• No More, No Less •
“Aduh terang banget... Ini dimana sih...?” ujar gue lemah sesaat setelah gue membuka mata.
Gue nggak ingat semalam ada kejadian apa.
“Oh ini di kamar ya ternyata” ujar gue lagi setelah mencoba lihat kanan dan kiri. Gue mencoba untuk duduk, tapi malah rasanya kepala gue muter, nggak sanggup. Refleks gue pegang dahi gue.
'Shit, panas banget, pantesan pusing...'
Tidak lama ada yang buka pintu kamar gue. Sambil melongok, dia bilang:
“Eh, Ca, udah bangun? Gue masuk ya”
Mingyu.
Pikiran gue langsung tau kalau semalam pasti gue mimpi buruk lagi. Tapi kemarin-kemarin gue bisa nggak hubungin dia pas lagi kayak gini, kok yang ini kecolongan ya...
Alasan kenapa gue nggak nyari Mingyu lagi? Apa lagi kalau bukan karena kejadian sebulan yang lalu. When he asked me to be his girlfriend. And until now, I don't want to answer his question.
Mungkin selama ini gue keliatannya baik-baik aja sama Mingyu, ya karena emang gue berusaha untuk baik-baik aja. Gue berusaha untuk stay cool di depan dia, seolah-olah nggak ada hal besar yang terjadi di hubungan kita. Gue masih telepon dia, gue masih chat dia, gue masih minta ketemu dan main sama dia.
Believe it or not, that is not easy at all. That is the hardest thing I ever did for him. It even gets harder when all of his responds have the same purpose: to keep himself away from me. You think you can hide it from me, Gyu? Then you're doubting our 15 years of friendship.
15 years, freaking 15 years.
Bayangin lo punya temen kemana-mana bareng, makan bareng, sekolah bareng, main bareng, nginep bareng bahkan bobo satu ranjang peluk-pelukan karena kedinginan. Bayangin lo punya temen cowok yang mau aja dititipin beli pembalut, dan bayangin juga lo jadi temen cewek yang mau aja dititipin ambil boxer dari lemari dia. Bayangin punya temen sesantai itu.
Then suddenly he doesn't want to be your friend anymore.
I can't let that happen.
That's why I keep acting like I'm still his friend. Just friend. No more, no less. In sake of protecting our friendship.
Also that's why I don't answer him until now. Because with answering his question, no matter what the answer is, will still be the end of our friendship.
Tapi untuk masalah yang satu ini, gue nggak bisa stay cool. Cuma di masalah ini gue bener-bener menghindari dia.
Karena apa yang dia lakukan ke gue seperti sekarang ini, datang ke apartemen gue subuh-subuh, masuk tanpa gue harus bukain pintu karena dia punya kunci sendiri, nemenin dan ngerawat gue, hal-hal seperti ini bisa buat dia semakin jatuh ke dalam perasaannya sendiri.
Oleh karena itu, sejak sebulan yang lalu gue mencoba memaksa diri gue untuk nggak menghubungi Mingyu ketika gue mimpi buruk. Antara gue berusaha untuk tenang sendiri atau gue telepon Rania. Ternyata hari ini gue kecolongan.
Mungkin alam bawah sadar gue yang kangen dia.
—-‐———————-
“Coba liat masih panas nggak” kata Mingyu seraya menempatkan tangan besarnya di dahi gue.
“Hmm masih panas Ca. Minum obat ya? Sini gue bantuin duduk dulu” gue bangun dan duduk dibantu Mingyu. Mata gue merem kenceng banget saking pusingnya.
“Sebentar ya, gue ambil panadol sama air dulu”
Mingyu pergi. Gue masih diam.
Diam karena bingung mau bersikap seperti apa. Gue belum siap dengan keadaan ini.
“Nih, Ca, minum dulu obatnya” Mingyu memberi panadol dan air untuk gue minum. Gue minum obat itu, masih dalam diam.
“Pinteeeer” kata Mingyu sambil mengusap-usap lembut kepala gue.
Hal yang seharusnya biasa buat kita sampai sebulan yang lalu.
Not now.
“Ehm..” gue mendeham sambil menyingkirkan tangannya dari kepala gue.
“So... Semalem gue mimpi buruk lagi?” tanya gue.
“Iya” jawab Mingyu singkat.
“Trus gue telepon lo?”
“Yes”
“Trus lo masuk pake kunci lo?”
“Exactly, lo nggak inget apa-apa ya Ca?”
Gue geleng-geleng.
“Soalnya pas gue masuk lo tuh pingsan di depan sofa. Trus badan lo panas banget, lebih panas dari sekarang. Jadi lo gue gendong deh ke kamar trus gue kompres” kata Mingyu menjelaskan keadaan gue semalam.
Gue diam sambil mencoba-coba mengingat. Dahi gue sampai mengernyit saking kerasnya gue berpikir.
Mingyu menangkup pipi gue lalu menarik muka gue lebih dekat dengan mukanya.
“Udah gausah dipikirin, ntar makin pusing loh”
Buru-buru gue lepas tangannya dari muka gue.
“Apaan sih, siapa yang mikirin”
“Bohong, orang jidatnya langsung kayak nenek-nenek gitu hahaha” canda Mingyu. Gue menatap dia sebal.
“Bodo amat ah. Anyway, makasih ya udah bantuin gue lagi”
“Emang ada apa kemaren sampe bisa kambuh lagi, Ca? Perasaan udah lama nggak kambuh deh. Pasti ada sesuatu ya kemaren?” Mingyu tiba-tiba membombardir gue dengan pertanyaan-pertanyaannya, tidak menggubris ucapan terima kasih gue.
'Udah lama nggak kambuh? Lo aja yang gatau, Gyu...'
“Nggak ada apa-apa kok. Paling karena kemaren hujan trus banyak petir” jawab gue.
“Hah, kemaren kan di sini kering kerontang, nggak hujan sama sekali”
Mampus. Gue lupa rumah Mingyu nggak jauh dari apartemen gue, dan pas kemaren gue pulang diantar Uyon itu emang nggak hujan sama sekali.
“Oh di kantor ya hujannya? Lo lembur berarti kemaren?” tebak Mingyu.
“Emm iya di kantor hujannya, gue emang pulang malem kemaren, banyak kerjaan soalnya” gue coba membuat alasan.
“Hoo gitu. Lain kali kalo udah malem gitu telepon gue aja deh, biar gue jemput. Daripada bahaya pulang sendiri. Kalo lo di jalan kecapekan trus ketiduran di bus, trus mimpi buruk lagi, siapa coba yang mau nenangin? Yang ada pada takut penumpang yang lain. Trus kalo lo kenapa-napa ntar ayah sama ibu khawatir lagi, kan kasian mereka jauh nggak bisa langsung nyamperin lo. Makanya gue yang dititipin lo sama mereka yang harus jagain terus, kasian dikit lah-”
Mingyu mulai keluar bawelnya. Bisa panjang deh kalo gini urusannya.
“Hhhh iya iya udah ah! Jangan bawel! Gue ngerti kok bukan anak kecil lagi” kata gue memotong omelan Mingyu.
“Janji ya bilang gue kalo pulang malem” ujar Mingyu sambil menyodorkan kelingkingnya.
Gue kaitkan kelingking gue ke kelingkingnya. Terserah deh, biar cepet.
“Iya janji”
“Good girl. Mau sarapan apa? Bubur? Gue beliin di bawah kalo mau”
“Boleh. Biasa ya”
“Nggak pake kacang, sate usus dua, sate telur dua. Iya kan?”
“Ada satu lagi”
“Apaan?”
“Nggak pake lama. Gue laper hehe”
“Iyeee tuan putri, hamba lari sekarang juga biar tuan putri nggak kelaperan yaaa. Tuan putri tiduran aja biar nggak pusing” ledek Mingyu sambil beranjak pergi.
Tuh, enak kan kalo masih bisa bercanda kayak gini?
That is why you shouldn't fall in love with your best friend.
Seandainya Mingyu nggak pernah nembak gue, mungkin gue bisa lebih leluasa bercanda sama dia.
Seandainya Mingyu nggak pernah nembak gue, mungkin gue nggak perlu cari alasan gue semalam ngapain buat ngejaga perasaannya.
Eh, ngomong-ngomong soal semalam, gue nggak sempat bilang makasih sama Uyon udah dianterin pulang...
Dia udah bangun belom ya?