnya kini semakin pecah.

Gue memeluk Caca, membiarkannya menangis dalam dekapan gue seperti tadi malam.

“Maafin Caca, Yon... Caca nyebelin banget ya? Manfaatin kamu buat keegoisan aku... Aku jahatin kamu padahal kamunya baik banget sama aku...” katanya sambil terisak.

“Engga kok, engga sumpah... Aku deketin kamu, baik sama kamu, semua kan maunya aku. Malah aku yang minta maaf karena manfaatin keadaan kalian berdua supaya aku bisa deket sama kamu...”

“Kamu nggak salah... Jangan minta maaf...

Tapi Yon, kamu marah nggak kalo aku minta kamu tetep sama aku..? Marah nggak kalo aku minta kamu jangan pergi..?” tanya Caca sambil menatap gue dengan muka sedih.

“Aku nggak sanggup kalo sampai kamu juga pergi...” lanjutnya lirih.

Gue tersenyum ke arahnya dan mengeratkan pelukan gue.

“I will never leave you because I already love you too much, Ca”

And so I confessed to her for the first time.

“Hmm itu juga kalo boleh sama kamu ngelanjutin perasaan ini sih...” lanjut gue, nggak pede perasaan ini akan berbalas.

She didn't say anything, yet she pressed her lips against mine. She poured out everything she want to say in that one loving kiss.

That one loving kiss which answered all my doubts.

That one loving kiss which made me sure that this love is reciprocated.

That one loving kiss which made me decide,

I will continue this.

I cupped her cheek and deepen our kiss. She rings her arms around my neck, making her position comfortable. I devour her lower lips, while she devours my upper one. There's no sexual urgency in this kiss, just two person confirming their feelings for each other.

She stopped for a while to take a breath, then she whispered:

“Aku sayang kamu, Cho Seungyoun...”

I smiled to her. Kissing her from forehead, down to nose, and finally reached her lips again.

Then I said:

“Aku sayang kamu, Cantika Andini. And I promise I will always be by your side”

• Wrecked •

[Author's POV]

Jam 00.30. Masih di bar, tepatnya di meja nomor 5 langganan geng pecinta bir Corona ini.

Mereka masih asik mengobrol, kecuali Rania yang sudah tidur karena mabuk. Obrolan mereka beragam banget, mulai dari obrolan serius tentang pekerjaan sampai celetukan-celetukan nggak jelas tapi tetep bikin mereka ketawa.

Tapi ada satu orang yang nggak bisa fokus di obrolan mereka hari ini: Uyon.

Walaupun tetap ikut ngobrol dan ketawa, pikiran Uyon nggak ada di situ. Dia terus-terusan mikirin Caca yang sampai saat ini belum ngabarin sudah pulang atau belum. Uyon bener-bener khawatir, karena dia tau Caca nggak biasanya main sampai jam segini. Orang biasanya kalo lagi chat-an jam 11 Uyon udah ditinggal tidur, gimana mau main sampai malam.

“Ada apa, Yon? Kok kayaknya lo ada pikiran gitu sih?” Leo yang tadi merhatiin Uyon rada gelisah akhirnya nanya.

“Hah? Oh... Ini Le, Caca belom ngabarin udah pulang apa belom, padahal udah jam segini” jawab Uyon, masih sambil cek HP-nya semenit sekali, menunggu kabar dari Caca.

“Yaelah Yon, selow aja sih ah! Udah gede anaknya biarin pulang mal—” ujar Brian sebelum akhirnya mulutnya disumpel tisu sama Leo.

“Diem Bri, bukan waktunya bercanda” Leo memarahi Brian. Sebenernya rada sia-sia sih dia negor Brian, anaknya udah lumayan mabuk soalnya.

Jam 00.50. Uyon chat Caca lagi untuk kesekian kalinya, memastikan gadisnya itu sudah pulang.

Alih-alih ada balasan, chat yang dia kirim justru nggak delivered. Hanya ada tanda centang satu.

“Le, masa tiba-tiba chat gue ke dia nggak delivered” Uyon memperlihatkan layar HP-nya ke Leo.

“Waduh, coba telepon Yon” saran Leo.

Uyon mencoba telepon Caca berkali-kali, tapi tidak diangkat. Uyon semakin lemas, raut mukanya menandakan dia semakin khawatir Caca kenapa-napa.

“Kalo engga dicek aja ke apartemennya, gimana Yon?” kata Leo yang jadi khawatir juga ngeliat muka Uyon.

“Iya Le, kayaknya gue samperin sekarang deh” balas Uyon sambil merapi-rapikan barangnya dan mengeluarkan uang dari dompet. “Ini ntar buat bayar ya, kalo kurang kasih tau aja ntar gue transfer. Sorry gue duluan ya, Le. Titip Rania sama Brian”

“Oke Yon, hati-hati. Kalo ada apa-apa kabarin ya” jawab Leo sambil melambaikan tangan ke temannya yang sudah bergegas keluar dari bar.

—-‐———————-

Uyon memacu kencang Mazda CX-5 kepunyaannya melewati jalanan kosong Jakarta. Keadaan mobil itu hening, Uyon tidak memutar musik dan nyanyi kencang-kencang seperti biasa. Kali ini hanya doa yang dia ucapkan kencang-kencang sepanjang perjalanan ke apartemen Caca.

'Ya Tuhan, Caca nggak kenapa-napa kan ya? Dia baik-baik aja kan?'

Sesampainya di apartemen Caca, Uyon parkir asal mobilnya dan langsung bergegas turun.

“Eh, mas. Selamat malam, kok tumben datengnya jam segini?” sapa Pak Haryo, salah satu satpam apartemen yang sudah kenal dengan Uyon karena sering ketemu pas nganterin Caca pulang.

“Malam pak, Caca udah pulang belom ya?” Uyon langsung tanya dengan nada panik.

“Loh? Pulangnya nggak sama mas tadi?”

“Engga pak, dia katanya mau ketemu temen trus pulang sama temennya itu, tapi sampe sekarang belom ngabarin saya lagi udah pulang atau belom”

“Ooh gitu. Saya kebetulan belom liat Neng Caca sih, mas. Saya baru masuk shift jam 12 tadi soalnya”

Uyon makin panik. Pikirannya makin kemana-mana, makin takut beneran ada hal buruk yang terjadi sama Caca. Bahkan udah mau langsung lapor polisi aja kalo dia nggak bisa dapat kabar dari Caca.

“Atau mau saya bantuin buka aksesnya, mas? Tapi saya cuma bisa bantu bukain akses aja, kalo ke unit-nya Neng Caca nggak bisa” Pak Haryo menawarkan bantuan.

“Boleh pak?”

“Boleh kok, kan saya udah kenal Mas Uyon juga” Pak Haryo kemudian membuka akses ke lift agar Uyon bisa masuk.

“Coba diketok dulu aja unit-nya, kalo ada apa-apa langsung bilang saya aja, mas. Nanti saya bantu”

“Oke pak, makasih banget ya pak. Saya ke atas dulu ya” ujar Uyon berterima kasih ke Pak Haryo sambil naik ke lift.

Sesampainya di lantai tempat unit Caca berada, Uyon melangkah cepat ke unit Caca yang letaknya ada di ujung lorong. Tanpa basa-basi dia tekan bel unit tersebut.

“Ca? Kamu di dalem kan? Ini aku, Uyon” panggil Uyon sambil mengetuk-ngetuk pintu dengan panik.

Tidak ada jawaban.

“Ca? Ca please... Please kamu di dalem kan...?” panggilnya lagi, semakin lemas karena belum mendapat jawaban dari gadisnya itu. Dia sudah berpikir mau mendobrak pintu itu aja kalo masih belom ada jawaban.

Klik

Kunci pintu unit tersebut akhirnya terbuka. Uyon lega banget mendengar suara kecil itu, tandanya Caca pulang dengan selamat dan ada di apartemennya.

Caca membuka pintu dan menunjukkan dirinya ke Uyon. Dirinya yang saat ini hancur, rambutnya berantakan, mukanya merah, masih memakai baju yang tadi pagi dia pakai ke kantor dan make up-nya belom dihapus, luntur karena air matanya sendiri sehingga menutupi muka cantiknya.

“Heee? Uyooooon? Kamu ngapain di siniiiii heeehehehee” kata Caca yang kaget melihat Uyon di apartemennya.

Bau alkohol.

Uyon nggak jadi lega.

Uyon menganga, kaget sejadi-jadinya melihat keadaan Caca. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan melihat Caca yang seperti ini.

“Siniiiiii yoooonnnn jangan di pintuuuu heeeehehehe” Caca yang mabuk berat menarik tangan Uyon untuk masuk ke apartemennya, alhasil dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai.

“Aaawww eeehehehehe gapapa kok Caca gapapa nggak sakit heheeeeheheeeheh” katanya lagi masih ketawa tapi meringis kesakitan juga. Uyon membantunya berdiri lalu memapah Caca ke arah sofa untuk duduk, masih dalam diam.

Uyon melihat keadaan sekitarnya. Berantakan banget, kaleng bir, remahan cemilan, tisu bekas, semuanya berserakan nggak karuan. Padahal biasanya apartemen Caca ini bersih dan rapi banget, karena Caca nggak suka kalo barang-barangnya nggak ditaruh di tempat yang seharusnya.

“Ini.... Kamu semua yang minum, Ca..?” tanya Uyon sambil menghitung kaleng-kaleng kosong bir yang berserakan. Total ada 5 kaleng.

“Iyaaaaa dooong, Caca hebat kan Yon bisa minum sebanyak ini haaahahahahh” jawab Caca sambil menenggak kaleng keenam yang ada di tangannya.

Uyon buru-buru merebut kaleng tersebut, lalu menjauhkannya dari jangkauan Caca.

“Aaah Uyon kenapa diambiiiiillll, itu masih ada dikit lagi sayang kalo nggak diminuuuuuummmm” rengek Caca.

“Nggak ada. Udahan minumnya” jawab Uyon tegas. Caca cuma bisa manyun, tetep sambil ketawa-ketawa nggak jelas khas orang mabuk.

“Sekarang kasih tau aku, kamu tadi kemana? Sama siapa? Kenapa pulangnya malah minum-minum gini?” tanya Uyon dengan raut muka seriusnya yang kalo kata Caca 'udah kayak mau bunuh anak orang'.

“Gamau ngasih tau...... Muka kamu serem......” Caca malah gamau jawab dan nutup mukanya pakai bantal.

Uyon menunduk sebentar, berusaha menahan emosinya. Lalu dia menegakkan kepalanya kembali dan tersenyum ke arah Caca.

“Nih, udah nggak galak lagi. Ayo sekarang cerita”

“Hehe gitu donggg.

Caca tadi cuma makan malam aja kok, sama Mingyu heeehehehe”

“Mingyu.... Itu si sahabat kamu kan?”

“Sahabat ya....” raut muka Caca tiba-tiba berubah menjadi sedih dan dia mulai menangis.

Uyon yang kaget Caca tiba-tiba menangis langsung memeluk lalu mengelus-elus rambut dan punggung Caca, mencoba membuatnya tenang. Tapi Caca malah makin menangis.

“Mingyu-nya pergi.... Caca jahat... Mingyu-nya ninggalin Caca...” Caca mengucapkan kata-kata itu berulang kali sambil menangis terisak-isak.

Uyon mengeratkan pelukannya, dia bawa kepala Caca tenggelam di dadanya, tidak peduli bajunya akan basah karena air mata Caca. Matanya ikut berkaca-kaca mendengar tangisan sedih Caca. Dia memang paling nggak kuat melihat perempuan menangis, sudah terlalu sering dia lihat mama dan kakak perempuannya menangis karena kelakuan papa dulu, rasanya berat banget kalau harus melihat gadis kesayangannya menangis juga.

“Cep cep, nggak kok dia pasti nggak ninggalin kamu, kalau pun dia pergi pasti balik lagi. Udah ya nangisnya?” ucap Uyon masih sambil mengelus lembut rambut Caca. Padahal dia gatau masalahnya apa, yang penting dia usaha dulu aja supaya Caca bisa tenang dan berhenti nangis.

Tapi kalau dari ucapan Caca, Uyon menduga ini ada sangkut pautnya juga dengan dirinya dan perjanjian dengan Caca. Mungkin tadi Caca menceritakan tentang dirinya ke Mingyu, dan reaksi yang Caca dapat mungkin tidak seperti yang dia harapkan. Caca yang ingin menjaga hati Mingyu, ingin menjaga persahabatan mereka dengan kehadiran Uyon, malah justru harus merasakan goyahnya persahabatan itu. Justru harus kehilangan sahabat terdekatnya. Walau tidak untuk selamanya, hal ini pasti berat banget buat Caca dan dia tidak siap untuk itu.

Now he's feeling like a jerk. A jerk who make the person who his girl loves the most go away from her. But on the other side, his egoistic side is being glad. He won this battle. The battle which the grand prize is a girl named Caca.

However, being a softboi he is, he choose not to be glad. Because his girl is devastated. And he can't stand this. He's feeling guilty. He's feeling sorry for her.

Sudah hampir setengah jam mereka berada di posisi yang sama. Uyon masih memeluk Caca, dan Caca masih menangis di dalam dekapan Uyon. Namun tangisan Caca sudah mereda. Uyon membuka sedikit dekapannya untuk mengecek keadaan Caca. Ternyata Caca sudah tertidur.

“Oalah, udah bobo ternyata. Pelukanku enak ya Ca, sampe ketiduran gitu, hehe” kata Uyon bercanda yang tentunya nggak digubris sama Caca yang udah tertidur pulas.

Uyon lalu menggendong Caca ke tempat tidurnya. Dia mengambil kapas dan micellar water dari meja rias Caca, lalu perlahan mencoba membersihkan make up yang masih menempel di muka Caca. Untung dia pernah ngeliat gimana Mbak Ugi bersihin make up kalo abis kondangan, jadi sedikit tau lah caranya gimana. Kalo gantiin baju... Ehm... Ya nggak mungkin ya, walaupun Uyon gerah banget sih lihat bajunya Caca pasti udah kotor banget, tapi ya mau gimana lagi. Jadi Uyon hanya bisa menyelimuti Caca setelah selesai membersihkan make up-nya, mendaratkan kecupan lembut di kening Caca, lalu membiarkannya tidur dengan nyenyak.

“Sleep tight, sayang. Jangan lanjut nangis dalam mimpi ya” ujar Uyon sambil tersenyum, lalu keluar dari kamar tidur Caca dan duduk di sofa.

Malam ini Uyon memutuskan untuk nginep di sini aja. Jaga-jaga kalau nanti pas bangun Caca muntah-muntah atau gimana. Dia juga udah rencana mau bikinin sarapan yang hangat buat Caca, supaya hangover-nya cepat hilang.

Dia langsung chat Mbak Ugi untuk bilang dia nggak pulang malam ini.

U: Mbak, udah tidur? U: Gue ga pulang ya mbak U: Gue nginep di tempat Caca U: Tapi lo gausah mikir aneh2, ini dia lg sakit perlu ada yg nemenin U: Trus gausah bilang mama ya, kalo ditanya bilang aja gue di tempat Leo U: Thanks sis, met bobo

Nggak ada balasan dari Mbak Ugi. Berarti dia udah tidur. Okay then, yang penting Uyon udah izin.

Akhirnya Uyon bisa sedikit bernapas lega setelah dari tadi rasanya nggak tenang terus. Setelah beres-beresin sampah yang berserakan bekas Caca minum-minum tadi, dia sekarang berbaring di sofa dan bersiap untuk tidur juga. Capek banget rasanya hari ini.

'Besok cerita tentang semua yang terjadi kemarin ya, Ca'

'Supaya aku bisa tau juga buat nanti ke depannya'

'Should I continue this or not...'

• Home •

[Uyon's POV]

“Weeeey pakabar lo bro!” Brian menyambut gue yang baru masuk ke salah satu bar di daerah Senopati itu.

“Eh udah dateng lo, bro? Pakabar cooy” Leo juga menyambut gue, lalu dua-duanya mengangkat tangan meminta tos dari gue.

“Never been better, bro, hahaha. Gila udah lama banget gue nggak ke sini. Kayaknya interiornya banyak yang berubah ya?” ujar gue menyambut tos mereka berdua sambil lihat ke kanan kiri.

“Anjir ya bukannya nanyain kabar kita malah meratiin interior bar. Baper ah” kata Brian.

“Eh sorry, kebiasaan jir hahah. Apa kabar kalian berdua? Calisya apa kabar, Bri? Makin lucu deh pasti itu anak. Cewek lo si Tami juga apa kabar, Le? Nggak lo bawa ke sini?” jawab gue membombardir mereka dengan banyak pertanyaan.

Sejak dekat sama Caca gue memang jadi jarang nge-bar lagi. Karena ya tau lah, kerjaan gue tiap hari anter jemput Caca aja. Paling makan malam bareng, anter dia pulang, trus udah guenya pulang juga. Nggak pernah lagi gue main bareng temen-temen gue.

Bucin. Tuh gue akuin gue bucin.

“Tadinya Tami mau ikut, Yon, tapi ternyata dia ada urusan keluarga mendadak, jadi batal deh” jawab Leo.

“Si Calisya nanyain mulu tuh kapan Om Uyon main ke rumah lagi, gue jawab aja omnya sibuk nge-bucin, udah gamau main ke rumah lagi” kata Brian sambil ngedengus ala Calisya. Aduh kebayang dah gemesnya muka anaknya Brian yang umurnya 3 tahun itu.

“Anak kecil mana ngerti bucin begooo” timpal gue.

“Ngerti kalo anak gue mah pinter”

“Iya bapaknya doang emang yang bego” ledek Leo. Brian sama Leo udah bagaikan Tom and Jerry sumpah, kayaknya nggak ada hari mereka nggak berantem saling ledek-ledekan, tapi tetep aja jadi best friend.

“Eh btw, Yon. Jadi gimana nih rasanya jadi bucin? Baru sekali kan? Hahaha” Leo nanya nggak pake basa-basi.

“Kampret... Tapi ya emang bener sih yang segininya baru sekali” jawab gue.

“Kok bisa ya si Caca bikin lo jadi menye gitu, Yon? Pake pelet apaan dia?” tanya Brian.

“Anying sembarangan banget lo kalo ngomong”

“Ya soalnya dia cewek pertama yang bisa bikin lo beneran serius nggak sih?”

“Jujur iya... Dia tuh, hmm, gimana jelasinnya ya bro, auranya tuh beda aja sama cewek-cewek yang gue kenal. Mungkin karena gue kebanyakan kenal cewek di bar gini ya, modelannya kan sama semua tuh, bitchy semua, mana ada lah yang nggak bernoda. Nah Caca tuh kebalikan dari mereka, bersih banget, pure banget, polos banget. Saking polosnya gue jadi takut mau apa-apain dia. Eh, tapi gue kemaren nyium dia sih akhirnya haha”

“Anjir kalian udah sampe situ hubungannya? Keren keren” timpal Leo.

“Guenya aja sih yang nggak tahan haha tapi sumpah baru sampe situ aja, nggak lebih. Gue gamau buat cewek bersih ini jadi kotor sekarang, nanti ada waktunya. Gue bener-bener pengen kenal dia pelan-pelan, bener-bener mau kenal luar dalem, sampe akhirnya kita berdua bisa sama-sama tau, are we made for each other or not” jelas gue panjang lebar.

Brian sama Leo bengong doang ngedenger gue ngoceh.

“Uyon nih?” kata Leo heran.

“Yon lo baru segelas kan minumnya? Ya kali udah mabok” Brian juga sama herannya.

“Bri, nggak percaya gue si Uyon jadi kayak gini. Biasanya tiap kenalan sama cewek langsung nyosor aja loh inget nggak sih?” lanjut Leo.

“Nggak nyosor doang bahkan, Le, langsung ngamar” jawab Brian.

“HEH! Gue nggak se-brengsek itu ya! Nggak semua cewek gue gituin anjir!” protes gue.

Mereka berdua ketawa ngakak ngeliat gue kesel. Kompaknya emang cuma kalo ngeledekin gue aja ini berdua. Gue diem aja ngeliatin mereka ketawa sambil lanjut minum.

Nggak lama setelah itu, gue lihat ada sosok cewek lari dari pintu masuk bar.

“UYOOOOOON!!!!” Rania teriak sambil lari ke tempat kita duduk. “LO APAIN TEMEN GUE HAHHHHH?????” teriak dia ke gue. Teriaknya kenceng banget sampai orang-orang pada ngeliat ke arah kita.

“Sssstttt Ran ih nggak usah teriak bisa kali?! Diliatin jir!” gue bisik-bisik marahin Rania.

“Ya abis lo udah bikin temen gue nggak perawan woy gimana gue bisa santai?!” kata Rania.

“Lah udah tau aja? Caca langsung cerita ya?”

“JADI BENER TEMEN GUE UDAH NGGAK PERAWAN?!?!?”

“YA ENGGA LAH BEGO! Ya kali nyium doang langsung nggak perawan”

“Yakin nyium doang nggak lebih?”

“Iya lah, emang Caca ceritanya apa aja sih?”

“Nyium doang”

“Nah yaudah, trus lo nggak percaya gitu sama dia?”

“Percaya lah, nggak percayanya sama lo”

Brian sama Leo ngakak lagi. Ah lama-lama males gue jadinya, direndahin mulu di sini.

Lebih betenya lagi karena gue nggak bisa membantah mereka. Dengan track record gue, emang pantes mereka nggak ada yang percaya kalo gue serius sama Caca.

When in fact I'm deadly serious about her.

“Coba lo ceritain kejadian first date kalian kemaren dari A sampe Z. Don't you dare to miss any detail” todong Rania sambil menenggak bir di tangan kanannya.

“Bukannya udah diceritain Caca?”

“Iya, tapi gue mau tau versi lo. Kalo engga yang penting gue mau tau detail pas lo ciom ciom dia deh”

“Anjir kepo banget lo sumpah. Ya gitu aja Ran nggak ada yang spesial. Suasananya lagi enak trus obrolannya juga lagi pas jadi tiba-tiba aja gue pengen nyium dia”

“Ngobrolin apa lo sampe bisa kepengen cium?”

“Apaan dah sumpah, nggak ah gue gamau ngasih tau sampe situ, privasi”

“Ih anjir sama aja lo sama Caca!” ujar Rania kesel sambil mukul pundak gue.

“Oh dia gamau ngasih tau juga? Ya iya lah, itu kan obrolan masa depan kita hehehe” kata gue cengengesan.

“Halah udah bisa ngomongin masa depan aja lo, baru punya pacar sekali aja begitu hahaha” ledek Brian.

“FYI bro, belom resmi nih, belom bisa disebut pacar hahahaha” Leo nambahin ledekan Brian ke gue.

“Lah, emang harus berstatus pacar ya kalo mau serius?” tanya gue. Muka gue seserius itu, nggak bercanda sedikit pun.

“Gue rasa di jaman sekarang ini status udah bukan jadi hal yang penting buat nunjukin keseriusan suatu hubungan, kecuali pernikahan ya. Lagian kita udah dewasa, kayaknya udah nggak umurnya sih ngeributin status” lanjut gue.

Brian, Leo, dan Rania yang tadinya ketawa mendadak jadi diam ngeliat muka serius gue. I'm sure they are shocked to see me like this.

“Jadi.... Lo serius beneran nih sama Caca?” tanya Rania.

“Serius lah. Kenapa juga gue lanjutin kalo nggak serius”

“Like... Beneran serius kan? Lo nggak bakal cuma main-main sama dia bentar trus ujungnya lo tinggal? Like what you did with some girls before?

Maaf ya, Yon, kalo kesannya gue judging. Tapi karena Caca sahabat gue, gue rasa gue butuh tau keseriusan lo ke dia sampe mana. Gue sayang banget sama dia, Yon. Gue gamau dia sakit hati kalo in the end lo nggak serius sama dia” kata Rania.

Gue memajukan sedikit badan gue ke arah Rania yang duduk di seberang gue dan melipat tangan gue di meja. Lalu gue tatap mata Rania dalam-dalam.

“Ran, people said that even if someone is lying, their eyes cannot lie. You see my eyes now, then you can judge me, whether I'm serious or not”

Then Rania looked at my eyes for some time. She really is making sure that I'm not lying.

“Lo sayang sama dia, Yon?” tanya Rania.

“Sayang, Ran. Sayang banget”

“Lo bisa janji sama gue lo nggak bakal bikin dia sakit hati?”

“I will try my best not to. I will cherish her with my whole heart, promise”

“Okay. Last question, gue pake kiasan nih ya tapi gue tau lo pasti ngerti. So, lo mau jadiin Caca kosan atau rumah?”

I stay silent for a sole minute. Gue tau jawabannya, tapi gue gamau gegabah dalam menjawab pertanyaan ini. Gue gamau janji-janji palsu. Jawaban yang gue keluarkan untuk pertanyaan ini harus jadi jawaban yang bisa gue pertanggungjawabkan selamanya.

After thinking for a while, I decided to answer:

“Rumah”

—-‐———————-

[Caca's POV]

“Mau pesen apa, Ca?” tanya Mingyu sambil membalik-balikan buku menu.

“Emm, gue mau aglio olio aja deh, minumnya lemon squash”

“Eh ini ada onion ring kesukaan lo, mau nggak?”

“Boleh boleh. Satu aja berdua, Gyu”

“Oke. Kalo gitu minta aglio olio satu, bolognaise satu, onion ring satu, lemon squash satu, sama caramel latte satu ya, mbak. Thank you” Mingyu menyebut pesanan kita berdua ke waiter yang sudah menunggu dari tadi.

Gue dan Mingyu sedang makan malam di sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari kantor gue. Tadi gue dijemput dia di kantor lalu langsung ke sini karena lapar berat.

Iya, hari ini gue nggak dijemput Uyon. Semalam Mingyu chat gue bilang kalo kita udah lama nggak ketemu. Tadinya gue udah mau menghindar lagi dia karena gue masih mau jaga jarak, tapi ternyata dia bilang dia udah tau soal Uyon... To be honest gue nggak kaget sih, kan emang gue yang minta Rania untuk cerita soal Uyon ke Mingyu, tapi ya... Gue tetep ngerasa nggak enak sama dia.

But surprisingly, it seems like he's okay with that fact.. Or not? Apa dia cuma pura-pura biasa aja ke gue?

“Cie cie ada yang udah punya pacar nih sekarang!” ledek Mingyu sambil tersenyum.

“Apaan sih bukan pacar gue tau” jawab gue salting.

“Ah masa? Tapi anter jemput tiap hari sama kontakan terus? Kalo bukan pacar apa dong?”

“Lo juga suka anter jemput gue tapi bukan pacar. Ya sama aja lah”

“Haha iya ya, bukan pacar ya, but I wanted that role though”

Ah sial... Salah topik...

Gue nggak mau jawab. Untung pas banget minuman kita berdua dateng. Gue langsung aja alihin perhatian gue buat minum lemon squash pesenan gue.

“Ceritain dong, Ca, tentang si cowok lo ini. Siapa deh namanya, Rania kemaren bilang tapi gue rada lupa. Hmm... Uyon?” tanya Mingyu.

“Iya, Uyon namanya”

“Nah iya, kalian gimana ceritanya bisa deket? Kata Rania kalian kenal di bar tempat dia suka minum itu ya?”

“Iya di situ, nggak sengaja kenalannya gara-gara gue pernah jatoh nimpa dia gitu. Trus malah jadi ngobrol, yaudah deket deh sampe sekarang” jawab gue seadanya.

Kan nggak mungkin gue cerita detail, ya kali gue cerita kalo sebenernya kita mulai deket karena gue minta Uyon jadi gebetan buat ngelupain dia, atau cerita Uyon itu cowok pertama yang gue bolehin masuk ke apartemen selain dia.

Atau cerita kalo I did my first kiss with Uyon....

“Ooh gitu ceritanya. Gila gue seneng deh dengernya, akhirnya seorang Caca bisa deket sama cowok lain selain gue. Gue udah takut aja lo udah nggak tertarik lagi sama cowok hahaha” ujar Mingyu sambil tertawa.

“Haha gila lo, masih waras kali gue. Buktinya gue masih suka sama oppa-oppa di drakor kok” kata gue ikut bercanda.

“Ye itu mah fiktif kali di drama doang”

“Karakternya fiktif tapi kan aktornya engga”

“Ya tetep aja lo nggak bisa dapetin- AAAAWWWW!!!” Mingyu teriak kesakitan karena tangannya gue cubit.

“Udah gue bilang iyain aja apa kalo gue fangirling biar gue seneng. Rasain noh udah lama kan nggak gue cubit” jawab gue santai sambil cubit-cubit lagi tangan dan lengan dia.

Mingyu bukannya marah tapi malah ketawa. Keliatannya menikmati banget gitu gue cubit-cubit dia.

“Hahahhaha anjir masih sakit wey cubitan lo. Uyon udah pernah ngerasain belom nih? Mesti ngerasain dia hahahah” kata Mingyu.

Gue langsung berhenti nyubitin Mingyu. Rasanya males aja kalo dia bahas-bahas soal Uyon terus.

Tidak lama kemudian, waiter datang ke meja kita membawa tiga piring makanan yang kita pesan tadi dan meletakkannya di atas meja.

“Kenalin gue sama Uyon dong, Ca. Dia harus minta izin sama gue dulu lah kalo mau jadian sama lo haha” kata Mingyu sambil mengaduk spaghetti bolognaise pesanannya.

“Dih, emang lo siapa? Haha”

“Cowok yang jagain lo 15 tahun lah, gimana sih. Iya apa iya?”

Gue terdiam. Seketika kenangan-kenangan selama 15 tahun pertemanan kita terbayang di otak gue. Gue jadi inget sosok Mingyu yang dari dulu selalu belain gue ketika gue diledekin sama temen-temen yang lain, sosok Mingyu yang selalu hibur gue dengan tingkahnya yang konyol ketika gue sedih, sosok Mingyu yang selalu bikin ketawa walau kadang nyebelin, sosok Mingyu yang selalu memprioritaskan kebahagiaan orang-orang di sekitarnya, termasuk gue, di atas kebahagiaan dia sendiri.

Dan gue dengan gampangnya mengganti sosok Mingyu yang sudah ada 15 tahun itu dengan seorang Uyon yang baru gue kenal beberapa bulan.

Jahat banget ya gue?

Mata gue jadi berkaca-kaca gara-gara mikirin ini. Tapi gue nggak boleh nangis depan Mingyu, yang ada gue bakal bikin suasanya jadi nggak enak. Buru-buru gue seka air mata yang untungnya belum sempat menetes dan melanjutkan makan.

“Btw, Gyu, kemaren kan lo bilang mau ngomong sesuatu sama gue. Mau ngomong apa sih emangnya?” tanya gue setelah kita berdua menghabiskan makanan masing-masing.

“Oh itu. Ada yang pengen gue tanyain, Ca. Boleh sekarang nih?”

“Yaudah sekarang aja, kan udah selesai makannya”

“Okay. Uhm, pertanyaan gue yang dulu udah ada jawabannya, Ca?”

“Yang mana?”

“About you being my girlfriend”

I knew it. I knew this day will come sooner or later. Meskipun begitu gue tetep bingung mau gimana jawabnya.

“Am I your girl friend already? I'm a girl and your friend, right? Haha” gue memutuskan untuk jawab dengan bercanda.

“Pacar, Ca” kata Mingyu singkat, menegaskan lagi arti 'girlfriend' yang dia maksud.

Gue bingung mau jawab apa lagi. Setengah takut juga karena muka Mingyu sekarang serius banget. Gue jadi takut salah langkah.

“Gimana, Ca? Kalo lo mau, gue janji nggak bakal bikin lo sedih. Gue janji bakal jadiin lo orang paling bahagia di dunia. Gue nggak bercanda ya ini” kata Mingyu lagi.

“Tapi, Gyu... Gue udah ada Uyon...”

There you go, I said it. Ternyata sisi egois gue yang menang.

Mendengar jawaban gue, Mingyu mendadak tersenyum lebar. Berubah 180 derajat dari raut muka serius yang tadinya ada di wajahnya. Tapi, entah kenapa, ada rasa sedih dibalik senyumannya itu.

“Then I got your answer. Thank you, Ca, akhirnya gue bisa tidur tenang hahaha” kata Mingyu.

'Kenapa reaksinya gini sih? Malah serem gue...'

“Kalo gitu gue mau balikin ini ya, Ca” kata Mingyu lagi sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

Kartu akses dan kunci apartemen gue.

“Loh, kenapa dibalikin, Gyu? Pegang aja, kalo nanti gue ada perlu lagi gimana...”

“Kan ada Uyon? You won't need me anymore, ya kan?”

'Tuh kan...'

“Nggak gitu lah, Gyu... Kan ada Uyon nggak berarti gue nggak butuh lo lagi... Ada dia juga kan kita masih bisa sahabatan... Lagian Uyon belom tau masalah gue yang itu...”

“Ya lo tinggal ceritain ke dia aja sambil kasih kunci ini, beres kan? Kalo dia sayang sama lo, gue yakin dia mau lakuin yang sama kok, dia pasti mau jagain lo”

“Don't be like this, Kim Mingyu”

“Sorry, Ca, I'm afraid I cannot treat you as I usually was, at least for now. Gue pengen lo bahagia, Ca. Gue pengen lo bisa bahagia setiap saat sampai pada akhirnya lo bisa ngilangin trauma lo itu. Now you've found your happiness with him and I don't want to disturb it”

“Gue nggak ngerasa keganggu sama kehadiran lo, Gyu. Gue malah—”

“Gue yang keganggu. I'm happy for you but I can't stand to look at you with other man” kata Mingyu memotong omongan gue.

Mata gue mulai berair lagi. Gue kesel banget sama kata-kata dia, tapi gue nggak bisa marah. Rasa ini hanya bisa gue keluarkan lewat air mata yang masih gamau gue teteskan di depan dia.

“So, are you ending our friendship?” tanya gue dengan suara yang mulai bergetar. Never in my life I thought I will be asking this to him.

“No, I guess? But I do need time away from you.

Lo itu udah bagaikan rumah buat gue, Ca. Gue tinggal di rumah ini selama 15 tahun. Banyak hal yang gue rasakan di rumah ini, seneng, sedih, sayang, benci, semuanya. Gue cinta banget sama rumah ini, gue suka sama semua hal tentang rumah ini. Tapi, gue sadar semakin gue merasa attach sama rumah ini, akan semakin susah nantinya buat gue untuk pergi. Jadi gue harus belajar merantau, gue harus coba belajar jauh dari rumah.

15 tahun kita bareng kita nggak pernah jauh dari masing-masing, Ca. Mungkin kalo kita jauh kita jadi bisa ngeliat sesuatu yang biasanya kita nggak bisa liat, atau ngerasain sesuatu yang biasanya kita nggak bisa rasain karena kita terlalu dekat.

Oh iya, tapi I'm not giving up on you ya. I will keep loving you as I am right now. Gue nggak maksa lo buat balas perasaan gue, lo nggak perlu mikirin perasaan gue, lo-nya let it flow aja. But I just want to let you know, if in the end he disappoints you, you can always find me. I'm ready to take the role if you want to try”

Gue nyerah. Gue tidak bisa menahan air mata gue lagi. And so I cried silently in front of him.

Perasaan gue campur aduk. Sedih, merasa bersalah, merasa jadi orang paling jahat sedunia, tapi juga lega karena akhirnya Mingyu bisa sadar untuk mencoba menjalani hidupnya sendiri, bisa sadar kalo hidupnya itu nggak melulu harus berhubungan sama gue.

“Kenapa nangis sih, jelek tau haha” katanya lagi sambil memberi gue tisu lalu mengacak-acak rambut gue.

“Bayar trus pulang yuk, Gyu” jawab gue masih sambil setengah menangis.

“Yuk, malu ah lo nangis diliatin orang, ntar dikiranya diapain lagi sama gue. Bentar ya gue bayar dulu” jawab Mingyu sambil beranjak dari kursinya.

Setelah membayar, Mingyu langsung mengantar gue sampai ke apartemen.

“Sampeee princess, sampe parkiran aja yaa” kata Mingyu setelah memarkirkan mobilnya.

“Gamau turun dulu?”

“Gausah deh, nanti lama lagi, kasian lo-nya capek”

“But it's our last night together...”

Mingyu tertawa mendengar pernyataan gue.

“Hahaha udah berasa apa aja. Sementara aja kok, Ca, ya walau gue gatau sampe kapan sih. Gue janji balik lagi kok kalo udah selesai menata hati hehe”

“Janji ya...” kata gue sambil menyodorkan kelingking gue.

“Janji. I promise to return home later” jawab Mingyu mengaitkan kelingkingnya ke kelingking gue sambil tersenyum.

“One last hug” gue merentangkan tangan gue lebar-lebar.

Mingyu menyambut permintaan gue dan memeluk gue erat. Tidak sadar air mata gue menetes lagi.

“Thank you for understanding, my home” katanya sambil mengelus halus rambut gue.

'Thank you for you too, Gyu. Thank you for considering me as your home'

'Good luck on your life. I wish you to be happier from now on, I will also live happily as you wish'

'See you again later, puppy'