• Nice to Meet You! •
“Halo Mas Dylan! Namaku Osha, salam kenal yaa” Osha menyambut Dylan dengan semangat. Sudah pasti karena paras Dylan yang di atas rata-rata.
“Hai Osha, salam kenal juga ya” jawab Dylan dengan kalem sambil menjabat tangan Osha.
“Halah, sok manis lo” Rendra malas melihat tingkah Osha yang langsung sok malu-malu begitu. Osha mengutuk Rendra dalam diam, lalu kembali tersenyum ke arah Dylan.
“Kenalin mas, gue— eh, aku Rendra hehe” tiba-tiba Rendra nggak enak karena langsung pake gue-lo aja padahal baru kenal.
“Haha santai aja, gue-lo juga gapapa kok, biar makin cepet akrabnya. Lagian kayaknya kita seumuran ya? Atau paling engga nggak beda jauh lah umurnya” kata Dylan.
“Gue sama Osha sih umur 22, mas. Kalo mas umur berapa?”
“Bener kan nggak jauh, gue 24. Kalo gitu kalian santai aja lah ngomongnya sama gue, gausah pake mas juga gapapa, gue kan junior nih lagian haha”
“Jangan mas, nggak enak, hehe. Kita udah kebiasaan manggil yang lebih tua pake mas mbak” tolak Rendra.
“Haha oke deeh. Kalo gitu Ren, Sha, mohon bantuan untuk ke depannya yaa” ujar Dylan mengakhiri sesi perkenalan mereka. Lalu duduk di depan mejanya yang membelakangi Rendra dan Osha.
“Siaaap mas. Eh mas btw sebelumnya kerja dimana?” tanya Osha.
“Hmm gue belom pernah officially jadi karyawan sih, ini yang pertama. Sebelumnya gue bantuin kerjaan bokap nyokap aja di Sydney”
“Oh mas dari Sydney?”
“Iya, gue dari lahir di Sydney, baru sekarang pindah ke Jakarta”
“Tapi kok Bahasa Indo-nya bagus sih mas? Nggak ada bule-bulenya sama sekali?” sahut Rendra.
“Ya karena emang gue orang Indo haha gue nggak ada darah bulenya guys, pake Bahasa Inggris kalo lagi di luar aja, kalo di rumah sih tetep Bahasa Indo” jelas Dylan yang disambut anggukan tanda mengerti dari dua rekan kerjanya.
“Eh kok kalian nggak istirahat makan siang sih?” tanya Dylan.
“Nanti mas, kita ada kerjaan yang harus direvisi dulu nih, suruhannya si robot” jawab Osha yang langsung dipukul lengannya sama Rendra.
“Masih baru jangan langsung ditakutin apa. Kalo nggak betah kita berdua lagi mau lo hah” Rendra berbisik ke Osha sambil menggertakan giginya.
“Siapa si robot?” Dylan penasaran.
“Ah, engga mas, maksudnya suruhan manager kita. Tadi kita bikin salah dikit jadi jam makan siang buat selesain revisi dulu deh ehehe” jawab Rendra.
Manager tim ini ya…
Oceana
“Mas sendiri nggak makan?” tanya Rendra.
“Gue udah makan tadi sebelum ke sini. Sekarang gue lagi nungguin HRD mau kenalin gue ke manager” jawab Dylan.
Tidak lama setelah itu staff HRD yang tadi berjanji akan mengenalkan Dylan kepada manager-nya datang.
“Mas Dylan, sekarang aja yuk ketemu Mbak Adel-nya. Soalnya beliau bilang habis jam makan siang ada meeting lagi dengan klien” ujar staff HRD.
“Oh iya, mbak. Gue kesana dulu ya” Dylan berdiri dan pamit ke Rendra dan Osha.
’This is it’
’The moment of truth’
’Are you really there, Oceana?’
***
Momen ini adalah yang paling menegangkan dalam hidup Dylan. Lebih-lebih menegangkan daripada saat dia minta izin ke orang tuanya untuk pindah ke Jakarta.
'What should I do if it's really her?'
Kalimat itu berulang-ulang menghampiri pikiran Dylan selama perjalanannya ke ruangan manager yang terasa lama, padahal tidak ada 2 menit sudah sampai.
“Permisi, Mbak Adel. Ini anggota baru tim mbak yang saya bilang tadi pagi” staff HRD kemudian mempersilahkan Dylan masuk.
Dylan yang masuk sambil menunduk, perlahan mengangkat kepalanya dan melihat sosok perempuan di depannya.
'Oh. My. God.'
'It is her'
'But, something is different…'
“Mbak Adel, perkenalkan ini Mas Dylan, anggota baru tim mbak. Dan Mas Dylan, ini Mbak Adel, semua pekerjaan mas nanti akan lapornya ke Mbak Adel ya” staff HRD memperkenalkan mereka berdua, lalu pergi dari ruangan Adel.
“Adeline Oceana, I heard you're the same age as me so just call me Adel, gausah pake mbak kayak yang lain. Nice to meet you… Sorry, siapa tadi?”
“Dylan. Dylan Arkana. Nice to meet you too”
“Oh, yeah, sorry. Banyak banget kerjaan jadi suka skip gini”
“Iya gapapa. By the way, do you happen to remem-”
“Sorry, Dylan, aku ada meeting lagi so I gotta go now. Talk to you later. See you around and welcome to the team” Adel lalu menggendong tasnya dan pergi meninggalkan Dylan.
“See you…” kata Dylan lirih sambil melambai ke arah Adel. Adel yang sudah berjalan cepat bahkan tidak melirik sedikit pun ke arah lambaian tangan Dylan.
Perempuan itu benar-benar dia. Rambut panjangnya, paras cantiknya, tidak ada yang berubah. Hanya saja dia lebih… Dingin?
'Mungkin karena lagi sibuk aja' batin Dylan berusaha untuk mengerti Adel.
Ah, iya, Adeline. Nama depannya Adeline. Dylan ingat sekarang.
But sadly,
She doesn't remember him.
***
“Are you sure that’s really her, bro?” tanya Mario dari ujung telepon.
“100 percent, bro. That face, that voice, it’s her” jawab Dylan.
Malam itu Dylan langsung laporan tentang pertemuannya dengan Adel ke sahabatnya di Sydney, Mario. Mereka sudah bersahabat dari kecil karena sama-sama merupakan orang Indonesia yang tinggal di Sydney. Mario kenal Dylan sampai dalam-dalamnya, begitu pun sebaliknya. Jadi tentu saja Mario tau dan paham betul tentang Dylan dan perempuan yang selalu dicarinya ini, walaupun tidak pernah benar-benar tau seperti apa perawakan perempuan itu.
“Wow… Gue nggak nyangka lo bakal secepet itu ketemu sama dia. Trus trus, does she recognize you?”
“No… I guess? Gatau, Mar”
“Lah? Gimana sih?”
“Tadi cuma bentar ketemunya, cuma say hi trus dia pergi meeting. Tapi kayaknya sih dia nggak inget gue”
“Nggak nggak, gue nggak percaya dia nggak inget lo. I mean like, hey, you two had memories together, even if it was just one day, and it wasn’t like just ordinary memories, it’s like REALLY GOOD MEMORIES. Dia pasti inget lo”
Dylan menghela nafas. Rasanya ingin sekali percaya dengan kata-kata Mario, ingin sekali percaya bahwa Adel masih ingat dengannya, masih ingat dengan apa yang mereka lakukan bersama di hari itu.
Tapi melihat reaksi Adel tadi, sepertinya dia harus mulai mengubur ekspektasinya, sebelum rasa itu tumbuh makin tinggi.
“Hey softie, I think you better just let it flow for now. Don’t jump to conclusions too quickly. You have a lot of time to spend with her since she’s your manager now. Take it slow” saran Mario.
’I know I should do that, but I just can’t help it…’
“Ah percuma, paling lo nggak dengerin gue. Udah dulu ya, bro, ngantuk nih udah tengah malem tau di sini. Bye!” Mario menutup pembicaraan mereka malam itu.
Dylan menaruh HP-nya di nakas lalu berbaring di kasur sambil merentangkan badannya. Dia menatap kosong ke arah langit-langit kamar, namun pikirannya penuh dengan Adel. Dia mencoba mengingat-ingat Adel yang dia temui dulu di Sydney dan dia bandingkan dengan Adel yang sekarang. Ujung-ujungnya, tetap bertanya-tanya apakah dia benar-benar lupa dengan Dylan, juga mengapa dia sekarang terkesan dingin.
“Aaaakh tau ah, bisa begadang gue mikirin gini doang. Tidur aja deh mending” Dylan menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha melepaskan pikiran-pikiran tentang Adel dari otaknya. Kemudian dia memutuskan untuk tidur saja walaupun waktu baru menunjukkan jam 8 malam.
Kriiiiiiing
Tidak jadi menarik selimut, Dylan mengambil kembali HP-nya untuk melihat siapa yang menelponnya malam-malam begini. Di layar HP itu hanya terlihat serangkaian angka, yang berarti telepon itu bukan dari nomor yang Dylan simpan.
“Siapa nih?” kata Dylan bingung sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu.
“Halo?”
“Halo? Dylan ya? Ini Adel”
Dylan langsung loncat dan berdiri di atas kasur saking kagetnya. Softboi mana yang nggak kaget kalo tiba-tiba ditelepon sama perempuan idamannya, malam-malam lagi.
“Oh- oh, iya, ha- hai, Adel” jawab Dylan gugup. Detak jantungnya sudah tidak bisa dikontrol lagi. Dia sampai harus mengelus-elus dadanya sendiri supaya jantungnya itu lebih tenang sedikit.
“Sorry ya aku telepon malem-malem, nggak ganggu kan?”
“Eng- engga kok. Ada apa, Del?”
“Hmm nggak sih, aku cuma agak nggak enak aja tadi ninggalin kamu karena harus meeting, padahal mestinya aku kasih brief tentang kerjaan kamu nanti”
“Ah gapapa kok, kan masih bisa besok. Tadi udah dijelasin dikit juga sih sama Rendra dan Osha, hehe”
“Kalo gitu besok aku jelasin yang detail ya, sambil makan siang bareng gimana? Aku traktir, sekalian welcome lunch buat kamu”
Mulut Dylan otomatis menganga mendengar ajakan Adel, dia cubit-cubit dirinya sendiri saking nggak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Bo- boleh, Del. Tapi aku yang nggak enak ditraktir…” jawab Dylan ragu.
“No worries, itu kebiasaan aku kok traktir anak baru yang masuk ke tim. Kalo gitu besok langsung janjian aja di KoKas ya, aku dari ketemu klien langsung ke sana. Makan di Zenbu nggak keberatan kan? Aku lagi pengen makan di situ”
“Nggak keberatan kok, aku belom pernah makan di situ kebetulan, ehehe”
“Okay then, see you tomorrow, Dylan. Good night” Adel lalu menutup telepon itu. Meninggalkan Dylan yang saat ini hanya bisa menatap layar HP-nya, menatap rangkaian nomor yang meneleponnya barusan.
’Did… Adel… Just ask me to eat lunch with her…’
Dylan menampar pipinya, sekali lagi memastikan ini bukan mimpi.
“Anj- sakit jir… Berarti bukan mimpi dong hehehehehehe” Dylan tersenyum, lalu tertawa-tawa seperti orang bodoh sambil turun dari kasur dan menuju ke lemari bajunya.
Dylan dipastikan tidak akan tidur malam ini, sampai dia menemukan jawaban dari pertanyaan:
’Pakai baju apa yang besok?’