//~Tentang Sava~//
“Va, kenapa sih diem aja”
Tanya teman-teman yang ada di sekitar Sava. Hari itu mereka berkumpul setelah lama tak bertemu.
“Hah? Oh, gapapa kok” Jawab Sava singkat.
Berbeda dengan alasan sebenarnya. Sava sendiri tidak tahu pasti, tetapi dia yakin alasannya pasti panjang dan rumit.
Sava. Namanya bermakna 'ketenangan', namun dia sama sekali tidak merasa dirinya tenang. Dunia di sekitarnya sih tenang-tenang saja, berjalan seperti biasanya, tidak ada yang berbeda. Hanya dirinya yang merasa berbeda, merasa berubah.
She's not feeling herself.
And the worst part is, she doesn't know when it started nor what went wrong.
Kalau dia pikir-pikir, mungkin semuanya mulai saat si virus jahat muncul di muka bumi dan mengacak-acak tatanan hidup semua manusia di dunia. Si virus memaksa Sava untuk terus-terusan ada di rumah. Sava si introvert dan homebody ini sih sebenarnya senang-senang saja di rumah, dia bisa kerja sambil rebahan nonton TV. Jadi dia pikir dia akan baik-baik saja dengan keadaan itu.
Sebulan, dua bulan, lama-lama menjadi setahun sejak hari di mana Sava berpikiran seperti itu. Lalu dia berpikir lagi dan menyimpulkan: tidak, di rumah terus-terusan seperti ini ternyata tidak enak juga. Walaupun mungkin tidak capek dan tidak boros waktu di jalan karena setiap hari bolak-balik ke kantor, di rumah seharian kadang membuatnya tidak nyaman. Kenapa?
Dulu ketika setiap hari sibuk bolak-balik ke kantor, Sava menghabiskan waktunya di jalan dengan menonton video atau mendengar lagu. Habisnya mau ngapain lagi kan, sejam lebih sendiri di perjalanan bukan waktu yang sebentar. Kalau orang lain mungkin akan tidur, tapi Sava tidak segampang itu untuk tidur di jam yang bukan jam tidurnya. Sava itu seperti robot. Setiap hari bangun, makan, dan tidur di jam yang sama (bahkan di hari libur). Jadi untuk tertidur di perjalanan, kecuali dia sangat lelah, bukan hal yang mudah untuknya.
Ketika akhirnya dia bekerja dari rumah, Sava jadi punya lebih banyak waktu luang. Alih-alih menggunakan waktu luang itu untuk istirahat lebih, atau menonton drama dan acara favoritnya, Sava malah menghabiskannya untuk berpikir. Berpikir apa yang seharusnya tidak perlu dia pikirkan. Beberapa pikiran yang selalu menghantui Sava itu kira-kira seperti ini:
“Kenapa ya kita hidup? Kita hidup tujuannya untuk apa ya?”
“Kenapa ya semua orang kelihatannya senang, tetapi aku tidak?”
“Kenapa ya semua orang terlihat menarik, tetapi aku tidak?”
“Kalau aku meninggal nanti, atau kalau aku tiba-tiba hilang, ada tidak ya yang sedih? Ada tidak ya yang merasa kehilangan aku?”
“Ada tidak ya orang yang benar-benar sayang dan peduli terhadapku?”
“Apakah teman-temanku benar-benar menganggap aku teman mereka?”
Dan masih banyak lagi, Sava juga sampai lupa saking banyaknya hal yang dia pikirkan.
Setiap hari di hampir setiap waktu luangnya, Sava memikirkan hal-hal seperti ini. Sampai akhirnya sekarang dia frustasi sendiri. Menganggap dirinya sendiri bodoh dan tidak ada gunanya karena tidak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini. Tidak jarang pada akhirnya Sava sampai menangis. Sebabnya tidak jelas, hanya frustasi saja dengan kehidupan yang sedang ia jalani.
Ketika Sava mencoba menceritakan ini kepada teman-temannya, sebagian besar akan mengatakan “kamu itu terlalu jauh pikirannya, Sava” atau “sudah lah tidak perlu dipikirkan”. Iya Sava tahu hal-hal itu tidak perlu dipikirkan. Yang Sava belum tahu caranya untuk menghentikan otaknya sendiri itu untuk berpikir. Teman-teman juga ada yang memberikan saran bagaimana untuk menghilangkan pikiran itu. Ada yang bilang alihkan ke hal-hal yang Sava suka, atau alihkan ke Tuhan. Semua Sava sudah coba, tapi memang butuh proses. Sava mengerti tidak ada yang instan di dunia ini. Mie instan yang di namanya ada kata 'instan' saja masih butuh dimasak sebelum dimakan. Pikiran dan hati Sava juga butuh belajar sebelum akhirnya tersadarkan sendiri bahwa hal-hal itu tidak perlu dipikirkan terus-menerus.
Sava tidak sabar sampai akhirnya hari itu datang.
Sava menantikan hari dimana ia bisa mendapatkan hal seperti arti pada namanya, 'ketenangan'. Sampai hari itu datang, Sava hanya bisa terus berusaha dan berharap hari itu benar-benar datang. Juga berharap dalam proses menuju hari itu, Sava tidak akan berjuang sendirian. Sava berharap Tuhan dan orang-orang yang dia sayang dapat mendukungnya.
Sava, semoga kamu tidak putus asa dan dapat menemukan ketenangan yang kamu inginkan. Semangat ya!
Sava. Anaknya introvert dan pemalu, tapi sebenarnya dia sangat suka berada dekat teman-temannya. Sava bukan orang yang mudah untuk bergaul ketika pertama kali bertemu orang baru, tapi kalau diajak mengobrol dia sangat senang dan antusias. Kalau temannya antusias untuk berteman dengan Sava, pasti dia akan menyambut pertemanan itu dengan senang hati.
Kalau sudah berteman, Sava adalah orang yang loyal. Sava tidak mudah meninggalkan orang yang dia sayangi. Kalau sudah sayang, Sava bisa sampai melakukan apa saja untuk orang itu asal masih dalam batas normal (kalau sampai diajak narkoba atau seks bebas ya Sava tidak mau juga).
Jeleknya, sifat loyal Sava ini kalau berlebihan bisa menjadi sifat posesif. Misalnya Sava akan menjadi sedih kalau teman yang Sava sayangi dekat dengan orang lain, walaupun Sava sadar sebetulnya hal-hal itu sah-sah saja. Sava tidak punya hak juga untuk mengatur-atur temannya boleh berteman sama siapa. Karena sifat ini, Sava menjadi takut sendiri. Dia takut teman-temannya akan meninggalkannya karena dia punya pikiran seperti ini. Dia sedang berusaha untuk memperbaikinya, tapi bagaimana jika temannya tidak sabar dan meninggalkannya duluan? Bagaimana jika temannya jadi merasa jijik dengan sifatnya? Bagaimana jika ia ditinggal sendiri karena sifat ini?
Sava sering sekali menangis karena ini. Sava menangis karena takut. Takut dan sebal terhadap dirinya sendiri. Kenapa dia harus mempunyai kecurigaan seperti itu? Kenapa dia tidak bisa percaya sepenuhnya terhadap teman-temannya? Kenapa dia terus-terusan merasa insecure terhadap dirinya sendiri?
Akhir-akhir ini Sava teringat, dulu ketika SD ada teman Sava yang baik terhadapnya, suka bermain bersama, dan teman itu pintar juga berprestasi sehingga Sava seperti mengidolakan dia dan menjadikannya sebagai role model. Tetapi suatu saat, temannya ini tiba-tiba menjelekkan Sava di depan teman yang lain. Mengatakan bahwa paras Sava jelek dan mulutnya bau serta kotor. Ketika itu Sava tidak berkata apa-apa, Sava juga tidak ingat apakah waktu itu dia merasa sakit hati atau tidak. Tapi kalau diingat sekarang, rasanya sakit sekali. Walaupun mungkin hanya ledekan anak kecil, tetapi ternyata sangat membekas di hati Sava.
Pernah juga ada Sava dekat dengan satu anak laki-laki. Sava sangat menyukai anak laki-laki ini, sama halnya dengan anak laki-laki itu yang pernah bilang ke Sava kalau dia juga menyukai Sava. Tetapi beberapa minggu kemudian, Sava tidak sengaja tahu bahwa anak laki-laki berpacaran dengan teman dekat Sava yang selama ini menjadi tempat curhat Sava tentang anak laki-laki itu.
Waktu kuliah Sava juga pernah dekat dengan seorang laki-laki yang ia kenal lewat temannya. Mereka sempat berpacaran sebentar sampai akhirnya Sava memutuskan hubungan tersebut setelah ada kejadian yang sangat menyakitkan untuk Sava. Di hari itu, Sava berjanjian dengan pacarnya untuk menonton pertunjukkan teater di kampusnya. Si pacar sudah bilang akan datang, tetapi tidak muncul sampai pertunjukan selesai. Sava pada akhirnya menonton sendirian sambil merasa cemas, mengkhawatirkan si pacar kemana kok tidak muncul-muncul dan tidak memberi kabar. Apa dia sakit? Atau ada masalah apa? Sava berakhir tidak mendapat kabar apa pun dari si pacar dari hari itu sampai sebulan kemudian. Selama sebulan perasaan Sava kacau, dia terus-terusan mencoba menghubungi si pacar, tapi hasilnya nihil. Sebulan dia bolak-balik menangis, hatinya sakit sekali rasanya. Untungnya dia akhirnya tersadar dan mengakhiri hubungan itu.
Track record Sava dengan laki-laki memang tidak pernah bagus. Mungkin itu sebabnya susah untuk dia percaya dengan laki-laki.
Dari cerita-cerita ini Sava jadi berpikir, apakah ini sebabnya dia menjadi kadang terlalu posesif dengan teman-temannya? Apakah karena ini Sava menjadi terus-terusan curiga terhadap teman-temannya?
Sava merasa sangat tidak enak kepada teman-temannya karena dia seperti ini, tapi di waktu yang sama dia masih mencari cara untuk menghilangkan sifat-sifat itu. Sava terkadang menangis jika membayangkan muka jijik teman-temannya terhadap dia jika mereka tahu sifat Sava yang seperti itu. Belum kejadian padahal, tapi Sava merasa sudah bisa saja membayangkan. Seakan Sava yakin, kalau benar kejadian dia pasti akan hancur sehancur-hancurnya.
Saat ini untungnya Sava masih dikelilingi teman-teman yang menyayanginya. Sava terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa teman-teman ini sayang kepadanya dan peduli terhadapnya. Mereka tidak akan meninggalkan Sava begitu saja atau menjelekkan Sava di depan orang lain seperti yang pernah dialaminya dulu. Sava ingin yakin terhadap fakta itu dan terus-menerus mendoktrin dirinya sendiri agar berpikir seperti itu. Namun, tentu Sava harus tahu bahwa apa pun bisa terjadi dan dia harus siap akan hal itu.
Teruntuk teman-teman Sava, maafkan Sava kalau mungkin Sava sering curiga terhadap kalian ya. Sava tidak mau menjadikan masa lalunya sebagai alasan, tapi mungkin memang ada benarnya kalau masa lalu itu ikut andil dalam pembentukan sifat Sava yang seperti itu. Tapi Sava mau berubah kok, demi ketenangan jiwa yang Sava ingin capai selama dia masih hidup.
Terima kasih juga untuk teman-teman Sava yang selalu mendukung Sava dan banyak memberi saran agar Sava menjadi pribadi yang lebih baik. Sava ingin bilang sesuatu tetapi dia tidak sampai hati, jadi penulis yang akan bantu untuk sampaikan ya: Sava bilang Sava terima semua saran teman-teman tapi terkadang sebenarnya yang Sava butuh hanyalah dukungan dan semangat dari teman-teman. Sava minta maaf kalau kadang Sava merasa kesal ketika teman-teman berkomentar dan bukan menyemangati Sava. Biar pun begitu Sava tetap dengar saran teman-teman semua kok. Terima kasih ya.
Sava, kamu orang baik, dan kamu pantas dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi kamu. Semoga kamu terus bisa sadar akan hal ini dan belajar untuk berhenti menjadi posesif dan mencurigai teman-temanmu. Kamu pasti bisa!
“Jangan diem aja dong, Va! Ayo sini ngobrol-ngobrol bareng” Teman-teman dengan ramah mengajak Sava ke dalam obrolan mereka.
Sava, yang tadinya murung dan tidak semangat, menyambut ajakan itu.
“Yuk yuk hehe, lagi ngobrolin apa niih?”
//~fin~//