• Jakarta and its Different Sides •
[Author’s POV]
Jakarta. Kota yang menarik.
Kota yang selalu terang, terutama di pusat kotanya yang dikerumuni gedung-gedung pencakar langit dengan lampu gemerlap di badan gedungnya.
Kota yang selalu ramai, sepanjang hari warganya tidak berhenti berkegiatan, maupun itu untuk pekerjaan atau hanya sekedar bersenang-senang. Warganya selalu terlihat sibuk.
Namun, malam ini salah satu warganya tidak sama sekali merasakan hal-hal itu.
Warga perempuannya itu justru merasa kota ini gelap dan sepi. Kota ini menakutkan.
Caca saat ini sedang ada di dalam bus menuju ke arah apartemennya. Dia duduk sendiri di bagian belakang bus tersebut, memandangi jalanan kota Jakarta yang ramai malam ini.
Tapi hatinya tetap gelap dan sepi, seperti sudah yang dibilang tadi.
Sudah seminggu ini Caca tidak diantar jemput oleh Uyon. Kali ini bukan karena sibuk, memang Caca yang menolak untuk diantar jemput. Atau lebih tepatnya, mencari alasan supaya tidak ketemu Uyon.
Sejak kejadian di rumah Uyon minggu lalu, dimana dia mengetahui satu fakta yang mencengangkan itu, hati Caca benar-benar tidak tenang. Air matanya selalu tidak terbendung kalau dia ingat akan hal itu. Bahkan mimpi buruk yang sama datang lagi dan lagi hampir setiap malam, membuat jiwa dan raganya semakin lelah. Meskipun begitu, dia tetap pada pendiriannya untuk tidak memanggil Uyon.
Bagaimana bisa dia minta tolong kepada seseorang yang merupakan darah daging dari bajingan penyebab mimpi buruknya selama ini?
Caca menarik pashmina yang dia pakai ke arah mukanya, lalu berusaha supaya tidak ada suara yang keluar dari dirinya yang sedang menangis untuk ke sekian kalinya.
Caca, mulai mempertanyakan dirinya sendiri:
’Am I really don’t deserve to be happy?’
***
Jakarta sedang mendung. Cuaca yang ambigu, cerah tidak, tapi belum turun hujan. Cuaca yang sangat bisa mewakili perasaan Uyon saat ini.
Dia sadar betul ada yang salah dengan Caca, tapi dia tidak tau apa. Kalau ditanya, Caca selalu menghindar. Selalu bilang kalau dia cuma lagi capek karena pekerjaannya menumpuk dan minta maaf kalau slow response atau tidak bisa angkat telepon. Kalau Uyon bilang mau mampir ke apartemen, Caca selalu menolak. Alasannya mirip-mirip, lagi capek dan mau tidur cepat.
Hampir setahun Uyon mengenal Caca dan perempuan kesayangannya itu tidak pernah seperti ini.
Uyon benar-benar sudah tidak tau lagi harus berbuat apa.
“Heh, lo gila ya nge-bir di rumah?!” Mbak Ugi datang dari belakang Uyon yang sedang bengong di pinggir kolam renang rumah mereka, lalu dengan cepat mengambil bir dari tangan Uyon.
“Belom dibuka kok”
“Ya tapi dipegang berarti udah ada niat kan?! Mama emang nggak masalah kita minum-minum, tapi nggak di rumah juga dong, Dek!”
“Ck, udah ah Mbak, gue lagi nggak mood berantem” Uyon mencoba merebut bir-nya lagi dari Mbak Ugi. Tapi tangan Mbak Ugi lebih cepat, dia buru-buru kabur membawa bir itu jauh-jauh dari Uyon. Uyon hanya bisa menghela nafas, malas juga berebut dengan kakaknya.
“Lo kenapa sih? Berapa hari ini bete mulu keliatannya?” tanya Mbak Ugi setelah kembali lagi ke dekat Uyon.
Tidak dijawab.
“Ada hubungannya sama Caca nih pasti?”
Uyon masih diam.
“Kalian berantem ya?”
“Nggak berantem juga sih… Tapi gue ngerasa sejak acara minggu lalu itu dia jadi jauh banget…” akhirnya Uyon menjawab.
“Jauh gimana? Bukannya lo tiap hari anter jemput dia biasanya?”
“Udah seminggu ini engga. Dia selalu bilang mau pergi sendiri aja. Gue maksa juga tetep ditolak, bilangnya kasian guenya nanti capek. Kalo gue paksa terus malah berantem ntar, salah lagi”
“Hmm iya sih emang cewek gitu biasanya. Dia emang beneran capek aja kali”
“Kayaknya ada yang lain. Biasanya kalo pun capek paling engga gue masih dibolehin untuk nyamperin dia kok, or at least telepon lah. Tapi kali ini susah banget”
“Trus apa dong penyebabnya?”
“Ya gatau mbak. Kalo tau ya gue udah usahain buat benerin lah nggak uring-uringan doang gini” Uyon memutar malas matanya.
“Iya iya maaf. Hmm, apa dong ya masalahnya… Soalnya kayaknya waktu abis acara kalian baik-baik aja deh?”
“Pas masih di rumah emang gapapa, tapi pas di mobil gue anter pulang itu dia diem terus sumpah gue nggak ngerti kenapa. Ah, pusing banget” keluh Uyon sambil mengacak-acak rambutnya.
Mbak Ugi hanya bisa tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk pundak adik satu-satunya itu. Dia kasihan tapi gemas juga melihat adiknya baru sekali ini galau dan curhat ke dia tentang pacarnya. Forever solo, in case you forgot.
“Oh iya Mbak” Uyon tiba-tiba berhenti mengacak-ngacak rambutnya dan menatap kakaknya. “Caca sempet nangis waktu di kamar gue pas dia nggak sengaja liat foto Papa”
“Kok dia bisa lihat foto Papa?” muka Mbak Ugi berubah menjadi masam ketika mendengar sebutan itu.
“Gue… Kemaren sempet ngeluarin gitu trus lupa gue masukin lagi… Anyway, iya dia tiba-tiba nangis pas liat foto itu dan gue kasih tau kalo itu Papa”
“Sebelumnya lo udah pernah cerita ke dia ya kejadiannya kayak apa?”
“Cuma pernah ngasih tau doang nggak detail. Makanya gue kira dia nangis karena inget perbuatan orang itu ke kita, tapi katanya bukan”
Mbak Ugi bingung. Muka masamnya kini berubah menjadi khawatir. Jujur, dia kira juga tangisan Caca adalah karena dia tau perlakuan bajingan itu ke keluarga mereka.
“Perasaan gue nggak enak, Yon… Gue sendiri gatau kenapa, tapi kayaknya ada sesuatu…”
“Ih Mbak jangan bikin takut napa” Uyon tau betul kakaknya kadang-kadang punya feeling yang kuat dan seringkali benar.
“Whatever happens, jaga dia baik-baik ya, Yon. Perasaan gue beneran nggak enak”
Uyon menjawab kakaknya dengan anggukan mantap, walaupun sebenarnya dia gugup setengah mati.
’Cerita apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku, Ca?’
***
“Mingyu! Udah mulai hujan di luar, tolong angkat jemuran handuk dong!”
“Iya, Mi!”
Mingyu berlari dari kamarnya di lantai atas mematuhi perintah Mami yang sedang sibuk memasak di dapur. Dengan cepat dia mengambil handuk-handuk tersebut dan lari lagi ke dalam.
Lalu hujan langsung turun lebih deras lagi. Hari ini Jakarta basah, hawanya pun sendu.
“Buset langsung deres banget, untung aku udah masuk jadi nggak basah” ujar Mingyu ke Mami, masih sambil membawa setumpuk handuk.
“Wah iya ya, langsung deres gitu. Ada yang lagi sedih apa ya? Langit aja sampe nangis gitu. Kamu lagi sedih ya, Kak?” ledek Mami.
“Duileh drama amat sih, Mi… Engga, aku nggak lagi sedih- hmm actually udahan sih sedihnya. Udah ah nggak penting” Mingyu yang sedang melipat handuk tiba-tiba jadi kikuk. Dia yang confess sendiri, dia juga yang kikuk.
Mami tertawa kecil melihat kelakuan anak sulungnya itu. Dia tau sejarah Mingyu dan Caca, tau kalau Mingyu pernah ditolak Caca, tau juga kalau sekarang Caca punya pacar dan Mingyu nggak bisa terima fakta itu. Mami tau semua ini bukan dari Mingyu, tapi dari ‘anak unofficial’-nya Mami alias Rania.
”Mi, jadi kalo Mingyu galau-galau gitu, udah ya Mami gausah banyak-banyak tanya ke dia, percuma Mami tanya juga paling nggak dijawab. Mami tanyanya sama Rania aja, ntar Rania jelasin semua” Begitu kata Rania waktu Mami curhat anaknya pernah nolak makan seharian dan cuma mendekam di kamar setelah tau tentang hubungan Caca dan Uyon.
“Kak, Mami mau nanya tapi takut hujannya makin deres kalo Kakak sampe nangis”
“Apaan sih Mi lebay ah, ya kali sampe nangis. Mau nanya apa?”
“Hmm, jadi Kakak sekarang udah nggak pernah kontakan sama Caca lagi?”
“Engga, Mi”
“Selamanya gamau kontakan lagi”
“Err… Gatau? Maunya sih ya engga, tapi untuk sementara belom dulu deh. Dianya juga lagi asik sama pacarnya kan, biarin aja dulu” Mingyu menjawab dengan tenang.
“Trus yang bantuin Caca kalo kambuh lagi itu siapa sekarang? Rania?”
“Kata Rania sih pacarnya yang bantuin. Kata dia Caca udah cerita semua juga ke pacarnya itu. Bagus deh, kalo pacarnya udah tau cerita Caca yang itu dan dia nggak pergi, berarti dia sayang beneran sama Caca, nggak main-main doang”
Mami mengangguk setuju dan diam sebentar sebelum melanjutkan berbicara.
“Kalo kata Mami sih ya Kak, jangan terlalu berlarut-larut ya. Nggak baik ah mutus silaturahmi sepihak gitu. Kalian kan juga bukan temen yang baru kenal, udah bertahun-tahun, deket sama keluarganya juga lagi, nggak enak ntar kalo ketemu…”
“Iya Mi, paham kok, aku juga gamau kalo jadi awkward, makanya aku coba jauh dulu supaya aku bisa tenang dan nanti balik lagi as her best friend. Aku udah mulai ikhlas kok, aku cuma belom pengen ganggu waktu bahagianya dia dulu aja hehe”
“Good then, Mami tau kok kamu orangnya dewasa, jadi Mami percaya sama kamu”
“Sure, Mi, thanks for believing in me hehe. Aku bawa handuk-handuk ini ke atas dulu ya” jawab Mingyu tersenyum ke Mami dan pergi.
Setelah selesai menaruh handuk-handuk itu ke tempatnya, Mingyu turun lagi ke bawah untuk nonton TV. Belum sampai depan TV, dia mendapati adik perempuannya, Minseo, sedang melihat ke luar dengan serius.
“Liat apaan lo? Serius amat” Mingyu berjalan santai menghampiri Minseo, kepo juga dengan apa yang dilihat adiknya itu.
“Kak, sini deh cepetan” Minseo menarik kakaknya ke arah jendela. “Itu ada orang nggak sih depan pagar? Kayak mau ngebel tapi nggak jadi terus gitu dari tadi. Gue jadi takut jir”
“Mana sih?” Mingyu menyingkap sedikit vitrase yang menghalangi pandangannya supaya bisa lebih jelas melihat ke arah pagar.
Belum sampai sedetik dia melihat dengan jelas orang yang ada di depan pagar, tiba-tiba orang itu pingsan, sontak Mingyu langsung berlari ke arah pintu depan.
“Kak! Mau kemana woy! Itu siapaaaa?!” teriak Minseo, jelas tidak digubris oleh Mingyu yang saat ini sudah berlari menembus hujan ke arah orang itu.
Minseo melihat lagi dari jendela. Baru ketika Mingyu menggendong orang itu masuk ke halaman depan, Minseo akhirnya tau persis siapa orang yang dari tadi berdiri hujan-hujanan di depan rumahnya.
“Kak Caca???”