• Oceana •
“Do you believe in destiny?
Who knows we can meet again in the future”
“Sorry, I don’t.
Destiny is a vague concept”
***
“Gimana sih kalian?? Gini aja nggak bisa??” Adel melempar tumpukan kertas yang tadinya ia pegang ke meja, mengagetkan dua karyawan yang sedang menundukkan kepala di depannya.
“Saya udah bilang ke kalian kalo kerja tuh dicek berkali-kali dulu sebelum kirim! Apalagi ini dokumen kontrak dengan klien, bisa-bisanya kalian salah di bagian nominal kontrak, kalian tau nggak perusahaan bisa rugi gara-gara kalian!” bentak Adel.
“Ma- maaf, mbak… Kami kurang teliti… Kami akan bicara dengan klien lalu segera merevisi bagian yang salah” ujar Rendra, salah satu dari dua karyawan itu, masih sambil menunduk.
“Iya, mbak… Akan kami lakukan segera… Kami akan lebih teliti lagi…” sambung Osha, karyawan yang lain. Tidak ada satu pun dari mereka berdua yang berani menatap muka Adel saat ini.
“Ya sudah sana keluar dan mulai kerjakan, jangan harap kalian bisa istirahat makan siang kalo masalah ini belum selesai” ancam Adel. Kedua karyawan baru itu pun permisi keluar dari ruang kerja Adel.
Setelah mereka keluar, Adel mencoba untuk menenangkan diri dengan meminum air dari tumblr warna kuning bergambar Gudetama kesayangannya. Dia lalu memejamkan matanya yang lelah dan berdiam untuk sementara waktu. Dia mencoba untuk tidur walau hanya sebentar, karena setelah jam makan siang dia masih harus meeting dengan klien yang lain.
Adeline Oceana. Dilahirkan di sebuah kota yang berada di pinggir laut. Setelah melahirkan Adel, pemandangan pertama yang dilihat oleh ibunya adalah laut yang terhampar luas. Ombak-ombak berderu kencang di laut itu dibantu oleh angin laut yang terasa segar. Ibunya berharap Adel akan tumbuh menjadi seorang yang penuh semangat seperti ombak-ombak di laut, namun tetap lapang hatinya dan dapat menyejukkan hati orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, ia dinamakan ‘Oceana’.
Namun takdir berkata lain. Adel justru tumbuh menjadi ‘laut di waktu pasang’, ketika ombak-ombak berderu lebih kencang dibandingkan waktu lainnya, anginnya pun tidak segar, malah bisa membuat orang tidak enak badan.
Adel is an ambitious, cold-hearted woman.
And as her fate turned out to be 180 degrees different from her mom’s expectation,
She doesn’t believe in destiny.
***
“Yaelah, batal deh makan Sushi Tei” kata Osha kesal, lalu duduk kembali di depan mejanya, diikuti oleh Rendra yang duduk di sebelahnya.
“Sorry ya, Sha, kayaknya salah gue deh tadi, soalnya buru-buru” Rendra meminta maaf.
“Selow, Ren. Gue juga salah kok, tadi nggak gue cek dulu main kirim-kirim aja”
“Kapan ya kita dikasih anak baru? Capek banget anjir ngerjain proyek banyak cuma berdua doang” ujar Rendra sambil berputar-putar di kursinya.
“Tau nih, jir. Gue udah berkali-kali loh padahal ngomong sama Mbak Adel buat kasih kita orang baru. Tapi kayaknya nggak didengerin deh, gue pernah tanya sama anak HRD mereka nggak terima request buat rekrut orang baru” jawab Osha yang sedang memangku dagu di meja sambil memain-mainkan rambutnya.
“Gila, gila. Hobi banget nyiksa orang kayaknya ya dia. Kagak liat apa kita tiap hari kerja kayak apa, bentar lagi jadi zombie deh kayaknya kita, Sha”
“Namanya juga kerja sama robot, Ren. Udah workaholic, nggak punya perasaan lagi. Fix dia bukan manusia, dia robot”
Tok tok
Tiba-tiba ada suara ketukan di meja yang membuat mereka sontak menengok ke arah ketukan itu.
“Hai, apa betul ini bagian project management?” tanya seorang laki-laki kepada mereka berdua.
“Oh, iya betul. Ada yang bisa dibantu?” ujar Osha.
“Mulai hari ini saya jadi karyawan di bagian ini.
Perkenalkan, nama saya Dylan Arkana”
***
Berbeda, namun tidak asing.
Mungkin seperti itu perasaan Dylan saat ia menginjakkan kakinya di Jakarta. Kota ini masih terasa mirip dengan tempat tinggal Dylan sebelumnya, Sydney. Lalu semakin tidak terasa asing karena semua orang menggunakan Bahasa Indonesia, bahasa yang ia pakai di rumah.
Dylan Arkana. Bukan berasal dari keluarga yang kaya, namun lahir dan besar di Sydney karena kedua orang tuanya bekerja di sana. Kedua orang tua Dylan bertemu saat mereka sama-sama mendapat beasiswa di kota itu, jatuh cinta, lalu memutuskan untuk menikah dan menetap di sana.
Namun Dylan, yang seumur hidupnya hanya pernah beberapa kali ke Indonesia, justru ingin menetap di Jakarta. Dia ingin tinggal di negara tempat nenek moyangnya berasal. Oleh karena itu, setelah menyelesaikan kuliahnya, Dylan pamit ke orang tuanya untuk tinggal mandiri di Jakarta. Orang tua Dylan yang memang tidak pernah mengekang keinginan anaknya, membiarkan Dylan melakukan apa yang dia inginkan.
Dylan Arkana. Tidak pernah dikekang karena memang tidak pernah membangkang. Ia adalah anak baik-baik yang selalu diidolakan oleh junior-juniornya. ‘Udah ganteng, baik, kurang apa lagi coba Dylan tuh!’ begitu kira-kira testimoni dari teman-teman terdekatnya.
Padahal ada satu kekurangan Dylan.
Setia.
Kelewat setia.
Dylan si ‘babe magnet’ tidak pernah tertarik dengan perempuan-perempuan yang berusaha mendekatinya.
Karena untuk Dylan, di hidupnya cuma ada satu perempuan.
Perempuan yang dulu ia temui di pantai dan menjadi temannya walau hanya sesaat. Dulu mereka harus berpisah dengan cara yang tidak enak, mereka bahkan tidak sempat bertukar salam maupun kontak. Hanya sempat bertukar nama, itu juga dia hanya ingat belakangnya.
Oceana.
Layaknya memang sudah takdir mereka bertemu di depan laut, nama belakang perempuan itu Oceana.
Menemukan perempuan ini adalah tujuan hidup Dylan. Terkesan berlebihan, tetapi ya seperti itu lah dia. Laki-laki yang emosional, hangat, penuh afeksi terutama untuk orang-orang yang dia sayang.
Dylan sangat percaya dengan takdir. Dan dia percaya takdir akan membawanya bertemu kembali dengan perempuannya itu.
Setelah pindah ke Jakarta dan mendapat pekerjaan, hari ini adalah hari pertama Dylan bekerja.
“Welcome aboard, Mas Dylan. Nanti tempat kerja mas tinggal lurus, belok kanan, lalu ada di sebelah kiri ya. Ada tulisannya kok itu tempat kerja bagian apa” jelas seorang staff HRD kepada Dylan.
“Terima kasih, mbak. Oh iya, saya itu kemarin waktu interview belum sempat bertemu dengan manager saya, nanti kira-kira bagaimana ya mbak?”
“Oh jadinya nggak ketemu ya?”
“Iya, katanya beliau sibuk jadi tidak bisa datang”
“Hmm kalau gitu nanti saya yang kenalin deh, tapi mas ke tempat kerjanya dulu aja gapapa. Habis makan siang saya samperin”
“Baik kalau begitu, terima kasih ya mbak”
“Btw, udah tau nama manager-nya mas?”
“Belum, kemarin nggak disebut. Kalau boleh tau siapa namanya mbak?”
“Namanya Adeline Oceana, dipanggilnya Mbak Adel”
Oceana
Dylan tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
“Boleh ulang sekali lagi nggak mbak namanya?”
“Adeline Oceana. Kenapa mas? Kenal kah?”
’Mungkin, mungkin kenal’
’Is that really you, my Oceana?’