• Bittersweet •
“Feeling good! Like I should! Na na na~” Dylan melangkah ringan ke meja kerjanya sambil menggumamkan lagu yang sedang dia dengar.
“Widiiih, ada yang lagi happy nih kayaknya” ujar Rendra.
“Hah? Lo ngomong sama gue?” tanya Dylan setelah melepas earphone-nya.
“Engga, gue cuma bilang kayaknya lo lagi seneng aja gitu mas, sampe nyanyi-nyanyi gitu haha”
“Oooh haha biar semangat aja kerjanya, Ren”
“Pagi Mas Dylan!” sapa Osha yang baru datang dengan riang. “Pagi nyet” giliran Rendra yang disapa muka Osha langsung berubah 180 derajat.
“Anying diskriminasi” gerutu Rendra.
“Hahaha, pagi Sha!” Dylan membalas sapaan Osha. Setelah itu mereka mengobrol sebentar lalu memulai fokus ke pekerjaannya masing-masing.
“Mas Dyl, hari ini makan siang bareng yuuuk” tanya Osha ketika waktu sudah mendekati jam 12.
“Eh? Udah jam segini? Gila nggak sadar banget saking fokusnya. Yuk mas makan siang dulu” ajak Rendra.
“Sorry guys, gue ada janji makan di luar, hehe. Besok-besok aja ya makan barengnya. Duluan guys!” jawab Dylan yang langsung berdiri lalu pergi meninggalkan Rendra dan Osha.
“Pantesan…” gumam Rendra.
“Pantesan apa, Ren?” Osha penasaran.
“Pantesan dia tadi dateng-dateng seneng banget keliatannya, pake nyanyi-nyanyi segala. Lo mending mundur aja dari sekarang deh, Sha, saingan lo bakal berat kayaknya”
“Dih, emang lo tau dia mau makan sama siapa??”
“Ya pasti sama cewek nggak sih?? Bening kayak dia gitu??”
“Nggak, nggak, bisa jadi yang lain. Gue yakin masih punya kesempatan. Lo jadi temen bantuin makanya!” Osha menyenggol badan Rendra.
“Iye neng, iye” Rendra menjawab seadanya sambil tertawa. Padahal hatinya meringis.
’Yah… Ketikung…’
***
Dylan sampai duluan di Zenbu tempat dia janjian dengan Adel. Dia sengaja memilih kursi di dalam, supaya tidak berisik jadi pertemuannya dengan Adel ini bisa jadi lebih khidmat.
Ngomongin kerjaannya lebih khidmat, maksudnya.
Nggak deng, itu denial. Dylan pokoknya harus menggunakan kesempatan ini untuk menanyakan apakah Adel benar-benar lupa dengannya. Kalau pun memang lupa, Dylan mau bantu Adel untuk mengingatnya.
Dylan sudah memesan minum, tapi belum memesan makanan. Masih nungguin teman, katanya ke waiter. Padahal sih sejujurnya dia sudah lapar. Akhirnya dia mencoba untuk isi perutnya dulu aja dengan ocha dingin yang dia pesan.
Baru sekitar 20 menit kemudian Adel sampai di Zenbu. Adel yang hari itu memakai casual dress berwarna biru langit dan menggendong dua tas di kedua pundaknya sekaligus menenteng tas laptop di tangan terlihat tergopoh-gopoh datang menghampiri Dylan.
“Sorry telat, Dyl, ternyata meeting-nya agak lama”
“It’s okay, aku juga baru sampe kok, hehe” Dylan berkata sambil membantu Adel yang repot dengan tas-tasnya.
“Udah pesen makan?”
“Belom, pesen sekarang ya”
“Okay. Ngomongin kerjaannya abis makan aja ya biar fokus”
Mereka lalu memanggil waiter dan memesan makanan. Untung makanan yang mereka pesan datangnya tidak terlalu lama, jadi mereka tidak kembung karena kebanyakan minum ocha untuk menahan lapar. Selama makan, tidak banyak yang mereka obrolkan, hanya obrolan basa-basi yang tidak terlalu penting.
Setelah selesai makan, Adel langsung masuk ke agenda utama mereka hari itu, memberikan brief secara detail tentang apa yang harus Dylan kerjakan sebagai anggota timnya. Being a workaholic she is, once she talks about work, she will only talk about work. Tidak ada bercanda, tidak ada topik yang melenceng. Hanya ada kerja, kerja, dan kerja.
Dylan berusaha untuk mengikuti pace si workaholic ini. Walaupun sebenarnya mulutnya sudah gatal mau membuka topik soal masa lalu mereka. Karena Dylan gatau lagi kapan akan dapat kesempatan duduk berdua dengan Adel seperti ini, dia harus memanfaatkan situasi ini sebaik mungkin.
“Well, I think that’s all for now. Kalo masih ada kesulitan kamu bisa minta Rendra atau Osha untuk bantu, walaupun kalian beda project tapi mungkin mereka berdua bisa kasih tips and trick buat kamu. Any question?” tanya Adel di akhir sesi briefing mereka.
“Hmm, belum ada pertanyaan sih untuk yang ini, mungkin aku harus ngerjain dulu baru tau ada pertanyaan atau engga.
Tapi, Del, boleh nanya yang lain nggak?”
“Kalo udah di luar urusan kantor, aku yang mau tanya duluan.
How did you find me, Dylan Arkana?”
’Hah?’
’Jadi… Dia inget gue…?’
“Are you joining my team because you know I’m there?” Adel bertanya lagi karena yang ditanya masih bengong tidak menjawab.
“Maksud kamu…?” Dylan malah balik bertanya.
“Gosh Dyl, you’re from Sydney and I asked in English, you surely understand what I mean” kata Adel sinis. “Aku mau tau, gimana cara kamu tau aku kerja di kantor ini, trus apa kamu sengaja masuk ke team ini karena tau ada aku?”
Sudah cukup Dylan kaget dengan fakta ternyata Adel mengingatnya, kini dia juga kaget dengan cara bicara Adel yang dingin. Adel yang sekarang tidak seperti Adel yang dia kenal.
“Aku gatau kamu kerja di kantor ini, Del, aku bahkan kaget waktu tau ternyata team manager-nya itu kamu, jadi nggak mungkin kalo aku sengaja masuk team ini karena tau ada kamu.
Tapi, Del… Kamu… Beneran ingat aku?”
Adel mendengus mendengar pertanyaan Dylan.
“Do I really have to answer the question when it’s already obvious?”
“Then I change the question. Since you remember me, do you… Do you remember what memories we have?”
“Of course, definitely not my favorite one though”
Sakit. Jujur Dylan sakit hati mendengarnya. Karena berbeda dengan Adel, memori itu baginya merupakan salah satu memori terbaik di dalam hidupnya.
’There must be a reason’ Dylan berusaha untuk mencoba positif.
“Jangan tanya kenapa karena aku gamau bahas” tegas Adel.
“Okay, aku nggak akan tanya sekarang”
“So, since kamu sekarang udah tau aku ingat kamu dan ingat semua hal yang kita lalui bareng, aku mau kasih tau kamu sesuatu.
Stop chasing on me, Dylan. Stop putting your hopes on me. Just stop… Stop liking me, will you?”
Seperti gelas kaca yang jatuh dari ketinggian, hati Dylan hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, Dylan yang selama ini hanya setia pada Adel baru saja mau memulai memperlihatkan kesetiaannya itu kepada perempuan idamannya. Namun, belum dimulai dia sudah ditolak. Dunia sungguh tidak adil.
Dylan, mulai tidak bisa menjadi orang yang positif lagi.
“But… Why…? Kamu inget nggak waktu kita berpisah dulu? Aku sempat bilang mungkin kita akan bertemu lagi kalau takdir berkata iya, dan akhirnya kita bertemu kan? Okay mungkin pertemuan kita dulu bukan memori yang baik buat kamu, tapi buat aku hari itu akan selalu menjadi hari terbaik di hidupku. So, bisa nggak setidaknya kamu buat aku untuk tetap mengingat hari itu sebagai hari yang baik, hari dimana aku berjanji untuk hanya menaruh hatiku di satu orang, yaitu kamu? I don’t mind if you don’t do the same, just don’t forbid me to do it…”
Adel tersenyum dingin.
“Dylan, takdir itu bullshit. Takdir cuma bisa buat kamu berharap mendapatkan sesuatu yang tidak bisa kamu dapatkan. You should stop hoping on destiny and face the reality instead”
Tidak lama setelah Adel mengatakan itu, seorang pria bertubuh tinggi dan tegap menghampiri mereka. Laki-laki itu menyapa Adel dan mengelus rambutnya. Adel membalasnya dengan sapaan manis lalu menggenggam tangan laki-laki itu.
“Realitanya, we are not made for each other, Dylan. Jadi aku harap kamu bisa pikir baik-baik permintaan aku tadi ya, dan aku harap kita masih bisa profesional di kantor karena ini nggak ada sangkut pautnya sama pekerjaan. Aku akan bayar ini lalu ada urusan sebentar, kamu balik ke kantor aja duluan. See you, Dyl” Adel kemudian pergi sambil menggandeng laki-laki itu, meninggalkan Dylan yang masih duduk termangu.
’Bittersweet’
’Senang kamu masih mengingatku, Adeline Oceana, tapi sedih karena kamu terasa asing’
’Kenapa, Del, kenapa?’
***
“Mau boba nggak, Del?”
Adel menggeleng.
“Es krim deh, Paletas Wey kesukaan kamu”
Adel menggeleng lagi.
Orion menghela nafas, bingung harus berbuat apa supaya pacarnya ini mukanya nggak ditekuk terus.
“Emang kenapa sih? Orang aku gapapa kok” kata Adel datar sambil memilih-milih facial wash yang dia ingin beli.
“Ya abis muka kamu gitu dari pas aku jemput di Zenbu”
“Bukannya muka aku emang selalu gini ya?”
“Iya sih… Tapi-”
“Udah ah, Yon, santai aja, aku gapapa. Aku bayar ini dulu ya, kamu tunggu di luar aja, di sini penuh” Adel memotong kata-kata Orion dan melengos pergi ke kasir.
Di mobil, muka Adel tetap sama. Masih datar, masih dingin. Adel juga tidak banyak bicara, paling hanya menanggapi kalau Orion bicara dengannya. Bagi Orion ini hal yang janggal. Adel, walaupun memang orangnya bukan tipe yang cheerful, tapi biasanya tidak se-diam ini. Adel selalu punya topik untuk bahan pembicaraan mereka, dari topik yang berat soal permasalahan dunia, sampai topik yang ringan seperti sekedar jokes yang dia lihat di timeline Twitter. Jadi hari-harinya bersama Adel selalu penuh dengan suara mereka berdua yang seru mengobrol, tapi tidak hari ini.
“Gara-gara cowok tadi ya? Itu cowok yang pernah kamu cerita? Yang di Sydney?”
Adel tidak menanggapi.
“Hey, aku nggak bilang aku cemburu or something like that ya, so just answer my question, please? Babe?”
Kali ini Adel menanggapi dengan anggukan, tapi tetap tidak mau bicara.
“Yaudah deh, gapapa kalo belom mau cerita sekarang. Mungkin kamunya masih shock juga tiba-tiba dia muncul di depan kamu, padahal kamunya nggak pengen banget liat dia lagi kan? Soalnya keinget sama-”
Belum selesai Orion bicara, Adel sudah menundukkan kepala dan menangis. Orion yang kaget melihat pacarnya tiba-tiba menangis langsung meminggirkan mobilnya.
“Eh, yang, kok nangis sih… Maafin aku ya bawa-bawa soal itu lagi… Maaf… Cep cep udah ah nangisnya…” Orion memeluk dan menenangkan Adel dengan menepuk-nepuk pundaknya.
’Dylan Arkana. Nama yang indah, tapi telalu sakit untuk diingat…’
’Mungkin ada satu sebutan yang cocok untuk mendeskripsikan seorang Dylan’
’Bittersweet’