• Truth & Hope •
[Author’s POV]
Canggung.
Sebuah hal yang tidak biasa ada di antara Uyon dan Caca.
Sebuah hal yang benar-benar tidak ada di mereka dari pertama kali bertemu dulu. Kalau waktu itu sama-sama canggung sih, mereka tidak akan sampai di titik ini.
Tapi sekarang si ‘canggung’ ini ada di antara mereka.
Uyon dan Caca yang setiap kali ketemu minimal berpelukan, sekarang cuma duduk depan-depanan. Tangan mereka bahkan tidak mencoba untuk saling meraih, dua-duanya disimpan saja di bawah meja. Mata mereka yang biasanya lengket terus saling lihat-lihatan seakan tidak ada bosannya memandangi satu sama lain, sekarang dua-duanya berusaha menghindar, takut apa yang disimpan dalam hati ketahuan hanya dengan satu pandangan.
“Hmm…” Caca mencoba jadi yang duluan memecah kecanggungan ini. Uyon sontak langsung melihat ke arah Caca.
“Mbak Ugi emang bilang sih kalo dia kemungkinan telat, trus tadi pas banget kamu dateng aku lagi baca chatnya bilang kamu disuruh nemenin aku dulu…” Caca menjelaskan sesuatu yang sebenarnya nggak penting-penting amat, tapi ya at least bisa buka omongan.
“Iya Ca, dia nggak enak kamu nunggu lama sendirian, jadi aku disuruh ke sini heheh” Jawab Uyon berusaha sambil ketawa agar suasananya cair.
“Bukan kamu yang inisiatif?” Caca manyun kecewa.
“M-maksudnya ya aku lah yang usulin! Abis itu baru Mbak Ugi nyuruh gituuu. Ya kali kan cantiknya aku sendirian lama-lama, ntar ada yang nyulik gim- eh… Maaf Ca… Maksudnya… Ya gitu… Kan jadi khawatir…” Uyon yang tadinya mau bercanda tiba-tiba teringat cerita masa lalu Caca. Dalam hati dia mengumpat ke diri sendiri kenapa bisa sampai kelepasan kayak gitu.
“Hahaha, iya iya aku paham. Thank you udah nemenin, Yon” Bibir Caca yang tadinya manyun berubah menjadi senyuman manis. Senyuman yang bikin Uyon balik deg-degan lagi.
‘Stop deg-degan anjir! Norak lo!’ Teriak Uyon dalam hati kepada dirinya sendiri.
“Maaf ya, Yon” Caca tiba-tiba bicara lagi, tapi tidak berani melihat ke arah Uyon.
“Hah? Kenapa emang?”
“Maaf sebulan ini kita nggak bisa ketemu. Tiap kali kamu ajak ketemu aku tolak terus”
“Ooooh, iya gapapa sayang. Santai ajaa” Kata Uyon, setengah bohong tentunya.
Kalo santai aja mah ngapain juga dia mau ketemu aja sampai dibantuin Mbak Ugi gini?
“Gapapa?” Tanya Caca heran.
“Iya gapapa, aku ngerti kok kamu mungkin lagi sibuk kan, jadi capek kalo ketemu. It’s okay” Uyon berusaha tetap netral dengan jawaban-jawabannya.
“Itu kan baru mungkin, Yon. Aku nggak inget bilang ke kamu aku sibuk atau engga” Caca sekarang menatap Uyon tegas.
“Eh.. Ya..” Uyon jadi salah tingkah. Bingung juga mau jawab apa. Karena memang benar, Caca nggak pernah bilang dia lagi sibuk. Bilang capek iya, tapi nggak bilang kalau dia capek sampai nggak mau ketemu.
Uyon semakin yakin ada yang salah dengan semua ini. Dan mungkin, lebih baik diselesaikan sekarang.
“Trus apa alasannya, Ca?” Tanya Uyon dengan nada serius.
Lalu dua-duanya diam.
Mereka bertatapan, tapi bukan bentuk hati yang keluar dari mata mereka layaknya emoji yang sering mereka pakai saat chatting. Kali ini yang keluar api. Api yang timbul karena dua-duanya sama-sama marah.
Marah dengan keadaan yang serba tidak jelas dan penuh keraguan ini.
“You’re not okay with this, right? Why did you say ‘it’s okay’ though?” Tanya Caca.
“Fine. I’m not okay. Ca, cowok mana sih yang bisa baik-baik aja kalo ceweknya tiba-tiba jauh gitu? Tanpa alasan yang jelas? Kalo aku emang salah, at least kasih tau aku salah dimana. So I can fix myself” Uyon akhirnya tidak tahan.
“Bukan salah kamu”
“Trus apa masalahnya? Dimana yang salah? We can fix this, Ca, please. Don’t just run away like that”
“No, you can’t fix it”
“Can you at least tell me what happened??” Kesabaran Uyon mulai habis. Dia kesal, tapi kesal sama dirinya sendiri karena dia tidak bisa kesal sama Caca.
Mata Caca mulai berkaca-kaca. Di dalam hati, sebenarnya dia ingin sekali mengungkap hal ini ke Uyon. Dia ingin tahu reaksi Uyon terhadap fakta ini, sehingga dia tahu apa langkah selanjutnya. Leave him? Or stay with him?
Caca butuh jawaban.
“Kamu inget pas terakhir aku ke rumah kamu, aku nangis karena lihat foto Papa kamu?” Caca memberanikan diri untuk mengungkap fakta itu. Suaranya bergetar ketakutan.
“Inget” Jawab Uyon singkat.
“Kamu inget sebelumnya aku pernah cerita aku korban pelecehan sexual?” Air mata Caca mulai menetes.
Uyon tidak menjawab. Nalurinya seperti sudah merasa ke arah mana cerita ini akan berlanjut.
“He’s the guy, Yon.. The guy who assaulted me.. Was your father..” Tangis Caca pecah.
“Aku inget jelas mukanya, Yon.. It was him.. Aku inget jelas apa yang dia lakuin ke aku.. Aku inget gimana dia lecehin aku.. Aku inget semua.. Aku inget semua ketika liat foto kamu itu..” Caca mulai panic attack. Tangannya bergetar hebat dan tangisnya mulai menjadi-jadi.
Uyon dengan sigap bangkit dari kursinya dan memeluk Caca erat. Dia mencoba menenangkan Caca dengan mengelus kepala dan punggungnya. Namun, dia tetap tidak berkata apa-apa. Otaknya masih mencoba memproses fakta ini.
Kalau Uyon bisa jujur, dia sangat marah saat ini. Kalau bisa dia bunuh ayahnya sekarang juga, dia pasti akan lakukan itu. Satu sisi lain, kalau dia bisa kabur, dia ingin kabur sekarang juga. Malu rasanya menghadapi Caca ketika tahu dia memiliki hubungan darah dengan orang yang menjadi trauma bagi Caca.
“Maafin aku, Ca…” Cuma ini yang bisa keluar dari mulut Uyon. Dia berusaha keras sekali untuk menahan air matanya supaya tidak ikut-ikutan keluar.
‘Why does it have to be you, Caca…?’
***
[Uyon’s POV]
Caca sudah lebih tenang sekarang. At least dia nggak gemetaran lagi kayak tadi walaupun dia masih bolak-balik nangis. Gue juga akhirnya memutuskan buat bawa dia pindah duduk ke sisi kafe yang lebih sepi, nggak enak juga sama pengunjung lain kalau kita ribut di tengah kayak tadi.
“Minum dulu, Ca” Gue memberi segelas air putih ke Caca.
Setelah minum, dia masih terisak walaupun air matanya sudah habis. Nafasnya masih tidak teratur. Dia menggenggam erat tangan gue seakan-akan gue akan kabur kalau dia lepas.
‘Nggak Ca, I’m not running away like that bastard. Yeah, bastard, he’s not my father, he’s a bastard’
“Yon, kenapa kamu nggak pergi?” Tanya Caca lirih.
“Kenapa aku harus pergi?”
“Kenapa kamu nggak pergi padahal kamu udah tau faktanya?”
“Kamu ngira aku bakal pergi karena aku nggak bisa ngadepin kamu gitu? Karena aku anak si brengsek itu?”
Caca mengangguk pelan.
“Ca, kalau aku cuma mikirin diri sendiri, kalau aku nggak peduli dan sayang sama kamu, aku udah kabur dari tadi pas kamu bilang hal itu. Tapi aku masih di sini, bantu kamu nenangin diri, walaupun sebenernya aku malu banget sama kamu, Ca.. Aku merasa bersalah banget ke kamu dan aku jijik banget punya hubungan darah sama si brengsek itu.
Ca, aku cuma mau bilang, aku bukan dia. Yes, he’s my father, but I don’t consider him a part of my life anymore. Aku berani jamin aku nggak seperti dia. Dia ya dia, aku ya aku. Aku nggak akan sia-siain kamu. So please…
Jangan tinggalin aku…” Pinta gue kepada Caca. Gue benar-benar desperate saat ini. Gue takut semua ini berakhir. Gue takut gue tidak bisa bertemu Caca lagi.
I’m gonna go crazy if that happens.
“Tapi Ca, kalo kamunya yang nggak bisa, mungkin kamu jadi keinget itu terus tiap lihat aku…” Gue tiba-tiba berhenti, takut-takut dengan reaksi dari Caca.
“To be honest, ada saat-saat dimana aku ngerasa itu, Yon.. That’s why I refuse to meet you.. Because I’m still afraid.. Walaupun aku udah kangen kamu banget, aku udah pengen banget ketemu kamu, kalau keinget hal itu aku jadi mundur lagi..
Tapi Yon, akhir-akhir ini aku sadar aku nggak bisa kayak gitu. Kamu nggak salah apa-apa, kamu nggak tau apa-apa, tapi kenapa kamu yang harus aku jauhin? Kenapa aku harus takut sama kamu? Aku sayang kamu, dan aku juga tahu kamu sayang aku dan nggak akan berbuat yang sama, jadi kenapa aku harus mundur?
Aku nggak mau kamu jauh, Yon..” Air mata Caca mulai membendung lagi. Gue memeluknya sebelum air mata itu jatuh. Gue mencium keningnya, ingin dia tahu betapa gue menyayanginya lewat ciuman itu.
“Aku nggak akan kemana-mana selama kamu mau aku ada. Kalo sampe aku nyakitin kamu, kamu boleh tinggalin aku, Ca. Pegang omongan aku” Gue berjanji sambil masih memeluk dan mengelus kepala Caca.
“I miss you, Yon..”
Empat kata sederhana, yang dulu terlihat seperti kata-kata yang biasa saja, hari ini terasa lebih bermakna. Hati gue terasa lega setelah mendengarnya. Kata-kata itu berarti semua akan berangsur baik kembali mulai sekarang. Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi, tidak perlu ada yang perlu ditakutkan lagi, baik dari gue maupun Caca.
“Yon, tapi jangan bilang ini sama Mbak Ugi dan Mama ya..” Kata Caca.
Gue refleks mau tanya kenapa, tapi akhirnya tidak gue keluarkan dari mulut gue. Sudah cukup otak Caca memikirkan bagaimana perasaan gue setelah tahu fakta ini, tidak perlu sampai dia pusing memikirkan perasaan Mbak Ugi dan Mama. Biar itu jadi beban gue nanti ketika waktunya sudah tepat.
“Iya, aku nggak bilang, jadi rahasia kita dulu aja ya” Jawab gue.
“Yah Yon tapi aku cerita sama Rania sama Mingyu juga… Karena aku gatau mau cerita sama siapa lagi…” Caca merasa bersalah, mukanya sekarang benar-benar seperti emoji muka melas itu, tahu kan. Gue bukannya marah malah jadi gemes.
“Hahaha! Muka kamu melas banget sih ah gemes! Iya gapapa kalo mereka mah, aku paham lah mereka berdua teman terdekat kamu” Gue mengacak-acak rambut Caca saking gemasnya. Dia juga ikut tertawa bersama gue. Ah, senang sekali akhirnya bisa melihat Caca ketawa dengan lega, tidak seperti terpaksa.
“Eh tapi Ca, aku kapan-kapan mau ketemu Mingyu dong, perasaan aku denger ceritanya doang terus tapi nggak pernah kenal sama orangnya” Kata gue.
“Kamu cemburu kan sebenernya? Soalnya kamu tahu Mingyu suka sama aku? Ngaku deh! Haha!” Ledek Caca.
‘Yah.. Ketahuan..’
“Lah engga ya! Aku cuma pengen kenal aja sama orangnya, mau bilang makasih juga udah nemenin kamu kalo aku nggak ada”
“Iyaaa iya nanti kita ketemu Mingyu ya. Tapi tenang aja kok, Yon, terakhir aku ketemu dia bilang dia udahan kok suka sama akunya hahaha”
“Nggak nanya sih tapi yaudah makasih infonya”
‘Denial...’
“Bohong, pasti kamu penasaran”
‘Ketahuan lagi elah....’
“Ah udah ah! Telepon Mbak Ugi dulu deh mana sih ini orang lama banget” Gue buru-buru mengalihkan pembicaraan, daripada makin panjang perasaan asli gue ketahuan.
Caca hanya tersenyum-senyum melihat gelagat salah tingkah gue. Dia terlihat lega karena sudah menceritakan semuanya. Terlihat jelas dari raut mukanya bahwa beban yang sekitar sebulan ini dia bawa sendiri sudah lepas dari dirinya. Syukurlah, dia bisa ceria lagi sekarang.
‘Dear God, please bless this ill-fated relationship… Please let us be together forever..’