ririrereh

What a girl has in her mind

Hi, Seungyoun!

I know you won't read this, so let me talk freely hehe

Back then tahun 2019 waktu gue nonton PDX101 episode awal-awal, jujur gue ga pernah lirik lo sama sekali. Gue bahkan ga notice kalo lo ada. Gue baru akhirnya notice lo di performance rap lo yg so-called all-rounder itu.

My first impression to you? “Oh wow this guy is cool, kayaknya gue harus pick dia”

That's it.

Ga ada di pikiran gue kalo that day, that particular moment, jadi awal semua hal baik yang terjadi di hidup gue because of you.

Days went by sampai akhirnya lo berhasil debut di X1. Gue seneng setengah mati sampe teriak-teriak loncat-loncat kayak orang gila di KLCC (berhubung pas final PDX101 gue lagi liburan di KL haha). Then more days went by sampai akhirnya X1 diputusin bubar after only 6 fckin months.

Gue yang udah semakin tau tentang sejarah debut lo saat itu beneran khawatir sama lo. Gue takut aja lo menyerah di sini karena lagi-lagi the group you belongs to bubar karena keadaan. But when I saw the message you wrote not long after the announcement, I realized you're stronger that I thought. Di situ juga momen gue memantapkan hati: I'm gonna stay with you and follow your journey.

Beberapa bulan kemudian, you finally released your 1st solo album. Gue bangga banget saat itu, tau ga Yon? Semua orang gue racunin lagu lo. Gue bangga-banggain lo di depan semua temen-temen gue karena lo emang sekeren itu! Dan seluruh isi dunia harus tau lo keren!

Saking bangga dan cintanya gue saat itu sama lo, gue juga memutuskan buat all out buat lo. Semua potensi gue bakal gue keluarin demi lo. That's how I joined Woodzsubs, my 1st community. Gue sangat menikmati hari-hari gue sama Woodzsubs. Setiap hari translate konten-konten lo sambil ngobrol-ngobrol juga sama teman satu team, berpusing ria bareng sama translator karena kita ga ngerti lo ngomong apa, hyping bareng sekaligus bilang “omg new work coming” tiap lo rilis konten with no subs. It was very memorable to me and I miss it to be honest. It was a pity that we need to shut down.

Days, weeks, months, years went through. Selalu ada lo di hari-hari gue. Sekali pun gue sempet lebih fokus ke artis lain, lo selalu punya tempat di otak dan hati gue. You never left.

And we came to this year, 2023. The 4th year since I decided to be your fan. I never thought that this year will be my best year so far in my life thanks to you.

Started from your visit to Jakarta back in June. Lo tau ga Yon? Gue ga pernah seharian nyengir terus sampe pipi gue sakit, segitunya gue seneng di hari itu. It was the best day in my life, momen-momennya terekam jelas di otak gue. Melihat banyaknya orang yang dateng hari itu bikin gue makin bangga sama lo, Yon. Like, look what you've become! You've grown bigger than ever! Bangga banget! Di hari itu juga gue ketemu banyak teman baru yang sama sayangnya sama lo. Ah, ga bisa berkata-kata lagi gue buat menggambarkan how happy I am that day.

Terus ya, Yon, mulai dari hari itu my life just gets better & better everyday. Gue punya makin banyak temen Moodz, gue gabung INA MOODZ, ikut event-event yang berhubungan sama lo bahkan jadi panitianya. Yon, there's just so many fun and great things happened in my life this year thanks to you!!! Gue bener-bener ga bisa list satu persatu karena terlalu banyak huhu.

Sampai akhirnya sampai OO-LI AND IN BKK kemarin, konser terakhir lo di 2023 ini. Jujur, I was not going to go, karena gue pikir kayaknya bakal ada banyak kerjaan di akhir tahun. Tapi gatau kenapa ada satu feeling yang terus-terusan nyuruh gue buat pergi, minta gue buat nekat aja ketemu lo. And so I did. And my feeling was right as this is the last time I can meet you in person at least until 2025, since you will go for another journey for your country soon.

Yon, lo tau ga kemaren kita kira-kira ada 40 orang loh berangkat dari Indonesia demi lo? Gila ga sih? Dan tau juga ga Yon kalo orang-orang ini baik dan cantik semua? Meleleh banget gue sama mereka, sampe bener-bener gamau pisah. Saat ini selain sedih pisah sama lo, gue juga sedih pisah sama mereka. Kayak bener-bener kehilangan gitu. Hidup gue hampa, kosong.

This BKK trip, was my first overseas country trip that I will cherish forever in my heart. And again, all thanks to you, Seungyoun.

So Seungyoun, hear me out.

Thank you for existing in this world. Thank you for stealing my heart away. Thank you for staying strong. Thank you for not giving up. Thank you for always thinking of us. Thank you for always being close to us, even though we are not together. Thank you for everything you did for us. Thank you for all the nice things you said to us. Thank you for being our role model. Thank you for being our friend, older brother, younger brother. Thank you for your love.

Thank you for being you, Cho Seungyoun.

Good luck on your upcoming journey and please remember that I won't go anywhere. You already had that special place in my heart.

Also, please remember that sometimes it's okay to be weak and seek comfort from others. I hope you're not suffering by yourself by enduring things that you feel you need to endure. Although I know and I believe you have a strong heart, but still please find your loved ones when you need them.

Stay healthy, I will also do the same thing.

I love you❤️

[2023 in Riri's World – FEBRUARY]

Habis jalan-jalan, terbitlah sakit. Ya, Februari gue dimulai dengan sakit, both physically and mentally🤡 Physically karena pulang dari Jepang, gue batuk pilek dan bahkan uvula gue kayak bengkak radang gitu. Sampe gue kudu bolak-balik ke THT dan akhirnya disarankan buat operasi amandel karena basically tenggorokan gue bentar lagi ketutup sama dua amandel gue yang udah kelewat gede itu wkwk. Cerita operasi amandelnya nanti di Maret ya.

Mentally gue bener-bener dihujani dengan tumpukan pekerjaan setelah liburan di Jepang itu. Kek..... Anjir lah kerja mulu wkwkwk even gue lagi nyalon pun buka laptop jirrrr. Cuman sebenernya pekerjaan yang gue lakuin di Februari ini termasuk yang menarik dan challenging sih. So even though it's mentally draining, but it was a fun, memorable project.

Project di Februari ini juga yang membawa gue terbang ke Bangkok buat business trip perdana gue! Bokap gue itu kan emang kerjaannya dari dulu selalu banyak business trip gitu ya, terutama keluar negeri karena beliau selalu kerja di perusahaan multinasional. Jadi gue tuh selalu bermimpi-mimpi gitu juga kalo udah kerja pengen deh bisa yang pergi-pergi ke luar negeri gitu. And it came true this year✨️

Jadi project yang gue kerjain ini itu semacam provide brand ambassador dari Indonesia dan Philippines untuk salah satu mobile game gitu deh, dan mereka harus syuting buat iklannya di Bangkok, makanya gue sebagai pihak agency juga ikut terbang kesana basically buat kayak “ngawal” artis-artis kita ini lah.

Yang kerennya, kita ngawal doang tapi dikasih service-nya sama kayak artisnya wak WKWKWKKW. Gue 10 hari di Bangkok nginep di The Peninsula (hotel ⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️) dan kemana-mana dianter pake Alphard plus supirnya. Bener-bener persis sama kayak service yang artis-artis gue dapet hahahahahha gila sih. Baru pertama kali tuh gue merasakan kehidupan selebriti kayak gitu😂

The schedule in Bangkok went well. Alhamdulillah semua lancar walaupun pastinya ada kayak kurang-kurang atau kepusingan pas lagi eksekusi syuting, but in general everything went smooth and can be ended with a happy note.

DAAAAAN ADA YANG LEBIH BIKIN HAPPY LAGI SIH DI FEBRUARI AWOAKWOKWWOKWOK

Well.... Di Februari ini gue diingatkan lagi gimana rasanya diperhatiin sama seseorang.... WKWKWK

Maksudnyaaa, ada hati yang termanis dan penuh cinta jiakhjiakhjiakh wkwk ga ga, maksudnya emang di bulan ini ada lah seseorang yang muncul trus mengoyak-ngoyakan hati mungil yang selama ini ketutupan sama image girl boss gue. Ya gue gatau sih, intensi dia apa memperlakukan gue seperti princess begitu. Apakah memang dia begitu sama semua orang atau sama gue doang ya gue gatau sihhhhhh. Cuman gue gamau peduliin itu, yang penting gue seneng aja pokoknya🥰

Bahkan gue masih senyam-senyum orgil sambil ngetik ini. Ah, susah banget ngelupain memori di Februari ini. Rasanya pengen gue ulang semuanya (kecuali part kerjanya) (tapi part kehidupan selebritinya boleh)

The point is, that was my first time EVER to be treated like that by a man, and I felt so loved as a woman. Every little time that I spent with him was so nice that to be honest, I hate that it has to end and we have to be separated. I don't care what other people said about my feelings back then because what I know, and I admit, I fell for him at that time. If it wasn't because our language barrier, I would've keep hitting hard on him and make him mine. There, I said it🫣

[Lesson Learned in February] Feeling loved by someone, do make you love yourself even more🥰

[2023 in Riri's World – JANUARY]

Tahun 2023 dibuka dengan PCD, hahahah. Thanks to Seventeen yang tiba-tiba balik lagi ke Indo di akhir Desember 2022, padahal September-nya baru dateng🫠 But it really was one of the best concert I've ever attended. 9 jam lebih diguyur hujan tapi dapet barikade jadi deket banget sama mereka? Best memory ever.

Di Januari juga gue menetapkan goal baru untuk 2023: have more friends and connection. Semakin berumur gue sadar kalau temen-temen gue udah sibuk semua dengan hal mereka masing-masing. Well, anyway gue sama mereka juga low maintainance relationship sih, means kalo ga saling ngabarin berarti lagi baik-baik aja, kalo ngabarin malah berarti ada sesuatu🤪 Tapi gatau ya, suddenly di awal tahun ini, gue merasa pengen aja punya temen-temen baru, yang mungkin bisa gue recokin tiap hari, bisa gue ceritain hari-hari gue trus langsung dapet respon deh gitu. Chronically online friends lol.

Tadinya gue sempet mikir kayak mau gabung komunitas atau join hobi baru gitu biar punya temen-temen baru. Ternyata dikasih temen-temen barunya lewat jalur lain, beneran seperti yang gue harapkan di bulan ini lagi aaakkkk. Nanti ya soal yang ini ceritanya berlanjut di catatan bulan Juni-Juli😙

Di Januari ini juga, gue akhirnya berkesempatan ke Jepang! Salah satu destinasi impian banyak orang yang ga gue sangka jadi tempat team building kantor gue🥹 Dulu waktu pertama bos gue bangun kantor ini, cita-cita dia adalah ngirim kita semua liburan ke Jepang, and she did🎉

Japan was soooo much fun. Banyak banget hal pertama di trip ini: – Pertama kali trip belasan orang (pake 1 guide, tapi ujungnya gue bantuin dia sih karena kesian wkwk) – Pertama kali ngerasain musim dingin – Pertama kali ngerasain suhu di bawah 0° – Pertama kali ngerasain salju + hujan salju – Pertama kali pake hot pack wkwk (dan norak dikit beneran digesek-gesek doang langsung panas) – Pertama kali naik Shinkansen – Pertama kali ke Disneysea (beda ya sama Disneyland) Dan mungkin banyak hal pertama lainnya yang gue lupakan😆

But despite the fun, di trip ini gue juga menyadari bahwa ga mudah untuk pergi jalan-jalan banyak kepala. Susaaah banget buat nentuin apa-apa karena idenya banyak, kemauannya juga macem-macem. It was a bit of a headache, but it went well thankfully.

And so, my January ends with a happy note, and pain because my leg got swollen after crashing down while playing sleigh in Japan. Also, my throat got swollen... This story will continue in February🫠

[Lesson Learned in January] It was not easy travelling with many people, need a cold head and a warm heart🧘🏻‍♀️

• Dear, Moodz •

Terima kasih, kalian bikin hidup gue rame setiap hari

Terima kasih, kalian bikin energi-energi terpendam di badan gue keluar semua ketika ketemu kalian

Terima kasih, kalian bikin semua beban hidup gue lepas ketika ketemu kalian

Terima kasih, kalian bikin gue mikir harus tes MBTI lagi. Kayaknya gue E bukan I?

Terima kasih, kalian bikin gue ketawa terus, baik online maupun offline

Terima kasih, kalian bikin gue merasa ga gue doang yang kelakuannya gila kalo fangirling

Terima kasih, kalian bikin gue selalu menunggu-nunggu hari dimana bisa ngumpul sama kalian lagi

Terima kasih, sudah mau ngumpul terus as if ga ketemu sebulan badannya meriang semua

Terima kasih, sudah menanggapi kelakuan gila gue, jokes receh gue, semuanya

Terima kasih, sudah menanggapi juga keluh kesah hidup gue yang ga ada hubungannya sama Uyon

Terima kasih, sudah mau temenan sama gue yang udah lumayan berumur ini

Terima kasih, sudah bikin gue ngerasa muda terus dengan kehadiran kalian

Terima kasih, untuk kakak-kakak Moodz yang lebih tua dari gue, yang sudah bikin gue ga ngerasa udah ketuaan untuk fangirling (we're all in this together girls)

Terima kasih, sudah menjadi fandom ternyaman di hidup gue

Terima kasih, sudah menerima gue apa adanya

Terima kasih, sudah bikin gue jadi pribadi yang lebih ceria, jadi lebih lepas dan ga emo lagi

Terima kasih, kalian mengajarkan gue enaknya punya teman-teman yang selalu ada buat gue (mentally)

Terima kasih, untuk semuanya

You guys are truly the game changers of my life in 2023

No words are enough for you guys, so I just want to say:

I love you, more than you guys might notice

And I'm forever grateful to WOODZ that brought us all together. It truly is #WOODZDANKITA

2023 will be my best year so far in my life thanks to you guys

Hope you all stay healthy until the day we can ALL meet WOODZ again together!🧡💙

Salam cegil🤘🏻 (Sorry ya aku mabok)

• This Was Supposed to Be a Good Day •

[Uyon’s POV]

“Le, lo bawa mobil kan? Bantuin gue bawa Caca ke IGD terdekat ya. Iya sekarang, gue lagi bawa dia kesana. Siapin mobilnya ya, Le. Thank you” Ujar gue di telepon ke Leo dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan emosi gue.

Gue berjalan cepat ke arah Caca untuk menggendong dia dan membawanya pergi dari tempat ini. Namun dihentikan oleh si brengsek yang tiba-tiba menahan tangan gue.

“Yon, Papa bisa jelasin” Katanya.

Gue melepas pegangan dia dengan kasar dan berkata sambil sedikit menggeram, menatap tajam ke arahnya.

“Nggak ada yang perlu lo jelasin dan gausah sebut-sebut kata ‘Papa’. Gue nggak anggep lo bokap gue”

“YON?? CACA KENAPA???” Rania panik ketika melihat gue sampai di parkiran menggendong Caca yang masih pingsan. Masih dalam tenang, gue meminta Leo membuka pintu mobilnya dan membaringkan Caca perlahan di kursi belakang.

“Belum tau, Ran, but I’m pretty sure she’s fine. Kayaknya dia butuh istirahat, tapi nggak di sini. Lo temenin Caca boleh ya, Ran? I wish I could go but it’s Mbak Ugi’s big day. I can’t ruin it” Kata gue yang disambut dengan anggukan dari Rania.

“Titip Caca ya Le, Ran. Thank you so much”

Setelah mobil Leo pergi, mendadak sekujur tubuh gue lemas sampai tidak kuat berdiri. Emosi yang dari tadi gue pendam akhirnya keluar. Marah, rasanya marah sekali gue melihat orang brengsek itu di sana bersama Caca, walaupun gue belum pasti apa yang terjadi di ruangan itu sebelum gue datang. Khawatir juga kalau yang terjadi adalah hal yang membuat Caca trauma sampai bikin dia pingsan. Otak gue kalut, terlalu banyak hal negatif yang gue pikirkan saat ini.

‘This was supposed to be a good day… Why God, why…’

Gue membiarkan semua emosi negatif gue keluar terlebih dahulu. Damn, nggak pernah ada di pikiran gue kalo gue akan duduk lemas menangis di parkiran mobil seperti ini, sebuah adegan yang seharusnya cuma ada di drakor. Untungnya parkiran ini sepi, sepertinya hampir semua tamu undangan sudah datang.

‘Ah iya, Mbak Ugi’

Gue melirik jam, ternyata sudah tepat waktu acara pernikahan Mbak Ugi seharusnya dimulai. Gue buru-buru berdiri dan berjalan sambil menyeka air mata gue.

‘Tunggu ya, Ca. Aku akan susul kamu setelah semua ini selesai’

Untungnya pernikahan Mbak Ugi berlangsung lancar. Si brengsek itu juga tidak terlihat lagi ada di sini, at least tidak ada di pandangan gue. Gue benar-benar akan menghabisi dia kalau dia berani memunculkan dirinya di depan Mbak Ugi dan Mama.

Setelah acara selesai, gue baru memberanikan diri bilang ke Mbak Ugi dan Mama kalau Caca tadi pingsan dan ada di IGD sekarang. Sepanjang acara tadi dua-duanya terus menerus nanyain Caca ada dimana, gue alasan aja jawab Caca asik ngobrol sama Rania, Leo, dan Brian. Toh pada akhirnya mereka juga lupa sama Caca karena sudah terlalu banyak tamu yang datang menyalami ke pelaminan.

“Yaudah kalo gitu berangkat sekarang gih ke Caca. Kabarin Mama ya, Yon… Mama khawatir juga…” Kata Mama.

“Gapapa nih, Mbak? Gue pergi sekarang? Lo nggak ada yang bantuin.. Ntar Mama juga pulang sama siapa..” Gue menengok ke arah Mbak Ugi, sebenarnya masih nggak enak sama dia kalau pergi duluan.

“Gapapa, Dek. Kan banyak sepupu-sepupu, ada keluarganya Rio juga. Banyak kok yang bantuin. Udah lo gausah nggak enakan sama gue, urusin dulu aja cewek lo. Dia lebih butuh lo sekarang. Mama kan nanti nginep juga di hotel sama tante-tante, jadi pasti ada barengannya kok. Tenang aja” Jelas Mbak Ugi panjang lebar menenangkan gue walaupun mukanya jelas banget terlihat khawatir.

“Kalau gitu aku duluan ya, Ma, Mbak. Sorry.. Nanti aku kabarin ya” Kata gue sambil bergegas menuju mobil gue dan pergi ke tempat Caca.

[Caca’s POV]

‘Pusing… Silau…’

‘Ini dimana…?’

‘Kok gue diinfus…?’

Pikir gue sambil melirik lemah melihat sekitar gue. Kepala gue rasanya pusing banget, seperti mau meledak. Dengan mata yang cuma bisa sedikit gue buka saking beratnya, gue melihat ada yang datang setengah berlari ke arah gue.

“Ca! Lo udah bangun?!”

“Oh.. Rania..?” Gue mencoba menebak dari suaranya.

“Thank God akhirnya lo bangun juga.. Yooon! Caca udah bangun nih!” Teriak Rania, suaranya antara senang, panik, khawatir, semuanya bercampur jadi satu.

Tidak lama ada sesosok laki-laki masuk dan berlari ke arah gue. Dia langsung duduk di sebelah gue, memegang tangan gue erat-erat sambil menundukkan kepalanya.

“Thank God you’re okay…” Uyon berkata lirih. Suaranya bergetar dan tak lama kemudian gue bisa merasakan tetesan air matanya di tangan gue yang dia pegang erat itu.

Gue yang masih bingung dengan situasi ini cuma bisa diam. Gue berusaha mengingat apa yang terjadi, tapi kepala ini sepertinya tidak mau diajak berpikir. Mata dan dahi gue sampai mengernyit gara-gara sakit kepala ini.

“Gue yakin lo lagi mencoba paham sama situasi ini, Ca. Tapi udah ya gausah dipikirin dulu? Kayaknya lo masih perlu istirahat. Kita juga keluar dulu aja yuk, Yon? Tadi kan kita mau makan sebentar trus balik lagi ke sini. Jangan sampe kitanya drop juga” Kata Rania yang sadar akan kondisi gue sambil membujuk Uyon untuk membiarkan gue benar-benar siuman dulu.

Dengan tenaga seadanya, gue menggerakkan tangan yang dipegang Uyon dan mengusap air mata di pipinya. Gue tangkup pipinya, mengarahkan wajahnya untuk melihat gue.

“Makan dulu ya, Yon. Aku gapapa kok” Bujuk gue dengan suara lemah.

Uyon mengangguk pelan dan tersenyum.

“Nanti aku balik lagi ya, cantik”

• First Meeting •

V: Lun, di Paul PIM 3 ya meeting-nya, jam 8 malem L: 8 malem mbak?? Nggak salah?? V: Gue juga tadi mikir gitu.. Tapi beneran Lun, kata manager-nya jam segitu.. Nanti pulangnya lo grab aja ya reimburse. Oh iya, bill-nya juga nanti reimburse ya.

Asli bete banget gue. Biasanya juga kalo meeting sama manager influencer tuh paling telat jam 5 lah. Jadi malem tuh udah anteng istirahat di rumah. Kalau jam 8 aja baru mulai meeting, mau selesai jam berapa? Belum lagi kalau datengnya ngaret.

Gue merengut seharian di kantor. Udah mah kerjaan yang lain juga masih numpuk, ditambah harus meeting malem-malem. Rusak banget mood gue seharian.

“Manyun mulu lo” kata Helen sambil nepok gue dari belakang.

“Gue disuruh meeting jam 8 malem yakali nggak manyun???” jawab gue ketus. Helen cuma ketawa aja ngeliat gue.

“Hahaha ya tapi lo mending Lun, bisa sampe di tahap meeting sama manager-nya. Gue dulu belom sampe meeting udah ditolak” Helen ini dulu termasuk yang pernah approach Evan Cho buat project team dia.

“Dulu lo pas ditolak, pihak dia bilang alasannya apa, Len?”

“Nggak ada alasannya. Manager-nya cuma bilang Evan belum tertarik gitu. Padahal gue nggak usaha nego harga dia berhubung budget-nya masuk. Eh tapi ya, harganya termasuk murah masa buat influencer segede dia. Denger-denger dia emang old money sih”

“Oh pantesan sombong, udah kaya” tanggap gue malas.

“Tapi dia ganteng sih jujur, lo liat deh foto IG feed dia yang terbaru” Helen nyodorin HP-nya ke gue.

“Kecium banget nggak sih bau-bau uangnya? Liat aja dasinya Prada” lanjut Helen.

“Biasa aja, percuma ganteng kalo sombong. Udah ah gue banyak kerjaan nih! Kerjaan lo emang udah kelar??” gue ngusir Helen sebelum tambah bete ngomongin si Evan Evan ini.

“Yeu galak bener jadi cewek! Awas ya lo kalau ntar jadinya naksir ni orang, kabar-kabarin kalo iya soalnya gue mau ledekin lo😛”

“Dih, nggak akan😠”


[Paul PIM 3, jam 8.30 malam]

Kan bener, jadinya ngaret. Udah gue duga yang kayak gini nih nggak mungkin bisa nepatin janji. Ntar alasannya kerjaan sebelumnya baru beres lah, ada urusan lain dulu lah. Klasik.

Berhubung belum pernah ketemu, gue jadi sungkan juga buat terus-terusan nanya Mas Dion, manager-nya Evan Cho, udah sampai mana. Sebete apa pun gue tetep bawa nama kantor, harus jaga image.

“Sorry, Luna ya?” tiba-tiba ada laki-laki dengan tubuh agak gempal menyapa gue. “Aku Dion, yang kontakan di WA hehe”

“Oh iya, halo Mas Dion! Apa kabar?” Gue yang tadi lagi nyeruput hot latte pesenan gue sontak langsung bangun dari kursi, memasang senyum korporat dan menyapa Mas Dion.

Eh? Tapi perasaan Mas Dion bilangnya dateng sendiri deh?

“Baik Luna, kamu baik juga kan? Oh iya, sekalian kenalin ini Evan” Mas Dion memperkenalkan laki-laki satu lagi yang dari tadi berdiri di belakang dia.

“Aaah, hai Kak Evan! Aku Luna” gue menyapa laki-laki berparas dingin ini, masih dengan senyum korporat.

Orang yang disapa cuman diem aja ngeliatin gue.

“Sorry nggak ngabarin dulu kalo Evan ikut juga ya, Luna. Tadi kita abis ada kerjaan lain dulu jadi dia sekalian aja ikut ke si-”

“Gue terpaksa ikut ya soalnya lo gamau nganterin gue pulang dulu” potong Evan.

Kata-katanya bikin gue dan Mas Dion bengong ngeliatin dia.

'BUSEEEET IYA DAH TUAN MUDA MINTA MAAP DAHHH' gerutu gue dalam hati. Sesuai dugaan gue ini orang beneran ngeselin. Gue langsung meratapi nasib gue yang harus peres ke dia.

“Aaaa....hahahaha iya iya anyway menurut aku ada bagusnya juga Evan ikut biar diskusinya lebih enak gitu hehehe” kata Mas Dion rada kikuk plus bingung juga mau nyelametin muka artisnya yang ketus ini.

“Hehe iya mas setuju setuju, duduk yuk pesen minum dulu” gue mempersilakan keduanya duduk sambil siap-siap manggil waiter buat ambilin menu.

“Di luar aja duduknya, gue mau ngerokok” kata Evan singkat padat jelas dan langsung melengos aja ke smoking area.

Gue sama Mas Dion bengong lagi sambil liat-liatan. Jujur jadi rada kasihan juga sama Mas Dion harus ngurusin orang macem Evan.

“Errr... Gapapa kah Luna kalo sambil ngerokok?” tanya Mas Dion, nggak enak sama gue.

“Gapapa kok masss, udah biasa kok di kantor juga pada ngerokok hehe yuk pindah ke luar”

Biasa lah, peres😔


Untung meeting-nya lancar-lancar aja, no drama. Si Evan Evan ini juga nggak komentar apa pun (yang sebenernya bikin gue deg-degan sih sebenernya dia tertarik sama project-nya atau engga).

Cuman sepanjang meeting gue gerah aja liat dia ngerokok nonstop sambil main HP. Kayak bisa nggak sih dia perhatiin juga meeting-nya? Ya tau sih dia ke sini terpaksa tapi kan ujung-ujungnya dia ntar yang jalanin project-nya, nimbrung dikit kek.

“Mau sampe jam berapa ngobrolnya?” Evan sekalinya nimbrung malah bilang gini. Padahal gue lagi seru ngejelasin konsep-konsep photoshoot dia ke Mas Dion.

“Oh udah hampir setengah 10 ya ternyata?” kata Mas Dion setelah ngecek jam. Gue pun baru sadar udah jam segitu.

“Sorry banget ya, Luna, gara-gara tadi telat jadi sampe malem banget deh”

“Oh iya gapapa maaass, santaii hehe”

“But anyway, kita udah dapet kira-kira project-nya gimana. Ini kita bawa dulu ke internal kita baru kita kabarin lagi kelanjutannya gimana yaa”

“Okee siap mas, ditunggu loh kabar baiknya hehe”

“Semoga yaa. Eh btw, kamu pulangnya ke arah mana? Kalo searah bareng aja kita anter-”

“Gue mau langsung pulang” potong Evan.

Mas Dion nengok ke arah Evan, mukanya kayak speechless gitu denger kata-katanya.

“Kasian Van udah malem cewek pulang sendiri” kata Mas Dion.

“Bisa naik taksi kan? Lagian gue lagi nggak mood ada orang lain di mobil” jawab Evan.

Kali ini gantian gue yang speechless denger kata-kata dia. Yaelah, siapa juga sih yang minta dianterin??? Kok bisa yah dia ngomong kayak gitu???

“Udah gapapa, Mas Dion. Aku naik taksi aja bisa kokkk tenang. Kalau gitu sebelum makin malem, aku duluan ya? Nanti kalau ada apa-apa langsung WA aku aja ya mas!” ujar gue berusaha santai, walaupun dalam hati sebenernya kesel banget denger omongan Evan si paling artis.

Setelah membayar, gue langsung pamit sama mereka.

“Bye Mas Dion, Kak Evan, nice to meet you both! Sampai ketemu lagi yaa” gue dadah-dadah friendly ke mereka yang dibales dadah-dadah juga dari Mas Dion. Kalo dari Evan dibalesnya pake tangan yang disilang di depan dada sama muka cemberut.

He's 100% a jerk indeed.

• Luna, The Project Manager •


“Luna, dipanggil Mbak Vega tuh”

“Oh iya sebentar mbaak” jawab gue sambil buru-buru menelan sisa biskuit di mulut dan minum air seadanya. Nggak lupa gue ambil laptop gue, kali aja ada yang perlu.

Gue suka deg-degan kalau udah dipanggil sama Mbak Vega, soalnya kemungkinannya cuma ada dua: 1. Mau ada anak baru masuk dan gue yang diminta jadi mentornya 2. Ada project baru trus gue yang disuruh jadi PIC-nya

Nggak habis pikir deh gue sama Mbak Vega, si atasan gue ini. Kenapa sih gue terus yang dikasih kerjaan??? Emang Project Manager di kantor ini gue doang apa??

Mentang-mentang cuma gue yang belom nikah dan jomblo, semua-semua dikasih ke gue. Weekend pun yang standby gue. Dipikir gue di rumah mulu apa, gue kan juga suka jalan keluar kalo weekend. Huft.

Walaupun jalan-jalan sendiri tetep aja itu me-time gue. Hidup gue nggak melulu ngurusin kerjaan kali.

“Mbak Vega, ini Luna masuk ya” ujar gue sambil mengetuk pintu ruangan Mbak Vega.

“Oh iya Luna masuk aja” jawab Mbak Vega.

“Hai mbaak, gimana gimana ada apa nih manggil hehe” kata gue dengan nada antusias ala budak korporat. Padahal aslinya mah lagi ngomel-ngomel dalam hati.

“Jadi gini Lun, kita dapet request nih dari salah satu clothing brand buat handle dealing brand ambassador mereka”

“Hmm.... Okay..”

“Nah tapi mereka tuh udah spesifik banget nih mau deal sama siapa buat brand ambassador-nya...”

Perasaan gue ga enak nih...

“Siapa emang mbak?”

“Itu loh.... Evan..”

“Evan... EVAN CHO???”

Evan Cho. Si influencer paling ngartis selama karir gue di ranah ini.

Ya memang sih dia punya jumlah followers yang besar di setiap media sosial dia, udah punya fanbase yang tetap juga, malah cenderung militan. Cuman gayanya itu lho, selangiiiit. Team lain pernah coba dealing dia buat project lain, ditolak mentah-mentah semua. Nggak pakai alasan jelas lagi, pokoknya ditolak aja.

“Mbak tapi kan mbak tau sendiri kita udah berkali-kali approach dia nggak ada yang tembus..” kata gue dengan muka melas.

“Iya sih, team lain pada ditolak semua. Tapi team lo belom pernah coba approach dia kan? Siapa tau yang kali ini tembus, Lun. Udah gitu ini brand-nya nggak sembarangan loh, gue liat-liat juga dia fashionista banget, kayaknya mau deh dia.

Dan gue percaya banget sama kemampuan lo, gue yakin project ini bakal mulus kalau dipegang sama lo. Ini margin-nya bakal gede banget lho, bisa bikin bonus akhir tahun lo makin gede juga”

'Bisa aja ini sales satu' pikir gue dalam hati.

“Nggak bisa pakai influencer lain aja ya mbak?”

“Nggak bisa, Lun.. Baru akan tembus kalo kita berhasil deal sama Evan. Ini akan jadi big deal banget buat kantor kita, that's why gue percayain ke lo”

Ya emang pada dasarnya nggak ada pilihan lain buat gue. Di kantor ini emang selalu kayak gitu.

“Sebenernya buat memudahkan lo, gue udah coba nih buat minta si brand yang kontak duluan, tapi nanti langsung diarahin ke kita. Gue lagi nunggu update-nya, nanti begitu ada gue arahin ke lo yaa”

“Yaudah mbak, oke. Tapi gue coba semampu gue dulu aja ya..” kata gue pesimis.

Evan Cho.

Si paling ngartis.

Let's see how great you are.

[Hello, Future!]

27.

Dua puluh tujuh.

Umur yang aneh.

Dibilang muda, udah engga. Tapi kalau dibilang tua, belum juga. Tergantung siapa yang lihat sih.

Kalau yang lihat anak-anak sekolahan atau kuliahan, oke mungkin 27 itu tua. Umur 27 di bayangan mereka itu mungkin udah nikah, punya anak satu, have a stable job, a car, a house. Udah mapan dan settle lah pokoknya, tinggal menikmati hidup aja, menua bersama pasangan dan keluarga mereka, happy-happy sampai tua.

Kalau yang lihat seumuran bokap nyokap, kayak 50-an ke atas gitu, pasti menurut mereka 27 masih muda. Eh, ada juga kali ya yang menganggap udah tua soalnya nyuruh-nyuruh cepet nikah terus. Tapi gue yakin sebagian besar menganggapnya 27 masih muda lah. Masih bebas menggapai mimpi, masih bisa mengejar karir, cinta, apa pun yang diinginkan.

Kalau yang lihat teman-teman seumuran, mixed feelings sih. Mungkin ada yang berpikir: “waah dia di umur 27 udah bisa ini itu bla bla bla... hebat yaaa”. Mungkin juga ada yang berpikir: “ya ampun, dia udah 27 tapi masih gitu-gitu aja...”

Image seseorang memang tidak akan sesuai dengan umurnya. Semua tergantung kehidupan mereka masing-masing. Tergantung apa yang mereka jalani dan hadapi, dan tentunya tergantung pandangan orang-orang sekitar mereka.

Buat gue, perjalanan menuju ke umur 27 ini berat. Menjalani hidup di masa pandemi memang pasti berat buat semua orang, tidak terkecuali gue. Hanya saja buat gue pribadi, setahun kemarin sangat berat untuk mental gue.

Pandemi membuat gue lebih banyak menghabiskan waktu sendiri dan ujung-ujungnya banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu dipikirkan. Kebiasaan itu berlanjut sampai akhirnya gue lelah sendiri. Gue jadi lebih sering menangis tanpa sebab. Kalau pun gue merasa ada sebabnya, sulit untuk gue mengungkapkannya ke orang yang gue curhatin. Jadi gue curhat, ngerasa lega sebentar karena udah curhat, tapi tetep nggak plong karena masih merasa ada yang janggal. Dari situ gue mulai sadar kalau gue punya cara berpikir yang (mungkin) berbeda dari kebanyakan orang. Lalu gue memutuskan kalau gue harus cari pengalihan supaya tidak begini terus.

Pas banget seorang teman cerita kalau dia mau melanjutkan sekolah ke S2. Di momen itu lah terbersit ide: “Oh, mungkin kalau gue lanjut sekolah, pikiran gue bisa sibuk jadi nggak sempat mikirin yang lain. Udah gitu bonus bisa jadi sarjana lagi”. Akhirnya gue ikut teman gue untuk daftar S2 dengan harapan-harapan tersebut.

Turns out, here is when I made a bad life decision... Haha.

Ambil S2 tidak menyelesaikan masalah gue, malah nambah-nambahin pikiran yang udah ada sebelumnya. Kenapa? Ya, dari niat awalnya saja sudah salah. Ambil S2 bukannya untuk menuntut ilmu lebih, tapi untuk mengalihkan pikiran doang. Padahal gue termasuk orang yang konservatif kalau soal pendidikan. Gue merasa kalau sekolah itu ya harus serius untuk belajar, supaya gue bisa dapat ilmu yang belum pernah gue tau atau upgrade pengetahuan yang sudah gue punya sebelumnya. Untuk apa belajar sesuatu kalau ujung-ujungnya pas ditanya soal ilmu yang dipelajari kita tidak bisa jawab? Gue tidak mau jadi orang yang seperti itu.

Semester pertama di S2, gue masih bisa mengikuti. Jadi gue masih yakin kalau gue bisa balance antara kerja sama belajar. Tapi waktu masuk ke semester dua, gue bener-bener kewalahan. Selain karena memang lagi banyak kerjaan di kantor, tuntutan tugas dari kampus juga makin banyak. Dan yang menurut gue paling berat, apa yang gue pilih pelajari di S2 jauh berbeda dengan apa yang gue pelajari di S1. Teman-teman yang lain kebanyakan mengambil ilmu yang sama atau mirip, jadi mungkin mereka lebih cepat menangkap dan lebih mudah waktu bikin tugas. Tapi gue harus belajar ekstra, ibaratnya gue harus belajar dari level 0 buat menyelesaikan tugas yang levelnya 100. That's killing me.

Dari yang tadinya optimis, lama-lama gue semakin pesimis bisa menyelesaikan ini semua. Kepercayaan diri gue turun dan pada akhirnya depresi sendiri. Bermalam-malam gue habiskan untuk mikir apakah keputusan kuliah lagi ini masih worth it. Apakah gue beneran mau jadi sarjana S2, atau gue cuma buang-buang waktu, uang dan tenaga buat sesuatu yang gue nggak serius jalaninnya. Berat banget buat gue perjalanan untuk mendapatkan jawaban pertanyaan itu. Banyak air mata yang keluar, banyak hari-hari tidak produktif yang gue jalanin cuma karena kepikiran itu terus, bahkan gue sempet cuma nangis doang sepanjang kelas pagi di zoom. Nggak ada sebabnya gue nangis, pasti ada sih tapi kalau ditanya gue nggak akan bisa jawab. Pikiran gue terlalu rumit sampai-sampai gue sendiri sulit untuk menceritakannya.

Setelah struggle beberapa bulan, akhirnya gue memberanikan diri untuk cerita ke orang tua gue. Gue cerita kalau ternyata setelah dijalani, S2 ini tidak seperti yang gue bayangkan. Ditambah dengan beban pekerjaan yang bertambah semakin membuat tidak mudah untuk gue melanjutkan kuliah. Gue juga bilang kalau setelah dipikir-pikir, menurut gue akan lebih worth it kalau gue belajar sesuai yang benar-benar gue minati saat ini, alias belajar Bahasa Korea sampai mentok dan ambil tes TOPIK yang sudah jadi keinginan gue dari dulu. Berat banget buat gue untuk ngomong ini mengingat bokap gue sangat ingin gue punya pendidikan yang tinggi, jadi seperti menjatuhkan harapan-harapan dia gitu kan, gue nggak tega.

Alhamdulillah, gue bersyukur sekali punya orang tua yang sangat pengertian dan suportif. Mereka menerima keputusan gue dan bilang ke gue untuk lakukan apa yang gue inginkan. Apa pun itu, selama bukan yang aneh-aneh, mereka akan dukung. Rasanya hati gue plong sekali setelah itu. Beban berbulan-bulan yang gue rasakan akhirnya terangkat juga.

Begitulah ceritanya bagaimana di umur 27, gue batal jadi sarjana S2. Hehehe. Tapi gue tidak menyesal. Ya belum tahu kalo nanti jadi menyesal, paling tidak sekarang ini gue tidak menyesal dengan keputusan ini. Paling tidak sekarang gue bisa menjalani hari-hari gue dengan lebih ringan dan harapannya dapat mengurangi pikiran-pikiran dan kesedihan berlebihan gue. Satu yang gue selalu coba tanamkan selama proses pengambilan keputusan ini: menyerah bukan berarti kalah, mundur belum berarti tidak ada kemajuan. Bisa jadi dengan keputusan ini menjadi pembuka dari bagian hidup gue yang lebih baik, lebih keren, lebih bermakna, lebih membuat gue bahagia. Who knows?

Jadi, menurut gue 27 adalah year of discovery. Umur dimana kita bisa belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri sebelum kita berdiri di depan orang lain. Gue tidak sabar untuk terus mencari tahu tentang diri gue sendiri, memperbaiki bagian-bagian yang salah atau kurang, dan men-upgrade bagian-bagian yang sudah bagus jadi lebih bagus lagi. Mungkin sesekali kita membuat keputusan yang buruk, yang tidak sesuai dengan apa yang kita mau atau tidak sesuai dengan timing-nya. Tapi tidak apa-apa, namanya juga belajar. Yang penting itu adalah kalau sudah tahu salah, jangan diulang. Dan setelah tahu apa yang benar, lakukan yang terbaik. Dengan begitu kita bisa pelan-pelan semakin banyak belajar tentang kehidupan, jadi begitu tua nanti sudah semakin lurus jalannya, tidak belok-belok lagi.

Tidak masalah kalau kata orang di umur 27 kamu belum jadi apa-apa, tidak usah didengarkan. Semua orang punya standard-nya sendiri. Belum tentu standard kamu setinggi orang lain, standard orang lain juga belum tentu setinggi kamu. Jadi fokus kepada life goal masing-masing saja. Yang penting selama menjalani hidup, kamu bisa menjadi kamu yang sebenarnya. Bukan kamu yang dibuat-buat mencocokan dengan harapan sekitarmu terhadapmu.

So, hello, future! Welcome, 27! Can't wait to discover more things this year! :)

//~Tentang Sava~//

“Va, kenapa sih diem aja”

Tanya teman-teman yang ada di sekitar Sava. Hari itu mereka berkumpul setelah lama tak bertemu.

“Hah? Oh, gapapa kok” Jawab Sava singkat.

Berbeda dengan alasan sebenarnya. Sava sendiri tidak tahu pasti, tetapi dia yakin alasannya pasti panjang dan rumit.


Sava. Namanya bermakna 'ketenangan', namun dia sama sekali tidak merasa dirinya tenang. Dunia di sekitarnya sih tenang-tenang saja, berjalan seperti biasanya, tidak ada yang berbeda. Hanya dirinya yang merasa berbeda, merasa berubah.

She's not feeling herself.

And the worst part is, she doesn't know when it started nor what went wrong.

Kalau dia pikir-pikir, mungkin semuanya mulai saat si virus jahat muncul di muka bumi dan mengacak-acak tatanan hidup semua manusia di dunia. Si virus memaksa Sava untuk terus-terusan ada di rumah. Sava si introvert dan homebody ini sih sebenarnya senang-senang saja di rumah, dia bisa kerja sambil rebahan nonton TV. Jadi dia pikir dia akan baik-baik saja dengan keadaan itu.

Sebulan, dua bulan, lama-lama menjadi setahun sejak hari di mana Sava berpikiran seperti itu. Lalu dia berpikir lagi dan menyimpulkan: tidak, di rumah terus-terusan seperti ini ternyata tidak enak juga. Walaupun mungkin tidak capek dan tidak boros waktu di jalan karena setiap hari bolak-balik ke kantor, di rumah seharian kadang membuatnya tidak nyaman. Kenapa?

Dulu ketika setiap hari sibuk bolak-balik ke kantor, Sava menghabiskan waktunya di jalan dengan menonton video atau mendengar lagu. Habisnya mau ngapain lagi kan, sejam lebih sendiri di perjalanan bukan waktu yang sebentar. Kalau orang lain mungkin akan tidur, tapi Sava tidak segampang itu untuk tidur di jam yang bukan jam tidurnya. Sava itu seperti robot. Setiap hari bangun, makan, dan tidur di jam yang sama (bahkan di hari libur). Jadi untuk tertidur di perjalanan, kecuali dia sangat lelah, bukan hal yang mudah untuknya.

Ketika akhirnya dia bekerja dari rumah, Sava jadi punya lebih banyak waktu luang. Alih-alih menggunakan waktu luang itu untuk istirahat lebih, atau menonton drama dan acara favoritnya, Sava malah menghabiskannya untuk berpikir. Berpikir apa yang seharusnya tidak perlu dia pikirkan. Beberapa pikiran yang selalu menghantui Sava itu kira-kira seperti ini:

“Kenapa ya kita hidup? Kita hidup tujuannya untuk apa ya?” “Kenapa ya semua orang kelihatannya senang, tetapi aku tidak?” “Kenapa ya semua orang terlihat menarik, tetapi aku tidak?” “Kalau aku meninggal nanti, atau kalau aku tiba-tiba hilang, ada tidak ya yang sedih? Ada tidak ya yang merasa kehilangan aku?” “Ada tidak ya orang yang benar-benar sayang dan peduli terhadapku?” “Apakah teman-temanku benar-benar menganggap aku teman mereka?”

Dan masih banyak lagi, Sava juga sampai lupa saking banyaknya hal yang dia pikirkan.

Setiap hari di hampir setiap waktu luangnya, Sava memikirkan hal-hal seperti ini. Sampai akhirnya sekarang dia frustasi sendiri. Menganggap dirinya sendiri bodoh dan tidak ada gunanya karena tidak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini. Tidak jarang pada akhirnya Sava sampai menangis. Sebabnya tidak jelas, hanya frustasi saja dengan kehidupan yang sedang ia jalani.

Ketika Sava mencoba menceritakan ini kepada teman-temannya, sebagian besar akan mengatakan “kamu itu terlalu jauh pikirannya, Sava” atau “sudah lah tidak perlu dipikirkan”. Iya Sava tahu hal-hal itu tidak perlu dipikirkan. Yang Sava belum tahu caranya untuk menghentikan otaknya sendiri itu untuk berpikir. Teman-teman juga ada yang memberikan saran bagaimana untuk menghilangkan pikiran itu. Ada yang bilang alihkan ke hal-hal yang Sava suka, atau alihkan ke Tuhan. Semua Sava sudah coba, tapi memang butuh proses. Sava mengerti tidak ada yang instan di dunia ini. Mie instan yang di namanya ada kata 'instan' saja masih butuh dimasak sebelum dimakan. Pikiran dan hati Sava juga butuh belajar sebelum akhirnya tersadarkan sendiri bahwa hal-hal itu tidak perlu dipikirkan terus-menerus.

Sava tidak sabar sampai akhirnya hari itu datang.

Sava menantikan hari dimana ia bisa mendapatkan hal seperti arti pada namanya, 'ketenangan'. Sampai hari itu datang, Sava hanya bisa terus berusaha dan berharap hari itu benar-benar datang. Juga berharap dalam proses menuju hari itu, Sava tidak akan berjuang sendirian. Sava berharap Tuhan dan orang-orang yang dia sayang dapat mendukungnya.

Sava, semoga kamu tidak putus asa dan dapat menemukan ketenangan yang kamu inginkan. Semangat ya!


Sava. Anaknya introvert dan pemalu, tapi sebenarnya dia sangat suka berada dekat teman-temannya. Sava bukan orang yang mudah untuk bergaul ketika pertama kali bertemu orang baru, tapi kalau diajak mengobrol dia sangat senang dan antusias. Kalau temannya antusias untuk berteman dengan Sava, pasti dia akan menyambut pertemanan itu dengan senang hati.

Kalau sudah berteman, Sava adalah orang yang loyal. Sava tidak mudah meninggalkan orang yang dia sayangi. Kalau sudah sayang, Sava bisa sampai melakukan apa saja untuk orang itu asal masih dalam batas normal (kalau sampai diajak narkoba atau seks bebas ya Sava tidak mau juga).

Jeleknya, sifat loyal Sava ini kalau berlebihan bisa menjadi sifat posesif. Misalnya Sava akan menjadi sedih kalau teman yang Sava sayangi dekat dengan orang lain, walaupun Sava sadar sebetulnya hal-hal itu sah-sah saja. Sava tidak punya hak juga untuk mengatur-atur temannya boleh berteman sama siapa. Karena sifat ini, Sava menjadi takut sendiri. Dia takut teman-temannya akan meninggalkannya karena dia punya pikiran seperti ini. Dia sedang berusaha untuk memperbaikinya, tapi bagaimana jika temannya tidak sabar dan meninggalkannya duluan? Bagaimana jika temannya jadi merasa jijik dengan sifatnya? Bagaimana jika ia ditinggal sendiri karena sifat ini?

Sava sering sekali menangis karena ini. Sava menangis karena takut. Takut dan sebal terhadap dirinya sendiri. Kenapa dia harus mempunyai kecurigaan seperti itu? Kenapa dia tidak bisa percaya sepenuhnya terhadap teman-temannya? Kenapa dia terus-terusan merasa insecure terhadap dirinya sendiri?

Akhir-akhir ini Sava teringat, dulu ketika SD ada teman Sava yang baik terhadapnya, suka bermain bersama, dan teman itu pintar juga berprestasi sehingga Sava seperti mengidolakan dia dan menjadikannya sebagai role model. Tetapi suatu saat, temannya ini tiba-tiba menjelekkan Sava di depan teman yang lain. Mengatakan bahwa paras Sava jelek dan mulutnya bau serta kotor. Ketika itu Sava tidak berkata apa-apa, Sava juga tidak ingat apakah waktu itu dia merasa sakit hati atau tidak. Tapi kalau diingat sekarang, rasanya sakit sekali. Walaupun mungkin hanya ledekan anak kecil, tetapi ternyata sangat membekas di hati Sava.

Pernah juga ada Sava dekat dengan satu anak laki-laki. Sava sangat menyukai anak laki-laki ini, sama halnya dengan anak laki-laki itu yang pernah bilang ke Sava kalau dia juga menyukai Sava. Tetapi beberapa minggu kemudian, Sava tidak sengaja tahu bahwa anak laki-laki berpacaran dengan teman dekat Sava yang selama ini menjadi tempat curhat Sava tentang anak laki-laki itu.

Waktu kuliah Sava juga pernah dekat dengan seorang laki-laki yang ia kenal lewat temannya. Mereka sempat berpacaran sebentar sampai akhirnya Sava memutuskan hubungan tersebut setelah ada kejadian yang sangat menyakitkan untuk Sava. Di hari itu, Sava berjanjian dengan pacarnya untuk menonton pertunjukkan teater di kampusnya. Si pacar sudah bilang akan datang, tetapi tidak muncul sampai pertunjukan selesai. Sava pada akhirnya menonton sendirian sambil merasa cemas, mengkhawatirkan si pacar kemana kok tidak muncul-muncul dan tidak memberi kabar. Apa dia sakit? Atau ada masalah apa? Sava berakhir tidak mendapat kabar apa pun dari si pacar dari hari itu sampai sebulan kemudian. Selama sebulan perasaan Sava kacau, dia terus-terusan mencoba menghubungi si pacar, tapi hasilnya nihil. Sebulan dia bolak-balik menangis, hatinya sakit sekali rasanya. Untungnya dia akhirnya tersadar dan mengakhiri hubungan itu.

Track record Sava dengan laki-laki memang tidak pernah bagus. Mungkin itu sebabnya susah untuk dia percaya dengan laki-laki.

Dari cerita-cerita ini Sava jadi berpikir, apakah ini sebabnya dia menjadi kadang terlalu posesif dengan teman-temannya? Apakah karena ini Sava menjadi terus-terusan curiga terhadap teman-temannya?

Sava merasa sangat tidak enak kepada teman-temannya karena dia seperti ini, tapi di waktu yang sama dia masih mencari cara untuk menghilangkan sifat-sifat itu. Sava terkadang menangis jika membayangkan muka jijik teman-temannya terhadap dia jika mereka tahu sifat Sava yang seperti itu. Belum kejadian padahal, tapi Sava merasa sudah bisa saja membayangkan. Seakan Sava yakin, kalau benar kejadian dia pasti akan hancur sehancur-hancurnya.

Saat ini untungnya Sava masih dikelilingi teman-teman yang menyayanginya. Sava terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa teman-teman ini sayang kepadanya dan peduli terhadapnya. Mereka tidak akan meninggalkan Sava begitu saja atau menjelekkan Sava di depan orang lain seperti yang pernah dialaminya dulu. Sava ingin yakin terhadap fakta itu dan terus-menerus mendoktrin dirinya sendiri agar berpikir seperti itu. Namun, tentu Sava harus tahu bahwa apa pun bisa terjadi dan dia harus siap akan hal itu.

Teruntuk teman-teman Sava, maafkan Sava kalau mungkin Sava sering curiga terhadap kalian ya. Sava tidak mau menjadikan masa lalunya sebagai alasan, tapi mungkin memang ada benarnya kalau masa lalu itu ikut andil dalam pembentukan sifat Sava yang seperti itu. Tapi Sava mau berubah kok, demi ketenangan jiwa yang Sava ingin capai selama dia masih hidup.

Terima kasih juga untuk teman-teman Sava yang selalu mendukung Sava dan banyak memberi saran agar Sava menjadi pribadi yang lebih baik. Sava ingin bilang sesuatu tetapi dia tidak sampai hati, jadi penulis yang akan bantu untuk sampaikan ya: Sava bilang Sava terima semua saran teman-teman tapi terkadang sebenarnya yang Sava butuh hanyalah dukungan dan semangat dari teman-teman. Sava minta maaf kalau kadang Sava merasa kesal ketika teman-teman berkomentar dan bukan menyemangati Sava. Biar pun begitu Sava tetap dengar saran teman-teman semua kok. Terima kasih ya.

Sava, kamu orang baik, dan kamu pantas dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi kamu. Semoga kamu terus bisa sadar akan hal ini dan belajar untuk berhenti menjadi posesif dan mencurigai teman-temanmu. Kamu pasti bisa!


“Jangan diem aja dong, Va! Ayo sini ngobrol-ngobrol bareng” Teman-teman dengan ramah mengajak Sava ke dalam obrolan mereka.

Sava, yang tadinya murung dan tidak semangat, menyambut ajakan itu.

“Yuk yuk hehe, lagi ngobrolin apa niih?”

//~fin~//

[050421]

Lagi mencoba mencerna kata-kata:

“Mau berhenti kpopan”

“Kapan ya bisa berhenti kpopan”

Hmm... As if Kpop is a forbidden thing like cigarette or alcohol? Haha.

Atau gue aja yang aneh? Karena gue rasa gue nggak bakal keluar dari lingkaran Kpop ini.

I mean, Kpop is my comfort zone. Ini satu-satunya hal yang gue bener-bener suka, bener-bener bikin gue bahagia dan bikin gue hidup.

Mungkin tergantung juga definisi Kpopan atau fangirling masing-masing orang ya. Ada orang yang fangirling sampai se-hardcore itu kayak sasaeng. Ada orang yang menganggap Kpop itu kayak sesuatu yang bisa dikoleksi, jadi rela buat bayar berjuta-juta buat lengkapin koleksi itu. Ada orang yang bener-bener kayak bodyguard-nya para idol, dilindungin dibelain mati-matian dah idol-nya. Ada juga yang support in silence dan nggak terlalu ngoyo ini itu.

Gue tipe yang support in silence.

I do speak up, tapi nggak yang sampai ikutan naikin hashtag lah, atau clean up search bar lah, kirim email protes ke label mereka lah, I don't have time for that lol.

I do spend money, tapi nggak yang sampai rela bayar jutaan cuma buat selembar kertas, atau sampai relain ini itu just for the sake of my idol.

Mungkin karena pada dasarnya Kpop buat gue, it's not just about the idol itself, it's about the culture. Yang gue suka dari Kpop itu musik dan budayanya, idolnya ya bonus. Gue makin sadar akan hal ini ketika nonton series Kpop Evolution di Youtube Originals kemarin. I really really enjoyed the show, knowing the history of Kpop, how it began, how it rose to fame, how it became the Kpop you guys know today.

Sementara yang gue lihat trennya sekarang itu, idol yang dipuja-puja. Orang suka idol-nya dulu, baru suka musiknya, baru cari tau tentang kulturnya. Ya gue nggak munafik kalo pas pertama banget gue tahu Kpop gue juga kayak gitu, tapi gue berani bilang kalau apa yang bisa buat gue bertahan denger Kpop sampai 10 tahun ini ya karena musik dan budayanya, bukan idol-nya doang.

Contoh konkrit lagi, gue malah seneng kalau idol gue ngumumin dia pacaran, beda sama kebanyakan fans yang main langsung ninggalin aja dengan bilang mereka ngerasa dikhianatin sama si idol. WTF man, emang si idol pernah janjiin apaan sampai lo ngerasa gitu, janjiin nikah? Biasa aja lah nanggepin yang kayak gini. Dengan ngumumin kayak gitu justru berarti dia masih manusia. Masih manusia yang mau juga hidupnya dia yang atur sendiri, nggak diatur-atur orang lain kayak robot. Plus, berarti dia percaya sama fans-nya, dia percaya masih akan ada orang-orang yang hargain dia nggak cuma seperti sebuah produk, tapi sebagai orang biasa yang kebetulan pekerjaannya idol.

This is getting long hahaha.

Intinya, gue baru sadar kalo banyak banget orang yang anggap “Kpopan” atau “Fangirling” itu sesuatu yang tabu banget dilakukan orang dewasa. Kayak hal itu cuma bisa lo lakuin kalo masih muda aja, masih sekolah, masih kuliah, belom ada tanggungan hidup. Jadi anggepannya tuh: “uDaH tUa MaSiH kPoPaN mAu jAdi ApA?!”

Padahal mah, santai aja kali. Kalo suka sama musiknya, sama genrenya, yaudah dengerin aja nggak ada dosanya. Kecuali kalo lo loyalnya sama si kegiatan fangirling yang terlalu ngabisin waktu ini, yaudah boleh dah lo mikir lagi ngapain lo ngelakuin hal itu padahal udah dewasa.

Lesson for today: Fangirling is not the same as you liking Kpop as a genre and culture. And for me, I like Kpop as a genre and culture, I even like Korea in general. Fangirling is a bonus.

{Now playing: I Can't Stop Me – TWICE}