ririrereh

What a girl has in her mind

• First... •

[Caca's POV]

Setelah makan siang tadi, gue dan Uyon window shopping sebentar. Gue emang bener niatnya window shopping doang karena lagi hemat, tapi si tuan muda Cho Seungyoun ini gercep banget ngeluarin dompetnya tiap kali gue bilang ada baju, sepatu, atau tas yang lucu. Akhirnya gue mencoba buat diam aja setiap ada yang gue pengen, biar nggak ketauan sama Uyon.

Ternyata gue kecolongan sekali waktu Uyon gue tinggal pergi ke toilet. Keluar dari toilet, gue lihat dia udah bawa satu shopping bag The Body Shop.

“Bener kan, Ca? Tadi yang lo suka yang bau moringa ini?” katanya sambil memberikan shopping bag itu. Isinya body butter dan eau de toilette varian moringa favorit gue. Padahal gue nggak bilang sama sekali kalau gue suka banget bau ini.

“Gue nebak aja sih soalnya tadi lo nyoba-nyoba ini lama banget hehehe” lanjut Uyon. Jujur tersentuh sih, dia perhatian banget berarti, sekecil apa pun gerak-gerik gue.

“Bener.... Tapi kenapa dibeliin sih...” kata gue nggak enak sama dia.

“Gapapa, pengen aja. Kan gue bilang tadi hari ini all on me. Diterima ya, pokoknya kalo nggak diterima gue marah” ancam Uyon.

“Uhh iya iya, makasih ya, Yon”

“Kalo emang masih nggak enak sama gue, balesnya ini aja” kata Uyon sambil merentangkan tangannya lebar-lebar.

Gue menangkap kode tersebut dan memeluk erat Uyon.

“Kesempatan ya hmm” kata gue.

“Lah yang lebih sering meluk duluan siapa?”

Gue nyengir aja ke dia.

Setelah itu, kita menuju ke event utama hari ini; ferris wheel! Sampai di sana, gue langsung minta Uyon fotoin gue.

Nggak salah gue pakai dress pink hari ini. Karena ferris wheel-nya warna ungu, di foto jadi terlihat bagus dan selaras dengan penampilan gue. Ditambah Uyon jago banget ambil fotonya.

“Bagus banget hasilnya, Yon!!! Lo pernah belajar fotografi ya?” kata gue girang melihat hasil-hasil foto yang diambil Uyon.

“Nggak juga sih tapi kan gue sering ambil foto buat portofolio kalo design di tempat klien udah selesai, jadi biasa motret deh hehe”

“Mulai sekarang gue mau bawa lo aja ah kalo lagi pengen foto-foto di tempat bagus”

'Sekalian nge-date kayak hari ini, hehe'

“Haha, use me however you want, Ca, I mean it. Btw ini jadi mau naik ferris wheel-nya apa foto-foto doang nih?” tanya Uyon.

“Yuk naik sekarang!” jawab gue sambil menarik Uyon ke loket penjualan tiket.

—-‐———————-

[Uyon's POV]

Asli, gue nggak ngerti lagi sama cewek ini.

Kemarin dia yang ngajak gue buat naik ferris wheel tertinggi di Jakarta ini. Iya sih kita jadi naik ferris wheel-nya, tapi dia pegangan ke gue kenceng banget dari pertama kita masuk ke sana.

“Yon, pegangan boleh ya?” kata Caca sambil memegang erat tangan gue. Raut mukanya penuh kekhawatiran.

Sampai di dalam kapsul pun dia masih pegang erat tangan gue, makin erat malah sampai-sampai tangan gue terlihat merah saking kencengnya.

“Lo takut ketinggian ya, Ca? Batal aja apa?” tanya gue khawatir, tapi sambil ketawa kecil ngeliat kelakuan dia.

“Dikit. Mana bisa batal sih Yon orang udah jalan, gapapa kok”

“Kalo engga duduknya sini sebelahan aja biar nggak serem-serem amat” gue perlahan menarik tangan Caca yang duduk di seberang gue. Ternyata gerakan gue itu justru bikin kapsul kita makin goyang.

“Nggak!!! Gamau!!! Tuh kan Yon jadi goyang-goyang!!!! Gue mau di sini aja biar seimbang!!!” Caca teriak panik ngomel-ngomel ke gue.

“Kalo engga tutup mata aja deh biar nggak takut” gue usul cara lain.

“Ya terus apa gunanya gue naik ini dong, Yon?! Gimana sih?!” Caca lanjut ngomel.

Guenya ketawa aja, geli lihat dia sok kuat padahal takut.

“Pokoknya jangan lepas tangan gue ya, Yon...” Caca memohon ke gue.

“Nih pegang tangan gue dua-duanya deh biar aman” gue menjulurkan tangan gue yang satu lagi untuk dia pegang.

“Jangan, tangan lo yang satu lagi buat foto-foto aja”

Masih bisa aja mikirin foto-foto ini anak, padahal mukanya tegang begitu.

Gue ambil HP gue dan foto-foto pemandangan sekitar kapsul kita yang makin lama makin naik tinggi. Gue juga foto Caca dengan muka takutnya. Sambil foto gue tersenyum jahil.

“Kenapa gue juga difoto sih??!!” protes Caca.

“Hahaha kenang-kenangan Ca, kalo pernah ada orang ngajakin gue naik ferris wheel tapi orangnya takut sendiri”

Caca manyun diledekin sama gue.

Selesai foto-foto, gue menyimpan kembali HP gue di kantong celana, lalu memegang tangan Caca yang satu lagi setelah sebelumnya sempat mengacak-acak rambut gadis cantik ini. Gue elus tangannya perlahan menggunakan ibu jari gue, supaya dia nggak tegang lagi.

“Kalo udah tau takut kenapa maksa naik sih, Ca?” tanya gue.

“Supaya nggak takut lagi” jawab Caca singkat.

“Hah? Maksudnya”

“Katanya kalo takut itu jangan dihindarin, justru dihadapin biar nggak takut lagi. Makanya gue beraniin naik ini. Gue beraniin demi sesuatu yang pengen banget gue lakuin”

“Apa tuh?”

“Gamau kasih tau ah, malu”

“Lah kenapa malu?”

“Soalnya gitu doang keinginannya... Nggak penting...” Caca menundukkan kepalanya.

“Hahaha apaan sih Ca. Buruan ih gue penasaran” paksa gue.

“Itu.... Gue pengen banget naik Singapore Flyer...”

“Oalah, gue kira apa”

“Kan gue udah bilang nggak penting...” kata Caca kecewa mendengar reaksi gue.

“Eh eh nggak gituuuu, tapi beneran cuma gara-gara itu, Ca?”

“Hmm, ada yang lebih spesifik sih”

“Mau tau please”

“Gue pengen naik Singapore Flyer sama orang yang paling gue sayang, trus gue mau hari itu jadi hari dimana gue bisa janji sama orang itu dan diri gue sendiri kalau kita bakal saling sayang selamanya. Nggak akan mengkhianati satu sama lain, nggak akan nyakitin satu sama lain, dan bakal bahagia sampai ajal menjemput nanti”

“Simpelnya pengen dilamar di Singapore Flyer, gitu nggak sih?” gue menyingkat kata-kata Caca.

“Iya..... Gitu deh. Lebay banget ya? Makanya gue maluuuu ini bilangnyaaaa, sumpah ya gue belom pernah bilang ini ke siapa pun, baru ke lo doang” kata Caca yang mukanya mendadak jadi merah. Malu beneran ternyata dia.

“Kenapa harus di sana, Ca?” tanya gue penasaran.

“I don't know... Maybe just because I love Singapore too much? Gue suka banget sama suasana di Singapore, Yon. Mungkin kebanyakan orang-orang cuma lihat Singapore sebagai kota yang padat dan sibuk, but for me that city has its own romantic charm. When someone ask about romantic places, most people maybe will say Paris or Venice. But for me it's Singapore, on a capsule of Singapore Flyer when it reached its highest peak, then you can see the view of entire Singapore. Gue belom pernah beneran rasain tapi gue bisa bayangin gue bakal bahagia banget kalo bisa ada di situasi itu sama orang yang gue sayang” Caca cerita dengan mata yang berbinar-binar.

Caca's vision about her own future made me can really imagine how it will be when I take her to a more serious relationship phase.

Now I really want to be the one who take Caca see Singapore's view from the highest peak of that ferris wheel.

“Makanya gue mau latihan naik ferris wheel dari sekarang, Yon. Biar nanti nggak ketakutan pas hari itu terjadi, biar nggak malu-maluin hahaha” lanjut Caca.

Bersamaan dengan pernyataan Caca itu, kita sampai di puncak tertinggi ferris wheel ini.

“Caca” panggil gue.

“Hmm?”

“Apa yang nanti bakal lo lakukan di hari itu, mau coba latihan juga nggak?”

“Hah? Maksudnya gimana Yon-”

I pulled Caca closer to me, then softly pressed my lips on top of hers. I closed my eyes and kissed her lovingly. My hands still holding hers, afraid she will start to panic if I let her hands go.

Sesekali gue buka mata gue sedikit untuk melihat paras cantiknya. Dia hanya diam, mukanya panik, bibirnya tidak membalas ciuman gue.

This must be her first kiss.

Knowing that, I pulled out myself from her, ending our first kiss. I gently swipe my thumb over her lips then put my hand on her cheek.

“Maksudnya latihan yang kayak gini. Nanti pas di hari itu pasti ada deh, percaya sama gue” kata gue sambil tersenyum.

Caca hanya menatap gue lekat-lekat. Mukanya makin merah, gatau karena malu atau marah sama gue.

Gue balas tatapan mata dia sama lekatnya. Then we just stared each other for some time. Sambil sesekali gue elus rambut panjangnya.

“Ih, Yon... Kenapa sih...” Caca membuang muka dan mengakhiri keheningan di antara kita berdua.

“Kenapa apanya?”

“Kan gue gatau cara balesnya gimana kalo lo cium-cium gitu...” kata Caca polos.

“Ahahahaha yaudah gapapa sekarang gausah dibales dulu, kan namanya juga latihan. Besok-besok belajar cara balesnya yaa, hehe” ujar gue.

Caca mendengus sebal. Dia berusaha untuk menahan senyumnya dengan membuang muka lagi.

Tolong ya Tuhan, nggak kuat sumpah gemes banget.

Kalo gue nggak pakai logika mungkin dia udah gue cium lagi sekarang. Tapi nggak boleh, sekali dulu aja. Take it slow, Yon.

'Let me be the one who take you up to the sky and see the view you've always wanted'

'Let me be the one who take your promises, also let me be the one who will give promises to you'

'Let me be the first and last for you, Cantika Andini'

• First Date •

[Uyon's POV]

Wow, first date with Caca.

Setelah selama ini gue lebih bisa dibilang jadi supirnya Caca, akhirnya kita ada kesempatan buat jalan bareng.

Buat date pertama kita ini gue cuma mau jalan-jalan biasa aja di mall, makan bareng, ngopi sambil getting to know each other better. Eh ternyata anaknya minta naik ferris wheel yang katanya tertinggi di Jakarta itu. Okay, that's even better.

Romantis kan tuh naik ferris wheel berdua, aih.

Sekarang gue sedang ada di dalam mobil gue, menunggu Caca turun dari unit apartemennya. Tadi katanya sih dia udah di lift. Berarti kira-kira ada 5 menit lagi lah sebelum Caca sampai di mobil gue.

5 menit itu rasanya lama banget, sumpah. Mana gue deg-degan nggak berhenti. Nggak sabar banget lihat penampilan Caca hari ini.

“Uyoooon!!!” terdengar suara Caca memanggil gue dari arah lobby. Gue sontak menengok ke arah suara manis itu.

Ya Tuhan....

Dia lucu banget hari ini...

Caca yang sehari-hari gue temui buat antar jemput ke kantor biasanya cuma pakai kemeja dan celana seadanya, paling kalau pun lagi niat dia cuma tambah aksesoris. Belum pernah gue lihat dia pakai rok atau dress.

Hari ini dia pakai checkered pattern casual dress warna dusty pink, ditambah tas selempang kecil warna coklat dan aksesoris kecil yang tidak berlebihan. Rambutnya di-blow sedikit supaya terlihat lebih mengembang, tidak seperti biasanya kalau ke kantor dia selalu ikat atau cepol rambutnya supaya nggak ribet waktu kerja.

She looks simple and really, really, really pretty.

Gue turun dari mobil dan dadah-dadah ke arah dia. Lalu dia berlari kecil ke arah gue.

Dan dia peluk gue.

Sumpah, masih nggak biasa dipeluk sama Caca. Walaupun gue dengan soknya bilang dia boleh peluk gue kapan aja, tiap kali dipeluk gue tetep kaget dan makin deg-degan.

“Wey kenapa nih tiba-tiba meluk haha. Kangen yah? Sorry kemaren nggak bisa jemput ke kantor, ada klien yang minta meeting” kata gue sambil membalas pelukan Caca.

“Iya gapapa, Yon. I know you're busy. Gue juga gamau jadi beban lo anter jemput tiap hari” ujar Caca masih sambil memeluk gue makin erat.

“Err.. Ini kapan mau berangkatnya kalo pelukan mulu?”

“Eh iya maap maap haha. Yuk berangkat!” Caca melepaskan pelukannya dan masuk ke mobil.

“Jangan lupa seatbelt-nya, Ca” kata gue setelah masuk mobil dan memasang seatbelt gue sendiri.

“Iye bawel berasa gue anak kecil deh”

“Emang iya kan?”

“Heh gue lebih tua 2 bulan dari lo”

“Oh iya.. Sorry kak.. Haha. Berangkat ya ini” kata gue mulai menyetir keluar dari area parkir apartemen Caca.

Di mobil Caca terlihat sangat happy. She's in a really good mood today. Gue pun jadi ikut happy lihat dia.

“Yon, gue mau pasang lagu boleh nggak?” tanya Caca.

“Boleh dong, langsung connect bluetooth aja, Ca”

Caca menyambungkan HP-nya ke audio mobil gue dan memutar lagu Roxanne milik penyanyi Arizona Zervas. Lalu dia menari-nari sendiri sambil menyanyikan lagu itu.

“Lagi suka banget sama lagu ini ya? Hafal banget liriknya nih kayaknya” ujar gue sambil tersenyum melihat dia.

“Parah suka banget, Yon! Gue bisa dengerin lagu ini on repeat berkali-kali dan nggak enek. Boleh gue on repeat nggak, Yon?” jawab Caca masih sambil nari-nari sendiri.

“Terserah kamu sayang, anything that makes you happy” jawab gue, udah siap digalakin lagi gara-gara bilang 'sayang' ke dia.

Tapi dia nggak menggubris ucapan gue dan tetap tenggelam dalam lagu yang dia putar ini.

Well, I think our first date will be fantastic. Cannot wait to see how this day will go!

—-‐———————-

[Caca's POV]

My mood is at the highest point right now. Saking senangnya mungkin gue bisa terbang dan nggak balik-balik lagi.

I'm here now eating my favorite food; pizza, at my favorite pizza place; Popolamama, with my favorite person; Uyon.

Gue nggak mau munafik, Uyon saat ini memang ada di puncak chart 'Caca's Favorite Person'. I mean, he's the one who is there for me for most of the time, making me laugh when I'm down with his cheesy words, encourage me when I'm stuck with my work, being a yes-man to me when all of the world are against me.

He's always there for me, accompany me through ups and downs.

Now I'm lowkey wanting him to be like this for the rest of my life. Is this mean I'm starting to fall for him? As a lover?

“Mau tambah lagi nggak pizza-nya?” tanya Uyon. Dari tadi dia cuma menopang dagunya dengan satu tangan dan mengamati gue makan dengan seksama.

“Hmm... Boleh nggak...? Hehehehe” jawab gue gatau malu, anaknya suka gila emang kalo udah ketemu pizza.

“Mas? Iya, boleh minta pepperoni pizza-nya satu lagi, sama refill minum ya. Thank you” Uyon langsung memesan lagi tanpa basa-basi.

“Yon lo juga makan dong... Masa dari tadi gue doang sih yang makan... Kalo gini caranya ntar bayarnya bagi dua ya” kata gue nggak enakan.

“Nggak ada, gue yang bayar”

“Kalo gitu ferris wheel-nya gue yang bay-”

“Nggak ada, gamau, all on me today. Lo tinggal seneng-seneng aja pokoknya, oke?” ujar Uyon tegas.

“Ih gue kan nggak enak... Kalo engga gue traktir apa deh...” gue maksa mau bayarin sesuatu.

“Kalo masih maksa batal nih naik ferris wheel-nya” ancam Uyon, mukanya serius nggak bercanda, baru sekali gue lihat dia kayak gini.

Ganteng banget... Laki banget...

“Jangan dong...” kata gue sambil cemberut.

“Makanya nurut”

“Iya nurut deh” gue nyerah.

Uyon langsung tersenyum lebar sampai matanya tinggal segaris. Gosh, how can this man switch from being a fox to being a puppy real quick?!

Tak lama pizza tambahan yang tadi Uyon pesan datang. Setelah waiter menaruhnya di meja, Uyon langsung memberikan satu potongan pizza ke piring kosong gue.

“Bon appétit, cantik” katanya sambil mengelus halus rambut gue.

“Gamau makan kalo lo-nya nggak makan juga”

Uyon langsung mengambil satu potong pizza ke piringnya.

“Happy now?” tanya Uyon.

“Yesssss hehehe, bon appétit, Yon!”

I swear that was the best pizza I've ever had in my life. I never knew that love can make something common feels amazing.

Cannot wait what love will teach me next!

• Sorry, I Just Can't •

[Mingyu's POV]

“Halo? Ran? Udah dimana? Gue udah di Starbucks nih, lo mau minum apa? Gue pesenin sekalian. Green tea latte ukuran grande? Okay then, see you” gue berbicara dengan Rania di seberang telepon.

Hari ini gue janjian ketemu dengan Rania setelah sekian lama nggak ketemu. Semenjak gue jadi ada jarak sama Caca, gue jadi jarang ketemu Rania karena mereka berdua bareng terus. Padahal Rania tempat curhat gue nomor satu, ada apa-apa gue pasti ke Rania dulu.

Kecuali waktu gue nembak Caca. Waktu itu gue nggak bilang-bilang, nggak pakai konsultasi dulu ke dia, langsung action aja. Alhasil gue diomelin habis sama dia waktu itu.

Gue inget banget waktu itu gue lagi bengong di balkon kamar gue. Pikiran gue ngawang karena gue nggak dapet jawaban apa pun dari Caca setelah gue nembak dia. Tiba-tiba Rania muncul dari belakang lalu bikin gue kaget dengan nempelin gelas isi air dingin ke tengkuk gue.

“Anjir dingin! Apaan sih Ran ah! Merinding jir gue!” protes gue sambil merinding kedinginan.

“Oh? Masih bisa tau rasanya dingin toh? Tapi kalo perasaan temennya sendiri gatau?” ujar Rania santai tapi nusuk. Dari situ gue tau kalau Caca udah cerita tentang hal ini ke Rania.

“Bisa-bisanya lo ngeremehin 15 tahun persahabatan kita bertiga, Gyu. Bisa-bisanya lo egois, cuma mikirin perasaan lo sendiri, nggak mikirin perasaan gue sama Caca” lanjut Rania. Nadanya tetap santai, tapi gue tau itu dia marah banget. Gue justru lebih serem sama dia yang kayak gini.

“Gue yang cuma denger ceritanya aja bingung harus gimana, apalagi Caca yang lo tembak? Lo nggak mikir ya bakal sekalut apa pikiran Caca ketika lo lakuin hal itu? Nggak mikir dia bingungnya kayak apa? Nggak mikir kalo persahabatan kalian bisa aja rusak?” Rania tetep nyerocos, nggak kasih ruang buat gue untuk ngomong.

Gue cuma bisa nunduk dan diam, karena gue tau gue salah. Gue salah karena gue gegabah. Gue salah karena membiarkan perasaan gue menguasai otak gue, lalu bertindak seenaknya.

“Udah nggak pengen temenan sama gue dan Caca ya, Gyu? Udah bosen ya sama kita?” tanya Rania tanpa basa-basi.

“I'm sorry, Ran...” kata gue lirih. Cuma itu yang bisa gue ucapkan, gue nggak punya pembelaan lain.

“You're not supposed to say sorry to me, though. Caca is the victim here, you should be sorry to her”

“I know... I do felt guilty after I did that... What should I do now, Ran?”

“Lo yang ngelakuin kenapa jadi gue yang harus mikir?” jawab Rania ketus.

“Bener... Gue emang nggak punya hak buat nanya hal itu ke lo. Sumpah kenapa gue bego banget sih, benci banget gue sama diri gue sendiri” kata gue sambil bolak-balik menampar muka gue sendiri, udah mulai frustasi sama keadaan ini.

“Hey, hey, udah gausah nampar-nampar gitu” Rania memegang kedua tangan gue supaya nggak nampar-nampar lagi, lalu dia tatap lekat kedua mata gue.

“Gyu, nasinya udah jadi bubur, semuanya udah terjadi dan lo nggak bisa balik lagi. Lo cuma bisa pikirin kedepannya harus gimana.

Sekarang gue tanya, lo masih mau jadi sahabat Caca atau mau jadi pacar Caca?” tanya Rania dengan raut muka serius.

“Kalo dua-duanya nggak bisa ya?”

Pertanyaan bego keluar dari orang paling tolol sedunia.

“Nggak boleh egois, Gyu. Gini, kalo lo masih mau jadi sahabatnya, lo harus pinter-pinter jaga perasaan lo, jangan sampai gegabah lagi dan ngelewatin batas. Tapi kalo lo maunya dia jadi pacar lo, lo harus siap kehilangan dia, lo harus siap kehilangan dia sebagai sahabat lo, bahkan lo harus siap kalo emang akhirnya dia completely gone from your life, who knows your love story will be succsesful or not, right? Semua pilihan ada reward-nya, tapi ada resikonya juga. Gimana, Gyu? The choice is yours” tegas Rania.

Gue bingung, bener-bener nggak bisa mikir apa pun. Logika gue nggak jalan karena masih ditahan oleh perasaan gue. I can't decide anything. I just can't.

“Give me time on this, Ran. I just can't think clearly right now...” pinta gue ke Rania. Rasanya sebentar lagi gue bisa menangis gara-gara terlalu frustasi.

“Okay, take your time. Clear your mind first. But remember, in the end you still have to decide, this is for hers and your own good. Buat gue juga sih supaya gue nggak awkward berada di tengah kalian”

“I will, promise”

“Good boy” kata Rania sambil mengacak-acak rambut gue. “Ke bawah yuk, Gyu. Gue laper. Kayaknya nyokap lo udah selesai masak deh heheh” ajak Rania.

“Cepet banget lo kalo urusan makanan haha”

“Biasa, anak kos butuh perbaikan gizi. Yuk ah!”

—-‐———————-

“Sorry Gyu, gue telat. Macet banget tadi gila dah padahal gue kira sabtu nggak macet” kata Rania terengah-engah sambil membuka jaket yang dia pakai dan akhirnya duduk.

Kembali lagi ke hari ini, dimana gue janjian ketemu dengan Rania di Starbucks Lotte Shopping Avenue.

Agenda gue hari ini adalah menanyakan tentang Caca ke Rania, karena sudah sekitar sebulan gue agak susah kontak dia. Ini aneh karena sebelumnya dia yang terus-terusan kontak gue dan gue yang terus menghindar.

Sekarang kebalik. Setelah Caca kambuh waktu itu tentunya gue terus keep contact dengan dia untuk tau keadaannya. Tapi kok rasanya sekarang dia yang ngejauh? Kayak kalo gue bilang mau jemput, katanya gausah dia pulang bareng temen kantornya. Gue mau ke apartemen, katanya gausah dia lagi main di luar. Pokoknya ada aja alasannya.

Something's fishy.

“Gapapa Ran, cuman jadinya green tea latte lo udah cair dikit tuh” kata gue.

“Oh, no problem, malah enak jadi berkurang manisnya” ujar Rania sambil menyeruput minumannya. “Soalnya gue udah kelewat manis Gyu, kalo minumannya kemanisan juga enek ntar hahahahha”

“Hoek najis hahahaha” gue tertawa menanggapi jokes jayus Rania.

“So, lo mau nanya apa? Kayaknya penting nih sampe harus banget ketemu buat nanyanya” tanya Rania.

“Hmm ya penting penting nggak penting sih, cuman kalo di chat atau telepon kurang enak aja”

“Apa emangnya?”

“Ran, Caca apa kabar?”

Rania keselek mendengar pertanyaan gue.

“Itu doang jir?! Lo mau nanya itu doang sampe bikin gue usaha ke sini?!”

“Ya tapi kan lo bilangnya juga mau sekalian ke Uniqlo, ya kan? Nggak ketemu gue juga lo tetep ke sini kan?” protes gue.

“Iya sih. Oke nggak penting. Beneran pertanyaan lo itu doang? Kenapa lo nanyanya ke gue dah kayak nggak bisa tanya orangnya langsung. Kan lo akhirnya udah ketemu lagi kan sama dia, udah ngurusin dia kemaren sakit juga. Berarti udah nggak awkward dong?”

“Gue pikir juga gitu, Ran. Gue pikir setelah dia sakit itu kita udah biasa lagi aja. Taunya kok gue kayak kena karma ya? Sekarang kok jadi dia yang kayak ngejauhin gue? Tiap gue ajak ketemu ada aja alesannya buat bilang nggak bisa”

Rania ngangguk-ngangguk doang, tapi di raut mukanya jelas terlihat kalau dia tau sesuatu.

“Jadi gini, Gyu”

'Anjir perasaan gue nggak enak...'

“First thing first, Caca kabarnya baik, happy and healthy as ever, you don't need to worry about that.

Trus kenapa dia mungkin jarang kontak lo itu karena dia lagi asik sama gebetannya, Gyu”

Deg

Okay...

Gue berusaha keras banget supaya nggak terlihat hancur di depan Rania, walaupun sebenarnya hati gue udah retak-retak, disenggol dikit lagi langsung hancur berkeping-keping.

“Tapi bukan berarti gara-gara ada gebetan dia jadi jauhin lo loh ya, dia cuma lagi asik aja sama dunia barunya. Sekarang gue juga lagi nggak sesering itu ketemu dia” Rania mencoba buat menenangkan gue.

“Ooh gitu... Pantesan dia gamau gue jemput pulang, dia pulangnya bareng sama gebetannya terus ya? Hahaha” gue tertawa, berusaha baik-baik aja.

“Setau gue sih gitu. Tapi kayaknya nggak setiap hari sih, soalnya cowoknya suka ada meeting malam sama klien-kliennya jadi nggak bisa jemput Caca”

“Btw lo udah kenal sama si cowoknya, Ran?”

“Kenal banget. Namanya Uyon, freelance design interior, seumuran kita juga. Dia temen minum gue di bar”

“Berarti yang ngenalin mereka berdua itu lo?”

“Engga, mereka kenal sendiri waktu terakhir Caca ikut gue ke sana. Bahkan gue baru besoknya tau mereka kenalan, soalnya gue mabok, biasa”

“Hhh kebiasaan. Untung ada Caca jadi lo dianter pulang, kalo dia nggak ikut gimana cara lo pulang coba” omel gue, abis Rania kebiasaan banget minum-minumnya nggak kenal batas.

“Slow, yang lain kan ada, nggak mungkin ada yang apa-apain gue hahaha” jawab Rania santai.

“Anyway back to the topic, jadi si Caca sama gebetannya udah sampe mana deketnya, Ran?” tanya gue masih penasaran.

“Hmm yaa gimana sih layaknya gebetan, Gyu? Kayak kontakan tiap hari sama sering anter jemput ke kantor aja. Setau gue mereka jarang jalan bareng sih soalnya dua-duanya sibuk.

Tapi gatau deh kalo nge-date-nya di rumah hahaha”

Kampret Rania, pasti mau bikin gue makin panas deh. Tapi nggak, gue mau stay cool.

“Gyu, pertanyaan gue dulu waktu lo abis nembak Rania, udah ada jawabannya belom?” tanya Rania tiba-tiba.

“Errr...... Belom?” jawab gue ragu, karena memang jujur gue belom tau jawabannya.

“Nah, karena sekarang toh Caca juga lagi ada yang deket sama dia, coba move on yuk, Gyu? Ya?” bujuk Rania.

Gue diam. Ingin banget sebenernya gue untuk coba move on, tapi gatau kenapa hati kecil gue masih menolak. Rasanya masih tidak ikhlas, walaupun gue tau semua ini salah.

“Maaf ya, Gyu, kalau gue kesannya berat ke salah satu pilihan yang dulu gue kasih ke lo. Tapi menurut gue emang lebih baik lo coba untuk move on. Gue gamau lo hancur, gue juga gamau Caca hancur, terlebih lagi gue gamau persahabatan kita hancur. Before it's too late, I think you better let your feelings go” lanjut Rania.

Gue masih diam.

“Gyu? Marah ya....? Maaf ya kalau gue kelewatan...” Rania jadi merasa bersalah karena gue diam aja nggak menanggapi dia.

“Oh, nggak kok Ran gue nggak marah sama lo. I'm mad at myself.

I'm mad at myself because I can't answer you, yet... Sorry Ran, I just can't, at least for now. Kayaknya gue masih perlu waktu. Maaf ya belom bisa jawab pertanyaan lo” jawab gue.

“Iya gapapa. Tadi itu saran dari gue aja, tapi gue harap lo bisa pertimbangin saran ini baik-baik ya. Nggak bisa kayak gini terus, Gyu. Lama-lama bisa jadi toxic”

“I know, Ran. I'll try my best”

'Caca, I'm glad to know you have someone by your side now'

'But I'm sorry, I can't be happy for you, because that person is not me'

'Please forgive my selfish self. I'm also mad at myself by doing this, but I just can't help it'

'Let me clear my mind first before going back to you. Until then, I hope you won't leave. Don't go anywhere far from me, please...'

• Will You Wait? •

[Caca's POV]

“Ini bukan gue banget kan, Ran?”

“Yeah, that's definitely not you” jawab Rania singkat.

Padahal gue udah panjang lebar curhat tentang hubungan gue dan Uyon saat ini. Dari hari gila dimana gue tiba-tiba minta dia buat jadi gebetan gue, sampai sekarang ketika kita semakin hari semakin dekat.

Semakin dekat sampai-sampai gue lupa intensi awal gue minta Uyon deket sama gue karena mau lupain Mingyu.

“Arrrrgggghhhhhh! Anjir Ran gue kenapa sih ini?! Kesambet apa coba?!” kata gue sambil ngacak-ngacak rambut, frustasi sama diri gue sendiri.

“Iya kesambet. Kesambet setan cinta hahahhaha” Rania malah ngeledek gue.

Gue lempar aja bantal yang ada di dekat gue ke dia. Eh, dianya malah makin ngakak ngeliat gue kesel. Bangke.

“Hahahahhah, Ca, udah lah ngaku aja. Lo sebenernya modus kan itu? Lo pake keadaan lo sama Mingyu buat alesan aja kan supaya lo bisa deket sama Uyon?” tanya Rania.

“Ih apaan sih, engga jir. Gue beneran minta tolong doang...”

“Iya sih kalo dipikir-pikir anak polos suci macem lo mana ada lah pikiran-pikiran modus kayak gitu” Rania mengoreksi omongannya sendiri.

“Trus Ca, kelanjutannya gimana sekarang? Uyon berhasil nggak bikin lo lupa sama Mingyu” Rania lanjut nanya.

“Yaaa..... Berhasil sih... Gue jadi nggak terlalu mikirin dia terus. Gue juga jadi punya alasan kalo dia bilang mau jemput ke kantor, soalnya sejak gue kambuh lagi waktu itu dia langsung makin protektif deh, Ran. Gue gamau dia terlalu kayak gitu, nanti dia makin nggak bisa move on”

“Gue bisa ngerti sih kalo dia jadi protektif, soalnya kan bokap nyokap lo emang terang-terangan nitip lo ke dia, jadi pasti dia ada rasa tanggung jawabnya gitu. Tapi since dia udah pernah confess ke lo pasti rasanya jadi beda sih...”

“Iya kan, Ran? Lo bisa ngerti kan gimana rasanya jadi gue?”

“Nggak bisa ngerti sih soalnya bukan gue yang ditembak, ya tapi gue mencoba untuk mengerti lah of course” jawab Rania. Dia ini memang anaknya blak-blakan banget, she doesn't like to put on sugar coating to her words.

“Btw Ca, Mingyu tau tentang Uyon? Lo udah cerita ke dia?” tanya Rania lagi.

“Gue belom cerita apa-apa ke dia, bahkan gue belom bisa mention nama Uyon ke Mingyu. Takut sama reaksinya” jawab gue.

“Lah itu mah namanya lo belom berhasil move on!” kata Rania sambil mukul gue pakai bantal yang gue lempar tadi.

“Aw sakit!!!” protes gue.

“Satu sama. Gue juga tadi sakit dilempar bantal. Weeek” Rania protes juga sambil menjulurkan lidahnya.

Kadang gue sama Rania suka nggak ingat umur kalo lagi bareng. Ingetnya kita masih kecil terus aja kayak waktu pertama kali kenal.

“Yaudah itu nanti gue bantuin deh, gue coba bantuin lo sebut-sebut tentang Uyon ke Mingyu. Paling anaknya bentar lagi curhat juga sama gue tentang lo, tunggu aja” ujar Rania.

“Tapi gausah sampe yang gimana-gimana ya Ran nyeritain Uyon-nya... Kasian Mingyu...”

“Lo sebenernya mau dia move on apa engga sih? Kalo mau ya lo-nya juga harus strict dong, jangan lemah gitu” gue dimarahin Rania.

“Iya iya sorry... Yaudah tolong ya, Ran. Tengkyu heheh”

“Lagian maksudnya nyeritain yang gimana-gimana itu apa sih? Emang lo udah ngapain aja sama Uyon?” tanya Rania penasaran.

“Ehm... Gue pernah bobo ditemenin dia kayak tadi gue ceritain”

“Oke itu nggak masalah sih karena lo lagi sakit anyway, trus?”

“Gue sering berdua sama dia di mobil kalo dia jemput gue”

“Iya itu biasa aja sih sebenernya tapi karena lo ada trauma so okay that's a new improvement, next?”

“Kadang-kadang gue pegangan tangan juga sama dia soalnya kata dia tangan gue suka gemeteran kalo lagi naik mobil”

”......okay. Cool, Caca si polos udah berani pegang-pegang cowok. Ada lagi?”

“Gue pernah peluk dia”

“HAH?!”

“Iya...”

“LO YANG PELUK DULUAN?!”

“Iya... Trus gue juga sempet bilang dia enak banget dipeluk, abis emang beneran enak Ran badannya kurus-kurus berisi gitu gimana sih, ngerti kan?”

“NGGAK NGERTI CA SOALNYA YANG BILANG INI LO... TRUS ADA YANG LEBIH GILA NGGAK?!” Rania makin nggak santai.

“Emm..... Abis dia anterin gue pulang kantor, gue pernah ajak dia mampir dulu ke rumah. Itu gila nggak?”

“GILAAAAA GILA BANGET JIR CA ITU KAN MALEM??? TRUS LO MAU BAWA DIA KE SINI, KE RUMAH LO?? MALEM-MALEM BERDUAAN?? SEJAK KAPAN KESUCIAN LO ILANG HAH???” Rania lepas kontrol, dia ngomong sambil berdiri muter-muter, ngacak-ngacak rambut, saking nggak percaya sama ucapan gue.

“Ya tapi akhirnya nggak jadi kok soalnya Uyon-nya bilang dia masih banyak kerjaan” jawab gue santai.

“Aduh untung Uyon-nya masih waras” Rania kembali duduk setelah tau ternyata tidak ada hal yang terjadi di malam itu.

“Emang kenapa sih Ran kalo gue ajak dia ke sini malem-malem? Mingyu kan juga sering ke sini malem-malem, kadang subuh-subuh malah” tanya gue polos.

“Woy, Uyon bukan Mingyu ya. Lo baru kenal Uyon sebulan, Mingyu lo kenal 15 tahun. Lo pikir lo udah kenal Uyon banget sampe berani ngajak dia malem-malem ke rumah lo? Lo gatau kalo Uyon tuh— eh, nggak deh” Rania tiba-tiba berhenti ngomong.

“Kalo Uyon tuh kenapa?” tanya gue penasaran.

“Nggak nggak, nggak jadi”

“Ih kenapa nggak?!”

“Nggak adaaaa udah lupain. Anyway, nggak banget aja lah ngajak cowok ke rumah malem-malem kalo lo baru kenal” kata Rania mengalihkan pembicaraan.

“Iya sih, tapi don't know why I feel safe with him though. Sadar nggak sih, Ran, biasanya kan gue nggak mau ya ada cowok yang ke rumah gue kecuali Mingyu, tapi kalo Uyon tuh kayak... Apa ya... Yaudah rasanya aman aja buat dia ke rumah gue” ujar gue.

“Lo ngerasa nyaman sama dia, udah itu aja” kata Rania singkat.

“Kalo nyaman berarti gue suka sama dia ya? Have feelings buat dia?”

“Itu jawabannya yang tau lo sendiri lah, masa nanya gue. Tapi kalo diliat dari luar, keliatan banget lah lo ada feelings buat dia. Kalo engga gimana bisa kalian semakin hari semakin deket, ya nggak?”

“Bener sih...”

“Omg Caca-ku si polos nan suci akhirnya bentar lagi punya pacar uuuu seneng banget deh aquw” kata Rania sok imut sambil cubit pipi gue.

“Hhhh belom kali... This is still too fast for me, Ran...”

“Then take it slow. He'll wait, trust me. I know him” ujar Rania meyakinkan gue.

'Is it right, Yon? That you will wait for me if I take this slowly?'

'All of this are too new for me, Yon. I have to get used to it first'

'I also still have to figure out how I can distinguish you from Mingyu. How I can love you differently, not like I love Mingyu as a friend'

'I want to be your lover, but it takes time'

'So, please wait for me, Yon'

• About You and My Feelings •

[Uyon's POV]

Ini beneran ya Caca jadi gebetan gue?

Udah satu bulan sejak kejadian di hari itu. Hari ketika Caca minta gue jadi gebetan dia untuk bantu dia move on dari masalahnya.

Ya walaupun dia minta itu demi kepentingannya sendiri sih, bukan karena dia suka sama gue, but I don't mind at all.

Because I'm pretty confident I can make her fall for me eventually. Haha, pede banget buat seorang yang baru sekali ini bener-bener serius ngedeketin cewek.

Rasanya jadi gebetan Caca? Asli, gemesin banget. Antara gemes karena dia lucu, sama gemes khawatir karena dia terlalu polos.

Dari awal ketemu gue tau Caca ini orangnya polos, kelihatan dari sikapnya ke gue, tapi gue nggak menyangka dia seriusan sepolos itu.

Pernah nih ya, dia story bilang pengen banget minum boba, jadi gue iseng bikin surprise dengan pesenin dia boba milk tea, tentunya berharap dia bakal tersentuh gitu karena gue perhatian. Ternyata, pas terima dia nggak ada curiga-curiganya sama sekali kalo itu dari gue. Waktu gue jemput dia pulang dari kantornya, dia malah bilang:

“Yon, masa tadi kan gue pengen banget boba ya, trus tiba-tiba ada yang nganterin boba ke gue padahal gue nggak pesen. Gila, aneh banget nggak sih?”

Jujur gue beneran menghela napas dengernya.

“Lah emang lo nggak tanya sama masnya? Nggak tanya pengirimnya siapa?” pancing gue.

“Engga... Gue langsung terima aja...” Caca langsung merasa bersalah. “Ih Yon jangan-jangan itu salah kirim... Gimana dong kasian ntar masnya di-report gimana?” Caca malah panik mikirin mas ojol.

Tau gitu gue sendiri aja yang langsung nganterin ke dia, pura-pura jadi ojol. Yakin dia nggak bakal curiga.

“Ca, beneran gatau dari siapa boba-nya?” gue masih mancing.

“Engga...” jawab Caca bingung.

“Nggak kepikiran juga kalo itu gue yang kirim?”

“Engga... Emang itu lo yang kirim??”

“Iya itu gue yang kirim” gue nyerah akhirnya.

“Fyuh, syukur deh kalo gitu berarti masnya nggak bakal kena report hehehe”

Sumpah.

Gue mau jadi mas ojol aja deh biar diperhatiin sama Caca.

“Eh tapi kenapa lo bisa tiba-tiba kirim boba deh? Kok tau gue lagi pengen boba?” tanya Caca penasaran.

“Kan lo sendiri yang ngasih tau pengen boba” jawab gue.

“Kapan?”

“Tadi siang”

“Emang iya ya?” Caca bingung lalu buka WA untuk scroll chat history gue sama dia. “Nggak ada kok, Yon...”

Bener-bener deh ini orang.

Akhirnya gue buka IG dan kasih liat dia story dia sendiri tadi siang.

“Nih, ada kan?”

“Ooooh yang ini! Jadi lo liat ini trus langsung pesen boba buat gue, Yon?”

“Ya iya, Ca”

“Kenapa?”

'OMG Ca, is that even a question???'

“Ya karena lo gebetan gue??” gue agak ngegas dikit, bukan karena marah, tapi karena gemes.

“Hmm jadi kalo gebetan suka random beliin makanan kayak gini ya?”

“Bukan gitu juga, Ca. This is to show that I care for you. Artinya gue perhatiin lo terus gitu. Ibaratnya gue lagi caper ke lo gitu lah, Ca. Namanya juga gebetan”

I never thought that I ever explained about this to someone. Really. It gets even crazier when I realized I explained this to someone I like.

“Kalo gebetan tuh emang caper caper gitu ya?” tanya Caca masih penasaran.

“Ya harus caper lah, Ca. Kan belom jadi pacar, masih gebetan”

“Trus kalo udah jadi pacar stop caper-nya?”

“Ya masih tapi pasti beda lah caper-nya. Udah ah, Ca, pokoknya itu tadi gue yang kirim. Enak nggak boba-nya?” gue alihkan ke topik lain karena gue udah mulai capek ladenin pertanyaan-pertanyaan polos Caca.

“Enaaaak hehehe makasih yaaa” kata Caca dengan senyum manisnya sambil menepuk-nepuk pundak gue.

“Gue pengen sambil peluk bilang makasihnya tapi lo lagi nyetir jadi nanti aja pas turun ya peluknya” lanjut Caca.

Itu juga salah satu contoh kepolosannya. Kali ini gue gemes karena gue khawatir sama dia. Kayaknya Caca ini seumur hidupnya beneran cuma tau cowok modelnya kayak si temen 15 tahun-nya itu, jadi dia nggak bisa bedain mana cowok yang emang bisa biasa aja sama dia, mana yang engga.

Gue termasuk yang nggak bisa biasa aja sama dia.

Belom beneran dipeluk aja gue udah deg-degan setengah mati. Walaupun sebenarnya gue pengen banget dipeluk sama dia, gue malah berdoa supaya dia bercanda doang. Gue takut nggak kuat.

Sampai di apartemen Caca, gue parkir dan turun untuk bukain pintu buat dia.

“Ca, gue langsung pulang ya” kata gue sambil bukain pintu.

“Oh? Gamau mampir dulu?” jawabnya.

'Duh, bahaya bener ini cewek. Kalo semua cowok diajak begitu gimana coba? Ini kan udah malam?!'

“Engga dulu deh ya, gue masih ada proyek yang belom selesai. Ntar gue dimarahin klien lagi kalo nggak selesai haha” jawab gue menolak tawaran Caca.

Alih-alih menanggapi ucapan gue, Caca malah melakukan hal yang dari tadi gue harap nggak bakal terjadi.

Dia peluk gue.

Sambil menyenderkan kepalanya di dada gue, dia bilang:

“Makasih ya, Yon. Buat boba-nya, trus udah anterin gue pulang padahal lo masih banyak kerjaan, buat semuanya deh pokoknya. You're very kind, really”

Gue cuma bisa jadi patung. Gue bahkan nggak berani untuk balas pelukannya. Gue cuma fokus gimana caranya supaya jantung gue nggak deg-degan biar nggak ketahuan sama Caca.

Tapi gagal. Jantung gue udah kayak orang abis lari dikejar anjing. Aduh, bentar lagi gue mampus kayaknya.

“Yon, lo enak banget dipeluk sumpah. Yang nanti jadi pacar lo beruntung banget bisa peluk lo terus hehehe” Caca tiba-tiba ngomong lagi.

Fix, gue mampus banget. Nggak bakal bisa tidur malam ini.

Akhirnya gue memberanikan diri bales pelukan dia. Sambil mengelus lembut rambutnya, gue bilang:

“Haha, I'm all yours, Ca. Hug me whenever you want”

“Tapi gue bukan pacar lo”

“You will be, soon” jawab gue sambil tersenyum usil.

“Dih, pede” kata Caca sambil melepaskan pelukannya. “Yaudah gue masuk ya, Yon. Hati-hati nyetir pulangnya, jangan ngantuk! Daaah!” katanya lagi sambil melambaikan tangan dan mengarah masuk ke gedung apartemennya.

'Ca, jangan sepolos itu dong kalo sama cowok... Gue takut...'

—-‐———————-

“Woy dek, jangan bengong lo ntar kesambet” Mbak Ugi tiba-tiba noyor pelan kepala gue dari belakang.

Ternyata gue dari tadi bengong doang. TV nyala, tapi nggak gue tonton. Laptop nyala, tapi nggak gue apa-apain. Gue cuma diam menatap ruang kosong aja.

Wait, sebenarnya nggak bengong juga sih. Otak gue jalan terus, kerasa penuh banget malah.

Penuh sama pikiran tentang Caca.

Satu sisi, gue mau terus deketin dia. Semakin hari gue semakin dekat sama dia, gue semakin merasa yakin dia yang selama ini gue cari. I don't know why I can say that, but the feeling is there. I can imagine her being mine. All the things I want to do in life, I can imagine doing it with her.

Sisi lain, gue ragu, apa gue bisa terus deketin dia? Gue jadi gebetan Caca karena alasan tertentu, untuk bantu dia dengan masalahnya. Kalau nanti Caca udah menemukan jawaban atas masalahnya dan hubungan spesial kita ini berakhir, lalu kalau saat itu perasaan gue udah terlalu dalam buat dia tapi tidak terbalas, apa gue nggak hancur?

Apa lebih baik gue akhiri aja perjanjian ini, lalu minta Caca untuk officially be mine? Not only for a spesific reason? Tapi ketika gue minta itu, kira-kira apa reaksi Caca? Dia beneran mau sama gue? Atau nggak? Gue beneran nggak bisa bayangin.

Karena sampai sekarang aja gue nggak bisa bedain mana sikap Caca yang anggep gue sebagai temen dia aja, mana sikap dia yang anggep gue sebagai gebetannya. Se-ambigu itu.

Gue jadi nggak bisa tebak perasaan dia ke gue yang sesungguhnya, di luar perjanjian kita ini.

“Mbak Ugi. Sini deh” panggil gue ke Mbak Ugi yang sedang berdiri di dapur.

“Bentar tanggung nih bikin tehnya” jawab Mbak Ugi sambil buru-buru aduk tehnya, lalu menghampiri gue di sofa.

“Gue boleh curhat nggak?”

“Nggak boleh, gantiin duit gue naik taksi ke bandara dulu baru boleh curhat”

“Yaelah mbak itu udah kejadian sebulan lalu lupain aja kenapa sih... Gue beneran galau nih butuh ceritaaaaa” rengek gue.

“Becanda sheyeng. Mau cerita apaan lo? Tentang cewek yang mana?” tanya Mbak Ugi santai sambil menyeruput tehnya. Mbak Ugi emang tau track-record gue sama cewek-cewek yang ketemu kalo lagi minum-minum, dan dia tau juga kalo dari semua cewek itu nggak ada yang gue bawa serius.

“Ehm, cewek yang ini gue ketemu pas minum-minum juga sih cuman-”

“Elah basi banget lo dek sumpah cari cewek yang bener apa sih?! Kurang-kurangin main ceweknya! Kesian itu cewek-cewek innocent dimainin doang sama lo” gue belom selesai ngomong udah diomelin sama Mbak Ugi.

“Dengerin dulu kali baru komentar...” gue kesel karena ceritanya dipotong.

“Oh iya iya maaf, abis lo udah kebanyakan kasus yang kayak gitu sih. Lanjut dek”

“Cewek yang ini beda mbak, bahkan pas ketemu dia tuh nggak lagi minum, dia cuma di luar nonton drakor sendirian. Freak banget nggak sih? Tapi justru itu yang bikin gue tertarik. Itu yang bikin gue penasaran sama dia. Kepolosan dia itu bikin dia beda sama cewek-cewek yang pernah gue kenal”

“Trus lo lagi deketin dia sekarang?”

“That was my original intention, gue mau coba deketin dia pelan-pelan, siapa tau gue beneran bisa serius sama yang ini dan lepas dari ketakutan gue selama ini kan. Yang lucu tau nggak mbak, malah dia yang duluan minta gue jadi gebetannya”

“Hah?! Dia yang duluan?! Omg dek ternyata lo beneran hopeless banget ya sampe gitu aja yang ngajakin ceweknya duluan” kata Mbak Ugi udah nge-judge gue duluan padahal belum denger cerita lengkapnya.

“Heh denger dulu, dia itu minta gue jadi gebetannya demi bisa ngelupain sahabatnya dari kecil yang tiba-tiba nembak dia, bukan karena suka sama gue”

“Lo-nya suka sama dia?”

“Suka lah, kalo nggak suka gue nggak ada niatan mau deketin. Karena gue suka sama dia makanya gue jadi galau”

“Ya ngapain galau sih, kan kalian udah ada hubungan spesial, ya tinggal dilanjut aja lah!” Mbak Ugi menanggapi dengan berapi-api. Malesnya curhat sama Mbak Ugi gini nih, anaknya suka lebih emosian daripada yang lagi curhat.

“Mbak, biar ini bilangnya gebetan, tapi kan dia nggak bener-bener suka sama gue? Berarti ini gue bertepuk sebelah tangan dong? Bukan gebetan dong? Kalo gebetan kan mestinya mutual feelings lah, iya nggak?”

“Lo tau dari mana kalo dia nggak suka sama lo?”

Ehm, iya juga ya.

Dari mana ya gue bisa mikir kayak gitu?

“Emangnya selama kalian bareng dia keliatan kayak nolak semua perbuatan lo ke dia? Atau apa dia keliatan fake, di depan banyak orang baik sama lo tapi kalo berdua doang langsung awkward?” lanjut Mbak Ugi.

“Engga sih...”

“Nih ya dek, sepinter-pinternya cewek nutupin perasaannya, sepinter-pinternya cewek bohong sama perasaannya sendiri, ujung-ujungnya dia bakal luluh kalo dia ketemu sama cowok yang bikin dia nyaman. Oke mungkin dia awalnya mau deket sama lo karena ada maunya, tapi kenapa kalian terus lanjut sampe sekarang kalo bukan karena kalian sama-sama nyaman? Padahal dia bisa aja kan cari cowok yang lain, tapi kenapa dia bertahan sama lo?”

Gue diam mendengar ceramah Mbak Ugi, sambil sesekali mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan kakak kesayangan gue ini.

“Dek, jangan langsung ambil kesimpulan sendiri. Itu namanya lo egois. Lo harus coba kasih waktu ke dia untuk bisa tau perasaannya sendiri, mungkin dia nggak kayak lo yang bisa langsung yakin, mungkin dia butuh waktu”

“Tapi mbak sebenernya gue sendiri juga belom yakin 100% sih. Semakin yakin iya, gue bisa bayangin hidup gue sama dia, tapi belom sampai tahap gue yakin banget gitu loh. Gue yakin gue suka sama dia, gue nyaman sama dia, tapi belom ada moment dimana gue bisa yakin kalo she's the one. Gue mau yakin kalo gue bener-bener buat dia, dan dia bener-bener buat gue. Gue takut, mbak. Gue gamau kayak Papa”

Kita berdua sama-sama terdiam ketika gue sebut panggilan itu. Panggilan yang sudah lama sekali tidak kita ucapkan, seakan-akan kata itu tabu dan terlarang di rumah ini.

Terlalu sakit kalau mengingat apa yang orang itu lakukan ke keluarga gue. Padahal sudah 5 tahun berlalu sejak orang tua gue bercerai dan akhirnya orang itu pergi dari keluarga gue.

“Well, then you two just need some time. Take your time aja, Yon. Gausah terlalu terburu-buru, lo masih muda, banyak hal di dunia ini yang sayang kalo dilewatin di masa muda lo” Mbak Ugi akhirnya ngomong untuk memecah keheningan di antara kita berdua tadi.

“Yeah.. Maybe I shouldn't rush things and just let it flow. Eh, mbak, nanya satu lagi. Kalo kira-kira perlakuan dia ke gue sama ke si sahabatnya itu sama, apa itu masih bisa gue anggep dia ada feelings ke gue? Apa dia cuma anggep gue temen aja sama kayak ke sahabatnya itu?” tanya gue.

“Itu jawabannya ada di dia, dek. Cuma dia yang bisa memilah perasaannya sendiri. Lo cuma bisa usaha lalu pasrah sama keputusan dia. Makanya kasih dia waktu, pasti nggak mudah juga buat dia untuk bisa bedain mana friendship mana love. Been there done that” kata Mbak Ugi memberi saran gue dari pengalaman pribadinya, karena dia ini emang pacaran sama sahabatnya dari SMA, bahkan mereka sekarang lagi siap-siap untuk menikah.

“Okay then, thank you mbak sarannya. Lumayan lega sekarang ehehe” kata gue berterima kasih ke Mbak Ugi.

“Biaya konsultasi 100 ribu” ujar Mbak Ugi sambil mengarahkan tangannya ke gue.

“Hhh najis sama adek sendiri perhitungan banget lo”

• Relationship is A Complex Thing •

This is going to be a great day.

Karena akhirnya gue bisa seharian di rumah. Bisa quality time sama diri sendiri. Walaupun sambil sakit sih... Tapi gapapa deh, gue emang perlu istirahat anyway.

Setelah Mingyu pulang tadi pagi, gue minum obat dan bener-bener langsung tidur pulas kayak orang dibius, sampai akhirnya kebangun di jam 1 siang ini karena kelaparan.

“Makan apa ya hmm...” gue bergumam sambil liatin isi kulkas.

Padahal isi kulkas gue saat ini cuma ada minuman sama sisa-sisa snack yang udah kebuka.

“Yaelah lupa gue ini akhir bulan, mestinya belanja ya...”

Nggak jadi deh great day-nya.

Gue semales itu buat keluar belanja atau makan. Males juga pesen makanan online karena tetep harus ambil makanannya ke lobby. Bener-bener males buat menginjakkan kaki keluar dari sini.

Tapi laper banget... Gimana ya...?

Hmm.

Tiba-tiba ide gila terbersit di pikiran gue.

Kalo minta bantuan Uyon, boleh kan? Kan dia bilangnya boleh bilang dia kalo ada apa-apa.

Lagian gue nggak enak kalo minta tolongnya ke Mingyu. Dia baru pulang masa gue suruh balik lagi. Kasian dia, semaleman nggak tidur jagain gue.

Telepon Rania juga useless. Kemarin dia bilang weekend ini dia ke Puncak sama temen-temen kuliahnya.

Uyon pilihan terakhir.

Gue langsung buka kontak di HP gue dan mencari nama Uyon untuk ditelepon.

Okay, revised.

Today indeed will be a great day.

—-‐———————-

[Uyon's POV]

This is going to be a great day.

That was my thought after my morning chat with Caca.

Ternyata engga. This is a bad day.

Dari pagi gue udah harus nelen makian dari beberapa client. Iya, pekerjaan gue banyak yang delay karena semaleman mikirin Caca dan ujung-ujungnya malah ketiduran.

Belom lagi Mbak Ugi ngambek sama gue karena kemaren gue janjinya mau nganterin dia ke bandara jam 4 pagi. Tapi karena gue ketiduran dan susah banget dibangunin, dia akhirnya berangkat sendiri naik taksi, trus marah-marahin gue via chat. Fix, gue nggak bakal dibeliin oleh-oleh.

Gue jadi males sama hari ini. Udah bad mood duluan gara-gara makian orang-orang.

Saking malesnya gue sekarang cuma tiduran aja di kasur, gamau ngapa-ngapain.

Sampai ada telepon masuk ke HP gue.

Gue yang tadinya udah males aja mau terima telepon itu, langsung loncat dari kasur waktu lihat nama di layar HP gue.

'Incoming call from Cacacantik🥰'

“HALO CA????” gue angkat telepon itu, sedikit teriak campuran dari rasa senang karena ditelepon Caca, tapi khawatir juga takutnya dia telepon karena ada yang nggak beres.

C: Buset ngegas amat angkat teleponnya....

U: Eh sorry sorry abis gue kaget lo telepon hehe. Ada apa Ca? Lo baik-baik aja kan? Gue perlu ke situ nggak?

C: Santai Yooon, gue gapapa. Tapi... Emm....

U: Tapi apaan?

C: Tapi gapapa nggak kalo gue bilang lo perlu ke sini...? I need your help...

Senyum gue merekah. Tanpa sadar gue langsung cari baju di lemari dan siap-siap pergi, padahal Caca belum selesai telepon.

U: Ya gapapa lah cantiiiiik, kan gue bilang tadi pagi di chat kalo perlu apa-apa bilang aja. Gue siap-siap ke sana ya. Ada yang perlu dibawain nggak?

C: Ada.... Emm.....

U: Apa apa?

C: Ih gue malu sebenernya bilangnya...

U: Yaelah ngapain malu sih sama gue hahaha udah bilang aja apa?

C: Gue.... Kelaperan Yon.... Nggak punya makanan... Tapi gue males keluar rumah... Boleh bawain makanan nggak.... TUH KAN MALU-MALUIN BANGET ANJIR HUHUHU

U: HAHAHHAHA OMG CA LO GEMES BANGET SUMPAH!! Yaudah tunggu gue ke sana bawa makanan, lo mau makan apa?

C: Apa aja deh terserah... Yang nggak ngerepotin aja...

U: Oke siap driver gofood akan segera menuju ke tempat kamu, tunggu yaa.

C: Ah lo bilang gitu kan gue jadi nggak enak...

U: Bercanda cantik haha. Udah tutup dulu ya, mau ngebut nih.

C: Jangan ngebut-ngebut.. Hati-hati ya Yon.. See you.

I cancel my words.

Today will be the best day of my life.

—-‐———————-

[Caca's POV]

Sumpah gue pengen ngetawain diri gue sendiri. Bisa-bisanya gue telepon Uyon minta dateng bawain makanan. Kocak banget. Kayak gue nggak bisa usaha cari makan sendiri aja. Untung Uyon-nya baik, malah nggak ada sedetik dia bilang mau bantuin gue.

Kenapa lo baik banget sih, Yon?

Apa emang cowok-cowok lain baik juga ya? Gue aja yang sensi karena punya trauma?

Ah yaudah lah ya gausah dipikirin. Nggak penting juga.

Belum setengah jam sejak gue telepon Uyon tadi, tiba-tiba orangnya chat udah sampai di lobby dan minta dibukain pintu. Gila, ini orang beneran ngebut ya?!

“Haaaaaiiiii cantiiiiik!” kata Uyon sambil kesusahan buka pintu karena dia bawa kresek banyak banget. Literally, banyak banget.

“Ya ampun, lo bawa apa aja sih ini banyak banget?!” gue ngomel sambil bantuin ambil kresek dia yang banyak itu. “Trus lo beneran ngebut ya?! Kok udah nyampe sih?! Kan tadi gue bilang gausah ngebut-”

“Ssstttt” Uyon meletakkan telunjuknya di mulut gue. “Lagi sakit nggak boleh banyak bacot. Hehehe”

“Dih” gue mendengus sebal, tapi senyum-senyum juga, glad that he's now here with me.

Setelah semua kresek yang banyak itu ditaruh di meja dapur, Uyon langsung menempelkan tangannya ke dahi gue. Gue refleks mundur karena kaget.

“Ca, sini dulu gue mau cek lo masih panas apa engga” katanya tetap menempelkan tangannya di dahi gue.

“Masih panas, Ca, coba ukur pakai termometer deh. Kepala lo pusing nggak?” tanya Uyon sibuk menyiapkan termometer, lalu meminta gue untuk menyelipkannya di ketiak gue.

Gue nurut aja. Diem kayak patung berdiri di depan dia nunggu hasil dari termometer.

Uyon tiba-tiba ngakak ngeliat gue. Ngakaknya lebay banget sampai mukul-mukul paha.

“Hahahahhaa haduh Ca kenapa sih lo lucu banget hahahha sampe nangis nih gue” katanya sambil menyeka air yang keluar dari matanya.

“Lucu apanya sih emang gue ngelawak” jawab gue datar.

“Ya abis diem kayak patung gitu, padahal kan gerak juga gapapa kalo lagi pake termometer hahahahah sumpah Ca gue boleh cubit pipi lo nggak sih sekali aja, gemes banget demi deh” tangan Uyon udah mau nyosor aja buat cubit pipi gue.

Belom sampe pipi, gue tangkap tangannya, dan kebetulan si termometer bunyi, tanda sudah selesai mengukur suhu tubuh gue.

“Gausah yang aneh-aneh deh. Nih udahan termometer-nya, coba lihat” gue melepas termometer dan menaruh barang itu di tangan Uyon.

“38.5 derajat, hmm, abis makan minum obat ya. Gue bawa obat dari nyokap, katanya lebih bagus daripada minum panadol. Trus gue bawa imboost juga nih, biar nggak jadi kemana-mana sakitnya imun lo harus ditambah. Sama ini gue beliin You-C 1000, gue taro kulkas, rajin-rajin diminum ya” kata Uyon sibuk menjelaskan barang-barang yang dia bawa.

“Perasaan gue cuma nitip makanan deh...” gue terheran-heran lihat dia beresin barang-barang yang dia bawa.

“Sekalian Ca” jawabnya singkat. “Eh sama ini ya, buat temen lo nonton drakor hehe” kata dia cengengesan nunjukin satu kresek besar isi bermacam-macam cemilan ke gue.

Gue nggak ngerti harus bereaksi kayak apa lagi.

“Sumpah Yon gue nggak enak ah. Ini berapa semua lo beli, gue ganti uangnya. Berapa nomor rekening lo?” kata gue sambil buka mobile banking di HP.

“Gausah, gamau diganti pake uang”

“Trus pake apa dong?! Pokoknya gue harus ganti ini semua gamau tau”

“Gantinya hari ini gue boleh nemenin lo seharian aja, deal?”

“Ya itu namanya bukan ganti dong malah nambahin lo repot...”

“Ya engga lah, kan gue yang mau. Deal ya?”

Seperti biasa, gue diem buat mikir.

“Ca katanya laper, udah siap nih makanannya, kesian mereka udah nggak sabar mau masuk perut lo” kata Uyon udah kayak bujuk anak kecil buat cepetan makan.

“Oke, deal”

“Siiiip, selamat makan cantik, makan yang banyak ya, nggak ada kata-kata takut gendut pokoknya haha” canda Uyon sambil memberi alat makan ke gue.

“Iyeeee haha. Thank you Yon, you're really my saviour today” jawab gue sambil tersenyum.

—-‐———————-

[Uyon's POV]

Siapa sangka gue hari ini bisa ada di ruangan ini lagi?

Siapa sangka gue bisa seharian lagi sama cewek cantik yang gue kenal seminggu lalu ini?

Siapa sangka seorang Uyon, yang nggak pernah awet sama cewek even just for a day, bisa nggak bisa lepas mikirin cewek ini for a week straight?

Nggak ada yang nyangka. Bahkan gue sendiri pun.

Banyak temen gue yang ngira gue itu playboy karena gonta-ganti cewek terus. Hari ini sama yang rambut pendek, minggu depan sama yang pakai kacamata, minggu depannya lagi sama yang tomboy.

Padahal mereka semua nggak ada yang pernah bener-bener jadi cewek gue. Mereka semua cuma numpang mampir aja di pikiran gue, nggak pernah sampai masuk ke hati.

The truth is, I'm hopeless when it comes to love.

I never really date someone. Like if you ask me how many girls I slept with, I maybe can answer you with a number. But if you ask me how many ex-girlfriends do I have, I would answer zero.

Pasti nggak ada yang percaya.

I just cannot date someone.

In my principle, there is no such thing as dating for fun. If you want to date someone, you have to be serious. If you only want fun, don't date, don't give your heart. It will only make your partner feel terrible.

Ironically, seriously dating will lead you to marriage, but marriage can lead you to divorcement. Just like my parents did. This time you will not only make your partner feel terrible, but also the whole big family.

I guess that's why I can't date. Or actually, I won't date if I don't find a partner who I seriously want to be with.

Sampai sekarang gue belum menemukan partner itu.

Sampai ketemu Caca.

Yes, I know, seminggu itu waktu yang terlalu singkat untuk mengenal seseorang. Tapi pernah nggak sih kalian merasa pengen lebih percaya sama feelings daripada percaya sama logika?

I have a really good feelings for this girl.

Dari mana feelings ini muncul gue juga belum tau, tapi gue mau percaya sama feelings ini.

Gue mau ngebiarin feelings ini terus berkembang sampai gue yakin she is the one.

“Yon gue yakin ini si ceweknya sebenernya suka tapi masih gengsi” kata Caca tiba-tiba memecah pikiran gue yang udah makin kemana-mana. Padahal gue lagi nonton drakor sama Caca dan itu tadi gue yang minta nonton.

“Hah? Gimana gimana?” gue kelabakan mau jawab, karena gue dari tadi nggak merhatiin ceritanya udah sampai mana.

“Ah tuh kan lo nggak beneran nonton. Udah ah gue males lanjutin” Caca ngambek dan akhirnya matiin drakor-nya.

“Ih kenapa dimatiin... Gue nonton kok udah lanjutin lagi gapapa...” bujuk gue.

“Gamau, nanti aja. Lagian gue udah mulai ngantuk nih, kita ngobrol-ngobrol aja sambil nungguin gue tidur” kata Caca sambil ubah posisi jadi tiduran di sofa, sementara gue duduk di bawah.

“Engga, gue nggak ngambek” kata dia lagi seakan-akan udah tau gue mau nanya apa.

“Yaudah, mau ngobrol-ngobrol soal apa?” tanya gue.

“Gatau”

“Lah tadi ngajak ngobrol?!”

“Ya abis mau ngapain lagi?! Abis lo-nya ga fokus nonton”

“Iya sih...”

“Nih gue ada pertanyaan” Caca membuka topik. “Kenapa lo hari ini minta nemenin gue seharian? Emang lo nggak ada acara? Kan malam minggu”

Gue ketawa. Pertanyaannya polos banget.

“Haha ya karena gue mau aja lah. Gue emang lagi nggak ada acara, trus sepi aja di rumah nggak ada orang lagi pada pergi semua. Mending di sini sambil jagain lo, kali-kali lo butuh apa-apa, kan lagi sakit”

“Kenapa lo milih jagain orang sakit daripada main sama temen-temen lo? Kan bisa aja lo main gausah jagain gue”

“Soalnya yang sakit lo, cantik”

“Hhhh stop it, gue nggak cantik, kenapa sih manggil gue cantik terus”

“Ya lo cantik lah, kan Cantika hehe”

“Iya sih nggak salah” Caca nggak bisa jawab.

“Nah yaudah, berarti nggak salah dong gue panggil cantik haha” gue merasa menang.

“Terserah”

“Btw Ca” lanjut gue. “Semalem kan lo bilang ada temen yang jagain lo tapi bukan Rania, siapa Ca?”

“Ih kepo banget sih”

“Trus kenapa lo tadi minta tolongnya ke gue bukan ke temen lo itu?” gue lanjut nanya, pura-pura nggak dengar omelan Caca.

“Soalnya kasian kalo dia gue panggil lagi, dia nggak tidur jagain gue” jelas Caca.

“Temen deket lo banget ya pasti? Baik banget nemenin semaleman nggak tidur. Trus dateng malem-malem gitu kalo cewek kan bahaya padahal pas di jalan”

“Siapa bilang cewek? Orang cowok”

Deg.

What.

Cowok?

Jadi Caca nggak se-innocent itu?

“Cowok ini temen gue dari kecil, jangan mikir macem-macem” lagi-lagi Caca seperti tau isi pikiran gue.

“Oooh gitu, gila gue udah kaget aja hahaha”

Fyuh, aman, Caca masih suci.

Iya kan...?

“Uyon, gue boleh curhat soal cowok ini nggak? Gue pengen tau pendapat cowok soal masalah ini. Gue nggak punya temen cowok lagi selain dia jadi nggak ada yang bisa gue curhatin” tanya Caca yang sekarang posisi tidurannya berubah jadi nyamping. Mukanya juga berubah jadi serius banget. Kayaknya ini bukan masalah sepele.

“Boleh dong. Gue siap dengerin” kata gue sambil membenarkan posisi duduk gue supaya lebih nyaman dengerin curhatan Caca.

“Jadi gue udah temenan sama cowok ini dari umur 9 tahun, berarti sekarang udah 15 tahun ya? Udah lama banget deh pokoknya. Kita selalu bareng, to the point that gue nggak anggep dia cowok, dia juga nggak anggep gue cewek.

Tapi ternyata gue salah, Yon. Ternyata dia selalu anggep gue sebagai cewek selama ini. Dan bukan cuma itu, he actually loves me, like not loving me as a female friend, but as his lover. Last month he asked me to be his girlfriend...” Caca berhenti sebentar.

“Trus trus? Jawaban lo apa?” tanya gue.

“Gue... Nggak jawab... Gue harus jawab apa, Yon? Bukannya mau terima atau engga gue akan tetep kehilangan dia ya? Kalo gue terima, walaupun gue dapet pacar, tapi gue kehilangan temen cowok paling berarti buat gue. Kalo kita pacaran dan nanti putus, gue yakin pasti kita nggak bisa kembali seperti dulu lagi. Tapi kalo gue tolak, how can I face him after that? Pasti jadi jauh. Iya kan?”

“Hmm... Berat sih. Lo pasti juga kaget karena dia kayak gini setelah kalian 15 tahun bareng”

“I know right... Kalo lo di posisi gue gimana, Yon?”

Gue berpikir sebentar. Jujur, gue juga kesulitan untuk mengutarakan pendapat gue. As you know, zero experience.

“Kalo gue ya” gue memulai pendapat gue. “Kalo gue mungkin akan jaga jarak dulu sama dia. Tapi tergantung nih, lo sebenernya mau maju sama dia ke jenjang yang lebih serius itu apa engga?”

“Jujur, gamau. I'm comfortable with how the things are and I don't want any change. Makanya gue tetep berusaha kayak nggak ada apa-apa, tapi dia selalu berusaha hindarin gue”

“Nah mungkin itu, Ca. Mungkin dia lagi nggak nyaman dengan hubungan kalian sekarang ini, karena ada yang gantung. I'm pretty sure inside his heart he must be wanting to know your answer like crazy, but he can't force you to answer. Jadi daripada gila sendiri setiap ketemu lo, he chose to back off a bit. Buat kebaikan kalian berdua, bukannya mau ngejauh dari lo”

Caca ngangguk-ngangguk mendengar pendapat gue. Raut mukanya sedih sekaligus bingung. Pasti dia merasa serba salah. Gue jadi ikutan sedih lihatnya.

“Uyon” panggil Caca.

“Ya?”

“Wanna help me to move on?”

“Maksudnya?” tanya gue kebingungan.

“Maksud gue, mau nggak bantuin gue lupain masalah ini dengan jadi temen gue? Temen spesial tapi, kayak gebetan gitu? I know we've only known each other for a week, tapi gue rasa lo bisa bantu gue untuk nggak mikirin masalah ini dan nggak terus-terusan maksa diri gue tetep biasa aja ke temen gue ini. Mungkin dengan cara ini juga gue bisa jaga persahabatan gue sama dia, supaya perasaan dia nggak semakin dalam ke gue”

Kali ini gue yang melakukan kebiasaan Caca: diem mikir yang rasanya gue udah mikir panjang banget padahal paling baru semenit.

“Hmm... Terlalu cepet ya, Yon? Kalo lo nggak nyaman gapapa gausah lupain aja hehe” kata Caca canggung.

“Bukan, bukan gitu, Ca. Justru gue mikirin lo-nya gapapa kayak gini?” gue bertanya balik.

'Soalnya gue bisa beneran serius jadiin lo gebetan gue, Ca. Are you okay with that?'

“Gapapa, itung-itung gue nambah temen cowok juga kan. Temen gue cewek semua abisnya bosen hahaha” jawabnya.

“Tapi kalo ini lo beneran mau, sumpah lo baik banget sih Yon sama gue. Kenapa sih lo baik banget sama gue?” lanjut Caca.

Ya Tuhan. Tetep masih polos banget ternyata. Gue udah ngira dia nggak polos-polos amat dengan permintaannya tadi, taunya beneran masih sepolos itu.

“Deal, nanti lo bisa tau sendiri kenapa gue baik sama lo” jawab gue setuju dengan permintaan dia.

“Thank you, Yon” kata Caca sambil bernapas lega, seperti sudah menemukan jawaban dari segala permasalahannya.

“Tapi kalo jadi gebetan harus ngapain aja ya, Yon?” tanya Caca polos.

Gue rasanya mau meledak dengernya. Nggak tahan lagi gue cubit pipi Caca sambil ngeringis sendiri saking gemesnya.

“Aduh sakit!!!!” protes Caca sambil memukul lemah tangan gue.

“Kalo gebetan boleh cubit-cubit gemes kayak gitu” kata gue.

“Hhhh fine. Trus apa lagi?” Caca masih nanya.

“Kalo gebetan boleh elus-elus kepala gebetannya sampe dia bobo” dengan hati-hati gue coba elus-elus kepala Caca. Gue tetep waspada buat tarik tangan gue in case dia nggak suka.

Surprisingly enough, she let me do it.

Caca diem aja gue elus-elus kepala dia. Bahkan dia menutup matanya, menandakan kalau dia merasa nyaman.

Atau karena emang dia ngantuk. Karena belum lima menit gue elus-elus dia udah tidur.

'Thank you for your offer, Ca. I'm beyond glad you trust me to help you with your problem. I will try my best not to let you down'

'Tapi Ca, gapapa kan kalo gue pake perasaan? Gapapa kan kalo gue serius beneran jadi gebetan lo?'

'I'm sorry, but I really need to make sure that you are the one I'm looking for. I have to make sure my feelings are right'

'Sleep tight, gebetan'

• No More, No Less •

“Aduh terang banget... Ini dimana sih...?” ujar gue lemah sesaat setelah gue membuka mata.

Gue nggak ingat semalam ada kejadian apa.

“Oh ini di kamar ya ternyata” ujar gue lagi setelah mencoba lihat kanan dan kiri. Gue mencoba untuk duduk, tapi malah rasanya kepala gue muter, nggak sanggup. Refleks gue pegang dahi gue.

'Shit, panas banget, pantesan pusing...'

Tidak lama ada yang buka pintu kamar gue. Sambil melongok, dia bilang:

“Eh, Ca, udah bangun? Gue masuk ya”

Mingyu.

Pikiran gue langsung tau kalau semalam pasti gue mimpi buruk lagi. Tapi kemarin-kemarin gue bisa nggak hubungin dia pas lagi kayak gini, kok yang ini kecolongan ya...

Alasan kenapa gue nggak nyari Mingyu lagi? Apa lagi kalau bukan karena kejadian sebulan yang lalu. When he asked me to be his girlfriend. And until now, I don't want to answer his question.

Mungkin selama ini gue keliatannya baik-baik aja sama Mingyu, ya karena emang gue berusaha untuk baik-baik aja. Gue berusaha untuk stay cool di depan dia, seolah-olah nggak ada hal besar yang terjadi di hubungan kita. Gue masih telepon dia, gue masih chat dia, gue masih minta ketemu dan main sama dia.

Believe it or not, that is not easy at all. That is the hardest thing I ever did for him. It even gets harder when all of his responds have the same purpose: to keep himself away from me. You think you can hide it from me, Gyu? Then you're doubting our 15 years of friendship.

15 years, freaking 15 years.

Bayangin lo punya temen kemana-mana bareng, makan bareng, sekolah bareng, main bareng, nginep bareng bahkan bobo satu ranjang peluk-pelukan karena kedinginan. Bayangin lo punya temen cowok yang mau aja dititipin beli pembalut, dan bayangin juga lo jadi temen cewek yang mau aja dititipin ambil boxer dari lemari dia. Bayangin punya temen sesantai itu.

Then suddenly he doesn't want to be your friend anymore.

I can't let that happen.

That's why I keep acting like I'm still his friend. Just friend. No more, no less. In sake of protecting our friendship.

Also that's why I don't answer him until now. Because with answering his question, no matter what the answer is, will still be the end of our friendship.

Tapi untuk masalah yang satu ini, gue nggak bisa stay cool. Cuma di masalah ini gue bener-bener menghindari dia.

Karena apa yang dia lakukan ke gue seperti sekarang ini, datang ke apartemen gue subuh-subuh, masuk tanpa gue harus bukain pintu karena dia punya kunci sendiri, nemenin dan ngerawat gue, hal-hal seperti ini bisa buat dia semakin jatuh ke dalam perasaannya sendiri.

Oleh karena itu, sejak sebulan yang lalu gue mencoba memaksa diri gue untuk nggak menghubungi Mingyu ketika gue mimpi buruk. Antara gue berusaha untuk tenang sendiri atau gue telepon Rania. Ternyata hari ini gue kecolongan.

Mungkin alam bawah sadar gue yang kangen dia.

—-‐———————-

“Coba liat masih panas nggak” kata Mingyu seraya menempatkan tangan besarnya di dahi gue.

“Hmm masih panas Ca. Minum obat ya? Sini gue bantuin duduk dulu” gue bangun dan duduk dibantu Mingyu. Mata gue merem kenceng banget saking pusingnya.

“Sebentar ya, gue ambil panadol sama air dulu”

Mingyu pergi. Gue masih diam.

Diam karena bingung mau bersikap seperti apa. Gue belum siap dengan keadaan ini.

“Nih, Ca, minum dulu obatnya” Mingyu memberi panadol dan air untuk gue minum. Gue minum obat itu, masih dalam diam.

“Pinteeeer” kata Mingyu sambil mengusap-usap lembut kepala gue.

Hal yang seharusnya biasa buat kita sampai sebulan yang lalu.

Not now.

“Ehm..” gue mendeham sambil menyingkirkan tangannya dari kepala gue.

“So... Semalem gue mimpi buruk lagi?” tanya gue.

“Iya” jawab Mingyu singkat.

“Trus gue telepon lo?”

“Yes”

“Trus lo masuk pake kunci lo?”

“Exactly, lo nggak inget apa-apa ya Ca?”

Gue geleng-geleng.

“Soalnya pas gue masuk lo tuh pingsan di depan sofa. Trus badan lo panas banget, lebih panas dari sekarang. Jadi lo gue gendong deh ke kamar trus gue kompres” kata Mingyu menjelaskan keadaan gue semalam.

Gue diam sambil mencoba-coba mengingat. Dahi gue sampai mengernyit saking kerasnya gue berpikir.

Mingyu menangkup pipi gue lalu menarik muka gue lebih dekat dengan mukanya.

“Udah gausah dipikirin, ntar makin pusing loh”

Buru-buru gue lepas tangannya dari muka gue.

“Apaan sih, siapa yang mikirin”

“Bohong, orang jidatnya langsung kayak nenek-nenek gitu hahaha” canda Mingyu. Gue menatap dia sebal.

“Bodo amat ah. Anyway, makasih ya udah bantuin gue lagi”

“Emang ada apa kemaren sampe bisa kambuh lagi, Ca? Perasaan udah lama nggak kambuh deh. Pasti ada sesuatu ya kemaren?” Mingyu tiba-tiba membombardir gue dengan pertanyaan-pertanyaannya, tidak menggubris ucapan terima kasih gue.

'Udah lama nggak kambuh? Lo aja yang gatau, Gyu...'

“Nggak ada apa-apa kok. Paling karena kemaren hujan trus banyak petir” jawab gue.

“Hah, kemaren kan di sini kering kerontang, nggak hujan sama sekali”

Mampus. Gue lupa rumah Mingyu nggak jauh dari apartemen gue, dan pas kemaren gue pulang diantar Uyon itu emang nggak hujan sama sekali.

“Oh di kantor ya hujannya? Lo lembur berarti kemaren?” tebak Mingyu.

“Emm iya di kantor hujannya, gue emang pulang malem kemaren, banyak kerjaan soalnya” gue coba membuat alasan.

“Hoo gitu. Lain kali kalo udah malem gitu telepon gue aja deh, biar gue jemput. Daripada bahaya pulang sendiri. Kalo lo di jalan kecapekan trus ketiduran di bus, trus mimpi buruk lagi, siapa coba yang mau nenangin? Yang ada pada takut penumpang yang lain. Trus kalo lo kenapa-napa ntar ayah sama ibu khawatir lagi, kan kasian mereka jauh nggak bisa langsung nyamperin lo. Makanya gue yang dititipin lo sama mereka yang harus jagain terus, kasian dikit lah-”

Mingyu mulai keluar bawelnya. Bisa panjang deh kalo gini urusannya.

“Hhhh iya iya udah ah! Jangan bawel! Gue ngerti kok bukan anak kecil lagi” kata gue memotong omelan Mingyu.

“Janji ya bilang gue kalo pulang malem” ujar Mingyu sambil menyodorkan kelingkingnya.

Gue kaitkan kelingking gue ke kelingkingnya. Terserah deh, biar cepet.

“Iya janji”

“Good girl. Mau sarapan apa? Bubur? Gue beliin di bawah kalo mau”

“Boleh. Biasa ya”

“Nggak pake kacang, sate usus dua, sate telur dua. Iya kan?”

“Ada satu lagi”

“Apaan?”

“Nggak pake lama. Gue laper hehe”

“Iyeee tuan putri, hamba lari sekarang juga biar tuan putri nggak kelaperan yaaa. Tuan putri tiduran aja biar nggak pusing” ledek Mingyu sambil beranjak pergi.

Tuh, enak kan kalo masih bisa bercanda kayak gini?

That is why you shouldn't fall in love with your best friend.

Seandainya Mingyu nggak pernah nembak gue, mungkin gue bisa lebih leluasa bercanda sama dia.

Seandainya Mingyu nggak pernah nembak gue, mungkin gue nggak perlu cari alasan gue semalam ngapain buat ngejaga perasaannya.

Eh, ngomong-ngomong soal semalam, gue nggak sempat bilang makasih sama Uyon udah dianterin pulang...

Dia udah bangun belom ya?

• 2 in the Morning •

[Uyon's POV]

Jam 2 pagi.

Gue nggak bisa berhenti mikirin Caca.

Dia nggak kenapa-napa kan?

Tadi sampai di apartemen gue nawarin buat temenin sampe ke depan unit dia, tapi dia nolak. Dia bilang dia gapapa, padahal keliatan waktu jalan dia lemes banget. Gue cuma takut dia nggak kuat trus pingsan.

Gue tau sih pasti banyak orang yang takut sama petir, tapi yang takut sampe segininya gue baru ketemu sekali ini.

Pasti ada cerita dibalik ketakutan dia. Cerita yang tentunya gue belum tau.

Gue nggak bisa berhenti mikirin Caca.

Biasanya jam segini di layar laptop depan gue bakal ada banyak proyek-proyek yang gue harus selesaikan.

Kali ini yang kebuka malah chat room WA dengan Caca.

Kayaknya gue nggak akan bisa tidur nyenyak kalau belum tau keadaan dia sekarang.

Gue mulai mengetik di chat room itu.

U: Caca, you're okay, right..? . . U: Please tell me you're okay...

—-‐———————-

[Caca's POV]

“Jangan.... Please.... Lepasin aku....”

“Please please aku gamau... Lepasin...”

“Please lepasin..... Jangan kayak gini... LEPASIN!!!!!”

Jam 2 pagi.

Gue teriak dan langsung duduk terbangun dari tidur gue. Tanpa sadar air mata gue jatuh. Nafas gue sesak, kepala pusing, badan nggak enak.

Buat ambil minum ke dapur aja rasanya nggak kuat.

Masih sambil nangis, gue buka HP untuk menelpon seseorang.

Seseorang yang gue yakin masih bangun di jam ini.

My one-call-away friend.

Kim Mingyu.

“Halo, Ca” ujar Mingyu di telepon.

“Mingyu...” kata gue makin nangis mendengar suara Mingyu.

“Mimpi lagi ya, Ca? Tunggu ya, gue siap-siap kesana. Gausah bukain pintu, gue bawa kartu akses sama kunci” Mingyu di ujung telepon terdengar sibuk siap-siap menuju ke apartemen gue.

Gue nggak sanggup jawab karena masih nangis. Gue tutup telepon itu dan coba nenangin diri sendiri sambil menunggu Mingyu datang.

—-‐———————-

[Mingyu's POV]

Jam 2 pagi.

Gue sedang menyetir Toyota Corolla Altis gue menuju ke apartemen Caca.

Kapan ya terakhir gue ke apartemen Caca? Mungkin sebulan yang lalu?

Sebelum itu sih gue sering banget bolak-balik apartemen Caca. Sesering itu sampe gue pegang kartu akses dan kunci unitnya. Soalnya sering ada panggilan kayak sekarang ini, ketika Caca mimpi buruk lagi dan butuh orang buat nenangin dia.

Dulu biasanya Rania yang suka datang buat nenangin Caca, tapi tahun lalu waktu Rania pindah kosan dia jadi jauh sama Caca. Akhirnya tugas ini pindah ke gue yang lebih deket jarak rumahnya sama apartemen Caca.

Sejak tahun lalu juga jam biologis gue jadi berubah. Setiap hari sekitar jam 1-2 pagi pasti gue kebangun, standby kalo-kalo dapet panggilan. Kalo nggak ada panggilan baru deh gue bisa tidur lagi.

Sejak tahun lalu juga ada perasaan lain yang keluar dari diri gue setiap lihat Caca. Gue yakin perasaan ini sebenarnya sudah ada dari lama, hanya saja dia enggan untuk keluar. Takut bisa merusak persahabatan yang sudah kira-kira 15 tahun ini.

Dugaan gue salah. Perasaan ini nggak ada takut-takutnya sama sekali. Dia cepat dan liar, seakan-akan baru bebas dari sekapan. He's ready to take over my common sense, too ready.

Sebulan yang lalu gue yang bodoh ini melakukan sesuatu yang haram hukumnya bagi cewek cowok yang sahabatan:

Gue nembak Caca.

I literally asked her to be my girlfriend.

Respon Caca? Nihil.

Sampai saat ini gue nggak tau jawaban dia, nggak tau perasaan dia seperti apa.

She just act normal like nothing ever happened.

But Mingyu the coward act like a loser. He pushed himself away from Caca.

Setelah itu gue bener-bener nggak kontak Caca. Sekali pun dia yang kontak duluan, gue selalu cari alasan untuk menghindar. Ritual jam 2 pagi ini pun selalu gue hindari, berharap Caca nggak mimpi buruk lagi atau Rania bisa datang untuk Caca ketika dia butuh.

Gue gamau ketemu Caca. Gue gamau lihat muka dia. Bukan, bukan salah dia. Guenya yang takut sama diri gue sendiri.

Gue takut perasaan ini makin liar.

Tapi takdir emang suka bercanda. Minggu lalu, gue nggak sengaja ketemu Caca. Pertama kalinya sejak gue nembak dia. Hari itu ternyata dia lagi main sama Hyeri dan Minah, dan kebetulan gue lagi ada di tempat yang sama.

“Woy! Mingyu!” Hyeri teriak manggil gue.

'Ah... Mampus... Nggak bisa kabur deh'

“Coooy udah lama banget nggak ketemu! Apa kabar nih?” Minah seru sendiri nepok-nepok badan gue.

“Haha iya udah lama ya? Kabar baik kok gue” gue jawab seadanya.

Perhatian gue nggak bisa lepas ke satu cewek lagi di belakang mereka.

“Caaaa! Sini Ca ada Mingyu niiih! Eh kalo lo mah udah bosen yak ketemu mulu hahaha” kata Hyeri.

FYI, Hyeri dan Minah gatau kejadian sebulan yang lalu.

“Haha engga kok, gue kangen malah udah sebulan nggak ketemu. Sibuk banget neh orangnya, ya nggak, Gyu?” ujar Caca santai sambil melingkarkan tangannya ke lengan gue.

Iya dia santai, gue yang deg-degan setengah mati. Duh, kenapa sih Ca harus kayak gini?

“Iyaa sorry deh, tapi kemaren gue emang sibuk banget” gue bohong lagi.

“Sekarang udah nggak sibuk kan? Bilang masih sibuk nggak temen lagi” ancam Caca.

“Yah kok ngancem sih... Iya deh nggak sibuk kok sekarang, masih temenan kan? Haha”

“Okedeh, siap-siap gue gangguin tiap hari ya, Gyu! Hahahah”

Beneran digangguin. Di jam 2 pagi seperti biasa.

Gangguinnya yang lain kek, Ca... Gausah yang bikin khawatir kayak gini...

Sekarang gue sudah sampai di apartemen Caca. Gue parkir mobil seadanya dan bergegas naik lift. Sampai di unit, gue buka pintu dengan kunci yang gue pegang.

“Caca, ini gue Mingyu”

Tidak ada jawaban.

“Ca lo di kamar ya? Gue masuk ya” gue lepas sepatu dan menuju ke kamar Caca.

Belum sampai kamar, ternyata gue menemukan Caca tergeletak di depan sofa. Sekujur badan gue langsung lemas.

“Astaga, Ca?!”

• Thunders •

Udah gila kali ya gue?

Lagi-lagi gue melakukan sesuatu yang gue hindarin banget. Gara-gara Uyon.

Gue nggak pernah mau naik mobil berdua cowok malam-malam. Terutama pas hujan petir kayak sekarang. Pulang main udah malem orang lain biasanya lebih milih naik Grab atau taksi, kalo gue lebih milih naik kendaraan yang lain. Kereta kek, MRT kek, ojol kek, apa pun yang penting nggak di mobil berdua sama cowok. Ada ketakutan dan trauma tersendiri yang jadi penyebab gue seperti ini.

Oh, except when I'm with Mingyu, my childhood friend. Because we've been together for so long, I don't even see him as a man.

At least until last month...

Nanti gue cerita lagi deh.

Sudah 15 menit gue duduk di kursi depan mobil Uyon setelah kita nggak sengaja ketemu di depan halte bus tadi. Jalanan di depan masih macet akibat hujan deras. Mulut gue pun masih macet, diem aja seakan-akan nggak bisa kebuka.

“Ca, kok diem aja sih...?” tanya Uyon yang dari tadi udah ngeliatin gue terus.

Gue masih diem.

“Kedinginan ya? Nih nih gue kecilin AC-nya. Oh gue punya jaket deng di belakang, bentar ya gue ambil” Uyon sibuk kecilin AC mobil, lalu lepas seatbelt dia buat ambil jaket di belakang.

Oh, mungkin dia pikir gue kedinginan karena tangan gue agak gemetar. Padahal tangan gue gemetar bukan karena dingin.

Karena lo ada di sebelah gue, Yon.

Karena lo cowok, kita berdua di mobil, dan lagi hujan petir.

Tapi gue bingung, ini gemetar takut atau gemetar yang lain.

Soalnya cowok itu lo, Yon. Bukan cowok lain.

“Kalo masih dingin bilang ya” kata Uyon sambil nyelimutin gue pakai jaketnya.

“Thank you, Yon” gue akhirnya buka mulut.

“Ya Tuhan makasih ternyata mbak cantik masih bisa ngomong heheheh”

“Apaan sih”

—-‐———————-

[Uyon's POV]

“Ca, ulang tahun lo kapan?”

“Haha basi banget sumpah pertanyaannya” gue diketawain sama Caca.

“Ya abis bingung, lo-nya juga diem mulu”

“Haha iyaa maaf deh. Nih gue ngomong. Ulang tahun gue 4 Juni, ditunggu kadonya yah” jawab Caca. Finally muka dia keliatan lebih ceria, nggak tegang kayak sebelumnya.

“Nama panjang lo siapa?”

“Cantika Andini”

“Umur lo berapa?”

“24”

“Punya adek kakak nggak?”

“Anak tunggal. Ini sensus apa gimana sih?” Caca ngeliat gue heran.

“Haha biar gue lebih kenal lo gitu. Kemaren-kemaren kan nggak banyak kesempatan ngobrolnya”

“Yaudah sekarang gantian lo yang jawab. Pertanyaannya sama ya”

'Cie cie, penasaran juga ya, Ca?'

“Cho Seungyoun, 24, ulang tahun 5 Agustus, punya kakak cewek beda 2 tahun namanya Seulgi tapi gue manggilnya Mbak Ugi”

“Ooh yang lo bilang lo suka ikut dia nonton drakor?”

“Yeesssss, kapan-kapan nonton drakor bareng dia juga ya, Ca! Gue yakin banget kalian pasti nyambung omongannya”

Caca cuma ngangguk-ngangguk doang nge-iya-in omongan gue. Sip, siap-siap Mbak Ugi, adek lo bentar lagi bakal bawa calon ipar ke depan lo.

“Lo di rumah berarti sama Mbak Ugi trus bokap nyokap?” tanya Caca masih melanjutkan topik sensus penduduk ini.

“Cuma Mbak Ugi sama nyokap aja. Bokap nyokap gue udah cerai”

Caca kaget dan nengok ke gue. Matanya menatap lekat-lekat mata gue, sedikit berkaca-kaca, terlihat kasian sama gue.

“Oh my God... I'm so sorry, Yon... I didn't know...” kata Caca sambil megang tangan gue.

Aduh, Ca.. Gue bukannya sedih malah pengen cium lo tau nggak..

Hush, Yon. Inget. Caca harus tetap suci.

“Gapapa Caaa, udah kejadian 5 tahun lalu kok, gue udah move on. Lagian gue malah lega mereka cerai, jadi nyokap gue nggak sakit lagi” kata gue dengan santai.

“Ngomongin keluarga, kalo bokap nyokap lo sendiri tinggal dimana, Ca? Lo di apartemen sendiri kan?” lanjut gue.

“Bokap nyokap gue di Singapore. Bokap punya usaha sama temen-temennya di Singapore, jadi nyokap nemenin tinggal di sana”

“Untung lo nggak ikut tinggal di sana”

“Kenapa emangnya?”

“Kalo lo di sana kita nggak mungkin ketemu lah heheh”

“Anjir ya bisa nggak sih lo kurang-kurangin-”

DHUAAARRRR!!!

“AAAAAAKKHH!!!” Caca teriak dan langsung menunduk seketika suara petir menggelegar kencang.

Gue kaget juga sih dengernya, tapi lebih kaget lagi lihat Caca yang langsung nunduk nggak balik-balik.

“Ca? Lo gapapa?” tanya gue. Sulit memilih antara fokus nyetir dan ngecek keadaan Caca, gue memutuskan buat minggir ke sisi jalan.

“Caca? You okay?” tanya gue lagi sambil menepuk pundak Caca. Badannya gemetar banget. Nggak lama pecah suara tangisan Caca. Bukan nangis biasa, dia bener-bener sesenggukan.

Gue panik dan bingung harus ngapain. Akhirnya gue cuma elus-elus punggung dia supaya dia tenang.

“Udah, Ca.. Udah ilang kok petirnya.. Udah ya jangan nangis..” kata gue nggak berhenti elus punggung Caca.

“Yon.....” Caca akhirnya bicara, suaranya sengau dan terdengar gemetar.

“Iya kenapa, Ca? Minum dulu nih...” tanya gue sambil memberi botol air mineral ke Caca.

Caca minum sedikit, lalu ngomong lagi.

“Pulang sekarang boleh kan, Yon? Sorry, gue mau pulang aja...”

“Okay yuk pulang sekarang” kata gue sambil siap-siap tancap gas.

“Tapi jangan ngebut-ngebut... Takut... Gue gapapa kok...” kata Caca udah khawatir duluan.

“Siap tuan putri, tenang aja. Itu airnya sambil diminum ya, nanti dehidrasi loh” jawab gue yang udah fokus nyetir.

'What's your story, Caca? Why are you so afraid of thunders?'

• Destiny? •

“So, how's your date with Uyon?” belum juga duduk, Rania udah nggak sabar denger cerita dari gue.

“Basi banget sih, Ran. Udah seminggu yang lalu kali” jawab gue sambil menyuap gado-gado, my favorite local food ever.

Jumat siang itu gue janjian makan siang bareng Rania di kantin gedung kantor kita. Padahal biasanya sih suka pergi makan ke mal kalo jumat, tapi kali ini kita lagi hemat. Maklum, tanggal tua. Apalagi gue sama Rania sama-sama tinggal sendiri. Harus pinter-pinter atur uang.

Oh iya, jumat ya. Berarti udah seminggu lalu gue kenal sama Uyon.

“Iiih tapi kan gue belom sempet denger ceritanyaa. Gara-gara beresin laporan akhir tahun nih, sesibuk itu shay. Makan siang bareng lo aja baru bisa sekarang kan” kata Rania curcol dikit. Btw, Rania ini kerjanya bagian accounting. Walaupun dari luar keliatan jelas kalo dia party girl, dalem otaknya encer banget.

“Lo kan bisa tanya gue di chat atau telepon kemaren-kemaren kalo udah selesai kerja”

“Tepar, Caca cantik, tepar gue tiap pulang. Kecuali TGIF kayak hari ini sih hehe. Lagian gue maunya denger langsung dari lo. Cepet cerita!”

“Hmm apa yang mau diceritain coba... Yaudah hari itu karena emang gue mau ke GI, kita makan siang di situ aja sekalian, makan Pizza Marzano. Selesai makan gue langsung ketemuan sama Hyeri dan Minah. Pisah deh di situ”

“Lo nggak ajak dia jalan bareng aja?”

“Nggak ah, nggak enak sama yang lain. Lagian itu gue baru kenal sama dia semalemnya ya, mau dikata apa gue sama Hyeri Minah?”

“Gapapa lagi Ca, new discovery buat mereka. Ternyata Caca yang super suci bisa jalan sama cowok yang baru dia kenal kurang dari 24 jam. Hahahahaha!” Rania puas ngetawain gue.

Gue cuma bisa manyun aja.

“Ini semua gara-gara lo ngasih alamat gue ke dia ya. Lagian kenapa nggak bareng lo aja sih balikinnya?!” gue ngomel.

“Ca, lo tau sendiri kemaren gue ada acara keluarga, makanya nggak ikut nongki bareng Hyeri sama Minah. Trus daripada lo mati gaya nggak ada HP kesayangan lo itu, mending gue suruh dia balikin cepetan aja”

“Iya sih... Oh, trus satu lagi, lo kasih tau gue ya gue suka pizza? Kok dia bisa langsung tau aja gue suka pizza?”

“Emang dia bilangnya gimana?”

“Waktu mau makan dia bahkan nggak nanya gue mau makan apa, langsung masuk aja ke Pizza Marzano. Gue kira dia yang lagi pengen pizza, taunya dia bilang 'dari tampang lo kayaknya ini makanan favorit lo', gitu. Lo ya yang ngasih tau?”

Rania ngakak sepuas-puasnya, sementara gue yang duduk di depannya ngeliatin, ngedip-ngedip mata karena kebingungan dia tiba-tiba ngakak.

“Jodoh, fix”

“Dih” gue buang muka.

“Soalnya gue nggak bilang apa-apa selain ngasih tau alamat lo, sumpah. Berarti dia nebak sendiri itu. Fix banget jodoh, congrats Ca!” kata Rania sambil nepok-nepok pundak gue.

“Auk ah. Eh iya Ran, kemaren ternyata ada Mingyu juga waktu nongki” gue buru-buru alihin topik.

“Serius? Nggak baper tuh?”

“Ngapain harus baper? Kan sama-sama temen”

“Ya tapi kita semua udah tau dulu ada apa... Eh nggak mungkin baper lah ya sekarang kan ada Uyon ihiiiy cie cie”

“Bacot lu”

—-‐———————-

Jam 6. Yes, finally gue bisa pulang.

Keluar dari lift, tap kartu akses, lihat ke luar dan voila.

Hujan deras, pakai petir lagi.

Ya Tuhan, ada aja cobaan pengen pulang cepet. Untung gue selalu bawa payung di tas.

Gue buka payung dan cepet-cepet jalan ke halte di depan gedung kantor. Tumben hari ini agak sepi, mungkin karena hujan jadi pada nunda pulang ya, apalagi yang naik ojol.

Karena bosan, gue buka HP gue, scrolling-scrolling Twitter mencari topik-topik menarik yang lagi dibahas para netizen.

DIN DIN!

Suara klakson mobil.

Gue refleks nengok ke arah suara itu. Ada mobil yang mainin lampunya ke arah gue.

Mazda CX-5 hitam, kayak kenal...

.....UYON BUKAN SIH???

—-‐———————-

[Uyon's POV]

“Deres banget, banjir lagi dah ini”

Gue ngomong sendiri di mobil sambil melintasi Jalan Sudirman dari arah Senayan.

Tadinya seperti biasa gue mau main di Senopati, tapi gatau kenapa gue tiba-tiba males, pengen di rumah aja.

Di rumah Netflix and chill gitu enak kali ya. Tapi maunya nonton drakor.

Trus nontonnya sama Caca.

Caca apa kabar ya?

Seminggu ini kita sering chat-an sih, tapi nggak banyak. Soalnya gue tau juga Caca kan ngantor, nggak enak kalo gangguin. Emangnya gue, freelance design interior yang waktunya bebas nggak ada jam kerja.

'Kangen deh. Coba aja tiba-tiba Caca ada di depan gue.'

Baru aja gue mikir hal itu, as if God listens to my prayers and grant it right away, di sebelah kiri jalan ada seorang sosok cantik.

Ada Caca, lagi duduk manis menunggu bus di halte.

Destiny? Apa gimana?

Gue klakson mobil gue pelan-pelan, takut dia kaget. Gue mainin juga lampu biar dia lihat. Tapi kayaknya dia masih nggak ngeh deh.

Akhirnya gue maju dan buka jendela gue.

“Caca cantik!!! Mau pulang ya? Sini sama gue aja!!!” teriak gue berusaha ngalahin suara hujan.

“Kok lo di sini, Yon- Eh itu jok lo basah!” Caca juga teriak-teriak.

“Makanya sini lo masuk aja cepetan!”

Caca lari pakai payung dari halte dan masuk ke kursi depan mobil gue. Nggak ada guna deh dia pake payung, tetep aja basah, orang hujannya deres banget.

“Yah Yon mobil lo basah deh, maaf ya” kata Caca sambil bersihin sisa-sisa air di baju dan celananya.

“Gapapa cantik, ntar juga kering sendiri” gue juga bantuin dia bersihin sisa-sisa air yang ada di rambutnya.

Kesempatan dikit buat elus-elus kepala dia. Kalo bisa sih yang di muka cantiknya pengen gue elus juga. Hehe. But no, not yet.

“Stop calling me that. Btw, gapapa nih gue nebeng?” tanya Caca.

“Gapapa dong, sans. Mau langsung pulang banget nih?”

“Emang mau kemana hujan gini?”

“Muter-muter dulu aja yuk, chill and drive gitu. Hehe”

Caca diem, lagi mikir seperti biasa.

1 menit kemudian.

“Bebas deh, yang penting nanti anterin gue pulang”

Yes!!!