• This Was Supposed to Be a Good Day •
[Uyon’s POV]
“Le, lo bawa mobil kan? Bantuin gue bawa Caca ke IGD terdekat ya. Iya sekarang, gue lagi bawa dia kesana. Siapin mobilnya ya, Le. Thank you” Ujar gue di telepon ke Leo dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan emosi gue.
Gue berjalan cepat ke arah Caca untuk menggendong dia dan membawanya pergi dari tempat ini. Namun dihentikan oleh si brengsek yang tiba-tiba menahan tangan gue.
“Yon, Papa bisa jelasin” Katanya.
Gue melepas pegangan dia dengan kasar dan berkata sambil sedikit menggeram, menatap tajam ke arahnya.
“Nggak ada yang perlu lo jelasin dan gausah sebut-sebut kata ‘Papa’. Gue nggak anggep lo bokap gue”
—
“YON?? CACA KENAPA???” Rania panik ketika melihat gue sampai di parkiran menggendong Caca yang masih pingsan. Masih dalam tenang, gue meminta Leo membuka pintu mobilnya dan membaringkan Caca perlahan di kursi belakang.
“Belum tau, Ran, but I’m pretty sure she’s fine. Kayaknya dia butuh istirahat, tapi nggak di sini. Lo temenin Caca boleh ya, Ran? I wish I could go but it’s Mbak Ugi’s big day. I can’t ruin it” Kata gue yang disambut dengan anggukan dari Rania.
“Titip Caca ya Le, Ran. Thank you so much”
Setelah mobil Leo pergi, mendadak sekujur tubuh gue lemas sampai tidak kuat berdiri. Emosi yang dari tadi gue pendam akhirnya keluar. Marah, rasanya marah sekali gue melihat orang brengsek itu di sana bersama Caca, walaupun gue belum pasti apa yang terjadi di ruangan itu sebelum gue datang. Khawatir juga kalau yang terjadi adalah hal yang membuat Caca trauma sampai bikin dia pingsan. Otak gue kalut, terlalu banyak hal negatif yang gue pikirkan saat ini.
‘This was supposed to be a good day… Why God, why…’
Gue membiarkan semua emosi negatif gue keluar terlebih dahulu. Damn, nggak pernah ada di pikiran gue kalo gue akan duduk lemas menangis di parkiran mobil seperti ini, sebuah adegan yang seharusnya cuma ada di drakor. Untungnya parkiran ini sepi, sepertinya hampir semua tamu undangan sudah datang.
‘Ah iya, Mbak Ugi’
Gue melirik jam, ternyata sudah tepat waktu acara pernikahan Mbak Ugi seharusnya dimulai. Gue buru-buru berdiri dan berjalan sambil menyeka air mata gue.
‘Tunggu ya, Ca. Aku akan susul kamu setelah semua ini selesai’
—
Untungnya pernikahan Mbak Ugi berlangsung lancar. Si brengsek itu juga tidak terlihat lagi ada di sini, at least tidak ada di pandangan gue. Gue benar-benar akan menghabisi dia kalau dia berani memunculkan dirinya di depan Mbak Ugi dan Mama.
Setelah acara selesai, gue baru memberanikan diri bilang ke Mbak Ugi dan Mama kalau Caca tadi pingsan dan ada di IGD sekarang. Sepanjang acara tadi dua-duanya terus menerus nanyain Caca ada dimana, gue alasan aja jawab Caca asik ngobrol sama Rania, Leo, dan Brian. Toh pada akhirnya mereka juga lupa sama Caca karena sudah terlalu banyak tamu yang datang menyalami ke pelaminan.
“Yaudah kalo gitu berangkat sekarang gih ke Caca. Kabarin Mama ya, Yon… Mama khawatir juga…” Kata Mama.
“Gapapa nih, Mbak? Gue pergi sekarang? Lo nggak ada yang bantuin.. Ntar Mama juga pulang sama siapa..” Gue menengok ke arah Mbak Ugi, sebenarnya masih nggak enak sama dia kalau pergi duluan.
“Gapapa, Dek. Kan banyak sepupu-sepupu, ada keluarganya Rio juga. Banyak kok yang bantuin. Udah lo gausah nggak enakan sama gue, urusin dulu aja cewek lo. Dia lebih butuh lo sekarang. Mama kan nanti nginep juga di hotel sama tante-tante, jadi pasti ada barengannya kok. Tenang aja” Jelas Mbak Ugi panjang lebar menenangkan gue walaupun mukanya jelas banget terlihat khawatir.
“Kalau gitu aku duluan ya, Ma, Mbak. Sorry.. Nanti aku kabarin ya” Kata gue sambil bergegas menuju mobil gue dan pergi ke tempat Caca.
—
[Caca’s POV]
‘Pusing… Silau…’
‘Ini dimana…?’
‘Kok gue diinfus…?’
Pikir gue sambil melirik lemah melihat sekitar gue. Kepala gue rasanya pusing banget, seperti mau meledak. Dengan mata yang cuma bisa sedikit gue buka saking beratnya, gue melihat ada yang datang setengah berlari ke arah gue.
“Ca! Lo udah bangun?!”
“Oh.. Rania..?” Gue mencoba menebak dari suaranya.
“Thank God akhirnya lo bangun juga.. Yooon! Caca udah bangun nih!” Teriak Rania, suaranya antara senang, panik, khawatir, semuanya bercampur jadi satu.
Tidak lama ada sesosok laki-laki masuk dan berlari ke arah gue. Dia langsung duduk di sebelah gue, memegang tangan gue erat-erat sambil menundukkan kepalanya.
“Thank God you’re okay…” Uyon berkata lirih. Suaranya bergetar dan tak lama kemudian gue bisa merasakan tetesan air matanya di tangan gue yang dia pegang erat itu.
Gue yang masih bingung dengan situasi ini cuma bisa diam. Gue berusaha mengingat apa yang terjadi, tapi kepala ini sepertinya tidak mau diajak berpikir. Mata dan dahi gue sampai mengernyit gara-gara sakit kepala ini.
“Gue yakin lo lagi mencoba paham sama situasi ini, Ca. Tapi udah ya gausah dipikirin dulu? Kayaknya lo masih perlu istirahat. Kita juga keluar dulu aja yuk, Yon? Tadi kan kita mau makan sebentar trus balik lagi ke sini. Jangan sampe kitanya drop juga” Kata Rania yang sadar akan kondisi gue sambil membujuk Uyon untuk membiarkan gue benar-benar siuman dulu.
Dengan tenaga seadanya, gue menggerakkan tangan yang dipegang Uyon dan mengusap air mata di pipinya. Gue tangkup pipinya, mengarahkan wajahnya untuk melihat gue.
“Makan dulu ya, Yon. Aku gapapa kok” Bujuk gue dengan suara lemah.
Uyon mengangguk pelan dan tersenyum.
“Nanti aku balik lagi ya, cantik”