• Fragile Night •

Sydney, 2014 Adel, 18 tahun

Wow.

Am I really having dinner with a person I literally just met an hour ago? In a foreign place which I’ve never been before?

Udah gitu gue yang ngajak duluan?

I must be crazy, definitely.

Tapi anehnya, Dylan, si cowok ini, sama sekali nggak bikin gue jadi awkward. Mungkin karena sama-sama orang Indonesia ya? Walaupun dia warga sini, mungkin karena nenek moyang kita sama, we don’t feel awkward at all.

“Di Sydney udah kemana aja?” tanya Dylan sebelum menyuap satu sendok besar risotto pesanannya.

“Emm… Belom kemana-mana. Hehehe. Cuma sekitaran hotel tadi aja paling”

“Oh? Datengnya belom lama?”

“Udah seminggu”

“Lah katanya liburan? Seminggu kemaren ngapain aja berarti?”

“Err… I don’t really want to talk about it though… Hehe sorry”

“Ah, okay okay, sorry” Dylan meminta maaf ke gue atas pertanyaannya tadi. Gue hanya tersenyum ke arahnya.

Alasan kenapa sekarang gue di Sydney… Bukan liburan. Ya, bukan liburan. Gue di sini untuk menemani Bunda yang sedang dirawat di rumah sakit dekat hotel tempat gue menginap itu. Sebenarnya yang sedang berlibur ke sini itu Bunda, tapi minggu lalu beliau tiba-tiba sakit dan harus dirawat. Bunda memang punya riwayat sakit jantung, waktu kemarin beliau bilang mau liburan dengan teman-temannya ke Sydney gue sempat menentang, tapi Bunda tetap memaksa dengan bilang kapan lagi dia bisa liburan dengan teman-temannya, mumpung gue sedang tidak sekolah jadi tidak ada yang diurus di rumah.

Iya, selain gue tidak ada yang Bunda urus lagi. Bunda adalah seorang single mother dan gue tidak pernah tau siapa ayah gue. We only have each other in this world.

Makanya waktu dengar kabar dari teman-teman Bunda kalau beliau masuk rumah sakit di Sydney, gue langsung meminta tolong untuk diterbangkan ke sana. Gue harus ada di sisi Bunda, no matter what happens. Gue menangis di sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Sydney, hanya berhenti sebentar waktu sampai di Sydney, lalu menangis lagi waktu melihat Bunda terbaring tak berdaya di ruang ICU.

Menangis, berdoa, menangis lagi, berdoa lagi. Hanya itu kegiatan gue paling tidak sampai kemarin saat Bunda dinyatakan bisa dipindahkan dari ruang ICU ke ruang perawatan biasa. Mungkin kemarin adalah hari pertama gue bisa tersenyum setelah sampai di sini

“Adel, kamu besok nggak usah nemenin Bunda gapapa kok” kata Bunda kemarin waktu gue sedang membantunya makan malam.

“Nanti siapa yang nemenin Bunda? Tante-tante kan udah pada pulang semua, nggak ada yang bisa dimintain tolong”

“Kan ada suster-suster. Udah, besok kamu nggak usah ke sini, kamu jalan-jalan gih. Masa iya sih kamu udah nyampe sini nggak jalan-jalan”

Gue diam saja, tidak bisa berbohong kalau pengen juga sebenarnya jalan-jalan keliling Sydney.

“Bunda udah baik-baik aja kok, beneran. Kalo emang Bunda butuh kamu, nanti Bunda langsung telepon” kata Bunda lagi.

“Bener ya, Bun? Aku pergi jalan-jalan ya nih besok?”

“Iya, sayang. Bunda minta maaf ya nggak bisa nemenin kamu jalan-jalan, padahal pas banget ya kita berdua udah di sini” Bunda mengelus-elus rambut gue.

“Gapapa, Bun, yang penting Bunda sehat dulu aja. Ntar kalo udah sehat kita jalan-jalan bareng yaa”

“Siaaap. Sini peluk dulu anak Bunda” Bunda memeluk dan mencium kening gue.

So, yeah, that’s why I’m able to be out today. Walaupun tetap saja gue gamau pergi jauh-jauh dari area hotel dan rumah sakit. Selain biar bisa cepet datang kalau ada darurat, gue sebenarnya takut pergi sendirian. Apalagi gue baru pertama kali ke sini. Jadi tadi siang gue cuma makan di dekat hotel, jalan-jalan di pantai sebentar, lalu sorenya membeli es krim yang rencananya mau gue makan bareng dengan Bunda.

Eh, ternyata es krim itu lebih berjodoh sama si Dylan ini. Batal deh rencana gue.

But nevermind, ada untungnya juga ketemu sama dia, gue jadi punya teman baru di sini, ehehe.

“Kamu mau pergi kemana?” tanya Dylan tiba-tiba.

“Hah?”

“Iya, kamu mau lihat apa? Aku anterin”

“Sekarang?”

“Hmm ya terserah kamu sih, kan aku gatau juga kamu sampe kapan di sini haha”

“Oh, iya ya haha. Hmm… Kalo Sydney ya mestinya lihat Sydney Opera House yaa, tapi kalo udah gelap gini masih bagus nggak sih?”

“Bagus kok, kalo gitu abis makan kita ke sana ya, gimana?”

“Okay! Be my guide ya, Dyl, hahaha”

“With pleasure, Adel”

***

fragile night

“Dyl, fotoin di sini dong!”

“Ih nggak gitu fotonya! Ulang ulang”

“Akunya gelap di sini, geser dikit deh ke sana”

Dylan yang tadinya sabar ngikutin gue foto-foto, akhirnya makin capek juga.

“Del, udah dulu dong. Capek nih, baterai HP kamu abis lagian. Duduk dulu boleh nggak?” katanya sambil menunjuk kursi taman di dekat kita.

“Oh oh oke hehehe yuk duduk” kita berdua duduk di kursi tersebut.

“Maaf ya, Dyl. Maklum anak kampung baru sekali liburan jadi maunya foto-foto terus” kata gue sambil nyengir.

“It’s okay, understandable. Nanti kalo aku yang ke Jakarta gantian ya, haha”

“Emang kamu ada rencana ke Jakarta?”

“Belom sih. Tapi aku pengen banget ke sana lagi. Selama ini kalo ke Jakarta nggak pernah jalan-jalan”

“Hmm gitu. Oke, nanti kalo kamu ke Jakarta aku yang jadi guide. Promise!”

Dylan tersenyum, lalu permisi sebentar untuk membeli minum di vending machine.

Gue tetap tinggal duduk di situ sambil menikmati pemandangan malam Sydney. Memikirkan betapa senangnya kalau bisa menikmati pemandangan ini bersama Bunda. Lalu berjanji kepada diri gue sendiri, gue akan mengajak Bunda ke tempat ini kalau beliau sudah sembuh nanti.

Pikiran tentang Dylan juga tiba-tiba terlintas di otak gue. Gue rasa pertemuan dengan Dylan hari ini merupakan hadiah dari Tuhan. Hadiah karena seminggu belakangan ini gue sudah kuat menghadapi cobaan yang ada. Sendirian merawat Bunda di kota dan negara yang asing, tentu bukan hal yang mudah.

Karena ada Dylan, gue bisa merasa kembali menjadi Adel, bukan Ms. Oceana yang biasa dipanggil suster untuk urus ini itu.

Karena ada Dylan, gue bisa berkomunikasi dengan nyaman, nggak ada miskom karena kita berbicara bahasa yang sama.

Karena ada Dylan, tempat ini terasa seperti di rumah. Nyaman dan aman.

“Kenapa ngeliatin gitu?” tegur Dylan ke gue yang nggak sadar dari tadi ngeliatin dia.

“Eh- iya, sorry, nggak sadar” jawab gue canggung.

“Ganteng ya? Haha” kata Dylan. Gatau bercanda apa bukan.

“Hah? Yaa…”

“Yaa… Apa?” Dylan memajukan mukanya ke depan muka gue. Bikin gue makin grogi.

“Yaa… Ganteng sih. Lumayan lah” gue berusaha untuk tidak menatap matanya.

“Lumayan? Hmm, that hurts my pride, haha”

“Ya ntar kalo aku bilangnya ganteng banget trus ada yang marah gimana dong”

“Siapa emang yang marah?”

“Pacar kamu gitu?”

Dylan tertawa terbahak-bahak. Untung aja nggak keselek karena dia tadi lagi minum bir.

“Hahahaha kok sok tau banget sih kamu, Del? Bukannya pacar kamu nih yang mestinya marah?”

“Lah itu kamu juga sok tau”

“Jomblo?”

“Iya”

“Yaudah sama, haha”

“Bohong” gue nggak percaya dengan pernyataannya. Ya kali cowok seganteng dia jomblo?

I mean, to be honest, Dylan itu ganteng, banget. Tipe-tipe Asian guy yang disukain banyak orang gitu loh, kayak idol Korea maybe? Jadi gue udah yakin banget dari pertama kali ketemu, dia pasti punya pacar, or at least punya banyak fans lah.

“I’m a loser, Del, for real” katanya.

“Nggak mungkin”

“Yah elah nggak percaya. Perlu nih telepon my one and only friend biar kamu percaya?”

“Cewek kan temennya?”

“Cowok”

“Tapi aku nggak homo loh ya” Dylan buru-buru klarifikasi. Gue ketawa aja lihat mukanya panik.

“Kok bisa sih cowok kayak kamu nggak punya temen?”

“Well, maybe because I’m different from them? Kayak aku nggak pernah merasa klik aja temenan sama mereka. Beside, mereka juga mau deket-deket sama aku kalo ada maunya doang” Dylan bercerita sambil memutar-mutar kaleng bir yang dia pegang.

“Itu sih kamunya aja kali yang nggak ada niat temenan. Emang kamu tau dari mana mereka deket sama kamu kalo ada maunya doang? Kamu aja kali yang menutup diri-”

“Eh… Sorry, aku kelewatan ya…?” tanpa sadar gue ngomelin Dylan. Padahal tau apa gue tentang dia, kenal juga baru beberapa jam.

“Haha, kamu bener kok. Emang aku aja yang susah buka diri. I just feel that it will be safer that way”

“It is safer, but won’t it wear you out? Kan enak, Dyl, kalo banyak temen. Kalo kamu susah banyak yang bantuin. Kalo kamu sedih banyak yang ngehibur. Jadi kamu nggak perlu mendem semuanya sendiri”

“Dyl, I don’t know if this is right, but don’t be so hard on yourself” gue menatap Dylan sambil tersenyum.

Dylan membalas tatapan gue dengan tatapan yang lebih dalam lagi. Tatapannya sendu, seperti ada rasa lelah yang mungkin sudah dia pendam selama ini. Paham sih, living in a country as a foreigner must have been hard, walaupun dia lahir dan besar di sini.

Semenit, dua menit, tatapan Dylan tidak lepas dari mata gue. Gue yang mulai salah tingkah berusaha untuk mengalihkan pandangan. Namun, Dylan malah menarik tangan gue dan membawa gue ke dekapannya.

“Sorry for being rude on our first meeting. But please let me be like this for a moment” saat ini Dylan sudah menenggelamkan wajahnya di pundak gue, sehingga suaranya tidak terlalu jelas terdengar. Tapi gue bisa mendengar suaranya bergetar.

Gue jelas kaget. Siapa yang nggak kaget kalau dipeluk sama orang yang baru dikenal. Namun, gue tidak ingin melepaskan pelukan itu. Rasanya tidak tega. Dylan, walaupun tidak terang-terangan bilang ke gue, sepertinya butuh bantuan. Tidak, dia butuh teman. Maybe he’s too tired with his surroundings.

“That’s okay, I’m here for you” gue menepuk-nepuk punggung Dylan, mencoba membuatnya tenang. Yang terjadi malah sebaliknya, dia justru makin menangis.

“Yaaaah kok malah nangis sih, Dyl? Udah ah jangan nangis, nggak malu apa sama aku baru ketemu langsung nangis gini ehehe” gue mencoba menenangkan dia lagi dengan bercanda.

Dylan belum mau mengangkat kepalanya, entah karena masih menangis atau malu sama gue.

“I’ll be your friend, Dyl. Kalau memang nggak ada orang di Sydney yang kamu percaya sebagai teman, kamu bisa percaya sama aku. Aku dengerin semua cerita kamu, aku bantuin kalo kamu punya masalah, pokoknya aku ada buat kamu”

Akhirnya Dylan mengangkat kepalanya. Dia menatap gue sebentar, lalu menangkup muka gue dengan kedua tangannya. With teary eyes and trembling voice, he said:

“Thank you, Adel”

Then he softly pressed his lips to mine.

That night, under the sky of Sydney, I got a new friend. A new friend with a masculine personality, but has a fragile heart. So fragile that I want to protect him.

Also that night, without me knowing, I lost a friend.

My best friend who is lying on a hospital bed.

She left me and went to heaven.