[Hello, Future!]

27.

Dua puluh tujuh.

Umur yang aneh.

Dibilang muda, udah engga. Tapi kalau dibilang tua, belum juga. Tergantung siapa yang lihat sih.

Kalau yang lihat anak-anak sekolahan atau kuliahan, oke mungkin 27 itu tua. Umur 27 di bayangan mereka itu mungkin udah nikah, punya anak satu, have a stable job, a car, a house. Udah mapan dan settle lah pokoknya, tinggal menikmati hidup aja, menua bersama pasangan dan keluarga mereka, happy-happy sampai tua.

Kalau yang lihat seumuran bokap nyokap, kayak 50-an ke atas gitu, pasti menurut mereka 27 masih muda. Eh, ada juga kali ya yang menganggap udah tua soalnya nyuruh-nyuruh cepet nikah terus. Tapi gue yakin sebagian besar menganggapnya 27 masih muda lah. Masih bebas menggapai mimpi, masih bisa mengejar karir, cinta, apa pun yang diinginkan.

Kalau yang lihat teman-teman seumuran, mixed feelings sih. Mungkin ada yang berpikir: “waah dia di umur 27 udah bisa ini itu bla bla bla... hebat yaaa”. Mungkin juga ada yang berpikir: “ya ampun, dia udah 27 tapi masih gitu-gitu aja...”

Image seseorang memang tidak akan sesuai dengan umurnya. Semua tergantung kehidupan mereka masing-masing. Tergantung apa yang mereka jalani dan hadapi, dan tentunya tergantung pandangan orang-orang sekitar mereka.

Buat gue, perjalanan menuju ke umur 27 ini berat. Menjalani hidup di masa pandemi memang pasti berat buat semua orang, tidak terkecuali gue. Hanya saja buat gue pribadi, setahun kemarin sangat berat untuk mental gue.

Pandemi membuat gue lebih banyak menghabiskan waktu sendiri dan ujung-ujungnya banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu dipikirkan. Kebiasaan itu berlanjut sampai akhirnya gue lelah sendiri. Gue jadi lebih sering menangis tanpa sebab. Kalau pun gue merasa ada sebabnya, sulit untuk gue mengungkapkannya ke orang yang gue curhatin. Jadi gue curhat, ngerasa lega sebentar karena udah curhat, tapi tetep nggak plong karena masih merasa ada yang janggal. Dari situ gue mulai sadar kalau gue punya cara berpikir yang (mungkin) berbeda dari kebanyakan orang. Lalu gue memutuskan kalau gue harus cari pengalihan supaya tidak begini terus.

Pas banget seorang teman cerita kalau dia mau melanjutkan sekolah ke S2. Di momen itu lah terbersit ide: “Oh, mungkin kalau gue lanjut sekolah, pikiran gue bisa sibuk jadi nggak sempat mikirin yang lain. Udah gitu bonus bisa jadi sarjana lagi”. Akhirnya gue ikut teman gue untuk daftar S2 dengan harapan-harapan tersebut.

Turns out, here is when I made a bad life decision... Haha.

Ambil S2 tidak menyelesaikan masalah gue, malah nambah-nambahin pikiran yang udah ada sebelumnya. Kenapa? Ya, dari niat awalnya saja sudah salah. Ambil S2 bukannya untuk menuntut ilmu lebih, tapi untuk mengalihkan pikiran doang. Padahal gue termasuk orang yang konservatif kalau soal pendidikan. Gue merasa kalau sekolah itu ya harus serius untuk belajar, supaya gue bisa dapat ilmu yang belum pernah gue tau atau upgrade pengetahuan yang sudah gue punya sebelumnya. Untuk apa belajar sesuatu kalau ujung-ujungnya pas ditanya soal ilmu yang dipelajari kita tidak bisa jawab? Gue tidak mau jadi orang yang seperti itu.

Semester pertama di S2, gue masih bisa mengikuti. Jadi gue masih yakin kalau gue bisa balance antara kerja sama belajar. Tapi waktu masuk ke semester dua, gue bener-bener kewalahan. Selain karena memang lagi banyak kerjaan di kantor, tuntutan tugas dari kampus juga makin banyak. Dan yang menurut gue paling berat, apa yang gue pilih pelajari di S2 jauh berbeda dengan apa yang gue pelajari di S1. Teman-teman yang lain kebanyakan mengambil ilmu yang sama atau mirip, jadi mungkin mereka lebih cepat menangkap dan lebih mudah waktu bikin tugas. Tapi gue harus belajar ekstra, ibaratnya gue harus belajar dari level 0 buat menyelesaikan tugas yang levelnya 100. That's killing me.

Dari yang tadinya optimis, lama-lama gue semakin pesimis bisa menyelesaikan ini semua. Kepercayaan diri gue turun dan pada akhirnya depresi sendiri. Bermalam-malam gue habiskan untuk mikir apakah keputusan kuliah lagi ini masih worth it. Apakah gue beneran mau jadi sarjana S2, atau gue cuma buang-buang waktu, uang dan tenaga buat sesuatu yang gue nggak serius jalaninnya. Berat banget buat gue perjalanan untuk mendapatkan jawaban pertanyaan itu. Banyak air mata yang keluar, banyak hari-hari tidak produktif yang gue jalanin cuma karena kepikiran itu terus, bahkan gue sempet cuma nangis doang sepanjang kelas pagi di zoom. Nggak ada sebabnya gue nangis, pasti ada sih tapi kalau ditanya gue nggak akan bisa jawab. Pikiran gue terlalu rumit sampai-sampai gue sendiri sulit untuk menceritakannya.

Setelah struggle beberapa bulan, akhirnya gue memberanikan diri untuk cerita ke orang tua gue. Gue cerita kalau ternyata setelah dijalani, S2 ini tidak seperti yang gue bayangkan. Ditambah dengan beban pekerjaan yang bertambah semakin membuat tidak mudah untuk gue melanjutkan kuliah. Gue juga bilang kalau setelah dipikir-pikir, menurut gue akan lebih worth it kalau gue belajar sesuai yang benar-benar gue minati saat ini, alias belajar Bahasa Korea sampai mentok dan ambil tes TOPIK yang sudah jadi keinginan gue dari dulu. Berat banget buat gue untuk ngomong ini mengingat bokap gue sangat ingin gue punya pendidikan yang tinggi, jadi seperti menjatuhkan harapan-harapan dia gitu kan, gue nggak tega.

Alhamdulillah, gue bersyukur sekali punya orang tua yang sangat pengertian dan suportif. Mereka menerima keputusan gue dan bilang ke gue untuk lakukan apa yang gue inginkan. Apa pun itu, selama bukan yang aneh-aneh, mereka akan dukung. Rasanya hati gue plong sekali setelah itu. Beban berbulan-bulan yang gue rasakan akhirnya terangkat juga.

Begitulah ceritanya bagaimana di umur 27, gue batal jadi sarjana S2. Hehehe. Tapi gue tidak menyesal. Ya belum tahu kalo nanti jadi menyesal, paling tidak sekarang ini gue tidak menyesal dengan keputusan ini. Paling tidak sekarang gue bisa menjalani hari-hari gue dengan lebih ringan dan harapannya dapat mengurangi pikiran-pikiran dan kesedihan berlebihan gue. Satu yang gue selalu coba tanamkan selama proses pengambilan keputusan ini: menyerah bukan berarti kalah, mundur belum berarti tidak ada kemajuan. Bisa jadi dengan keputusan ini menjadi pembuka dari bagian hidup gue yang lebih baik, lebih keren, lebih bermakna, lebih membuat gue bahagia. Who knows?

Jadi, menurut gue 27 adalah year of discovery. Umur dimana kita bisa belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri sebelum kita berdiri di depan orang lain. Gue tidak sabar untuk terus mencari tahu tentang diri gue sendiri, memperbaiki bagian-bagian yang salah atau kurang, dan men-upgrade bagian-bagian yang sudah bagus jadi lebih bagus lagi. Mungkin sesekali kita membuat keputusan yang buruk, yang tidak sesuai dengan apa yang kita mau atau tidak sesuai dengan timing-nya. Tapi tidak apa-apa, namanya juga belajar. Yang penting itu adalah kalau sudah tahu salah, jangan diulang. Dan setelah tahu apa yang benar, lakukan yang terbaik. Dengan begitu kita bisa pelan-pelan semakin banyak belajar tentang kehidupan, jadi begitu tua nanti sudah semakin lurus jalannya, tidak belok-belok lagi.

Tidak masalah kalau kata orang di umur 27 kamu belum jadi apa-apa, tidak usah didengarkan. Semua orang punya standard-nya sendiri. Belum tentu standard kamu setinggi orang lain, standard orang lain juga belum tentu setinggi kamu. Jadi fokus kepada life goal masing-masing saja. Yang penting selama menjalani hidup, kamu bisa menjadi kamu yang sebenarnya. Bukan kamu yang dibuat-buat mencocokan dengan harapan sekitarmu terhadapmu.

So, hello, future! Welcome, 27! Can't wait to discover more things this year! :)